Paman Permen Kapas

1453 Kata
 "Ras, untuk Ute mungkin aku ada biaya untuk pergi ke Taman Safari. Tapi enggak untuk aku." "Terus kamu mau biarin Ute sendirian untuk pergi?" "Ada kamu kan Ras? Aku minta tolong boleh?" "Sekar, tanggung jawab Rasti nggak cuma Ute di sana. Anak TK yang pergi sama Ibunya aja masih sering buat masalah. Apalagi kalau nggak ada yang ngawasin." "Listrik rumah belum ku bayar Aul, kalau aku pergi sama Ute aku bayar pakai apa?" "Kamu bisa pinjam uang aku dulu Sekar. Ikutlah, biar Ute pergi sama temen-temennya yang lain." "Aku udah sering pinjem sama kamu dan belum bisa bayar sampai saat ini Aul. Apa Ute nggak usah ikut aja?" "Ini pengalaman pertama Ute untuk bisa pergi sama temen-temennya, dan mereka semua ikut. Kamu bisa bayangin gimana sedihnya Ute kalau misalnya Ute nggak ikut wisata kali ini." "Tapi Rasti...." "Terus kamu maunya gimana Sekar? Bayangkan Sekar, semua teman-teman Ute akan cerita soal wisata itu, dan Ute jadi satu-satunya anak yang nggak tau apa-apa.” "Aku bingung... aku pengen Ute seneng, tapi aku nggak mampu." "Kalau Winda dan Mas Zito tau, pasti dia juga mau menanggung biaya wisata kamu sama Ute. Mereka sayang banget sama Ute. Terakhir aja Ute dibeliin crayon set yang mahal itu kan?" "Aku dipekerjakan mereka di tokonya aja udah syukur. Masa aku mau ngelunjak sih Ul?" Percakapan itu terdengar olehku yang baru saja selesai tidur siang di rumah Tante Aul. Jadi Ibu tidak mau ikut ke Taman Safari? Padahal aku sudah membayangkan untuk naik bis bersama Ibu. Dirga bilang naik bis itu enak karena kacanya besar, tidak seperti angkot. Bis juga tinggi, jadi kita bisa melihat mobil-mobil lain yang lebih kecil dari dalamnya. "Ibu!" teriakku sambil keluar kamar. Tante Aul dan Bu Guru Rasti tersenyum melihatku. Bu Rasti langsung memeluk dan menggendongku. "Ute udah bangun?" "Udah dong!" jawabku bersemangat. Aku melepaskan diriku dari gendongan Bu Rasti dan menghampiri Ibu yang kini membenarkan ikat rambutku yang berantakan. "Bu... kita pergi ke Taman Safari kan?" tanyaku penuh harap. Ibu diam. Sementara Bu Rasti dan Tante Aul menatapku dengan pandangan iba. "Ute pergi kok sama Bu Guru," kata Bu Rasti. Aku membalikkan tubuhku dan melihat ke arah Ibu. Aku menarik seragam kerja Ibu dengan pelan dan berulang. "Ibu... Ute mau pergi sama Ibu. Kata Adit, Taman Safari itu bagus. Dirga juga bilang naik bis itu enak. Ibu ikut kan Bu?" "Ute aja ya yang ikut sama Bu Rasti? Ibu harus kerja.” Ibu mencoba memberi pengertian. Aku memanyunkan bibir. "Mamanya Dian nggak kerja kok Bu pas ke Taman Safari! Kok Ibu kerja sih?" "Ibu nggak bisa, Sayang..." "Tapi Ute maunya sama Ibu!" ucapku sambil menangis. Tetapi Ibu masih terdiam tidak merespon. "Ibu... Ibu ikut sama Ute kan Bu?" tanyaku berulang sambil menggelendoti tubuh Ibu. "Ibu nggak bisa...." "Ibu! Ute mau Ibu ikut!" teriakku yang membuat baby Nindy menangis di dalam kamar. "Ute!" bentak Ibu yang membuatku terdiam. Aku masih menangis sampai Bu Rasti mengambil alihku dari ibu dan menghapus air mataku. "Ute Sayang... jangan teriak-teriak ya? Ute kan anak pinter. Di kelas nggak pernah teriak, di sini juga jangan. Apalagi sama Ibu... jangan diulang ya Sayang?" nasihat Bu Rasti sambil memelukku. Aku mengangguk dalam pelukan Bu Rasti dan menyangkutkan kedua tanganku ke lehernya. Tante Aul keluar dari dalam kamar bersama baby Nindy. Suara tangisan baby Nindy membuatku merasa bersalah. Seharunya aku tidak berteriak tadi. Aku sudah membangunkan Nindy yang sedang tidur nyenyak. Baby Nindy pasti kesal tidurnya terganggu oleh suara teriakanku. "Aku sama Mas Randi pinjemin uang untuk kamu pergi ya Sekar? masalah balikin uangnya kapan itu tergantung kamu punya rejekinya aja kapan. Kasihan Ute, Sekar... biarin dia seneng-seneng sama temennya dan juga kamu." Ibu melihatku dengan pandangan bingungnya, lalu menganggukkan kepalanya dengan pasrah. *** Ibu hari ini bekerja malam karena harus menggantikan temannya. Aku dititipkan di tempat tante Aul. Ibu memang awalnya merasa tidak enak, tetapi Om Randi memaksa karena ia tidak tega melihataku tidur sendirian di rumah. Malam ini aku sangat bahagia. Om Randi menyanyikanku sebuah lagu sebelum tidur. Ibu memang suka menyanyikannya, tetapi rasanya berbeda. Om Randi bahkan rela menjadi kuda-kudaan untukku dan menggendongku di teras saat aku merindukan Ibu sampai aku mengantuk. Apa begini rasanya punya Ayah? Aku harap aku bisa merasakannya setiap hari. Suara ribut di luar membuatku terbangun. Aku keluar dari dalam kamar dan mendapati rumah Tante Aul penuh dengan orang. Kebanyakan tidak kukenal. Dan aku begitu terkejut saat menemukan Ibu dengan wajah kebiruan dan berdarah sedang duduk sambil menangis ketakutan. "Ibu!" teriakku begitu kencang. Ibu melirikku sekilas, dan kembali menangis. Om Randi menggendongku, melarangku untuk menghampiri Ibu yang masih menangis. "Ibu kenapa?" tanyaku bingung. Aku menangis begitu keras. Tetapi itu malah membuat Ibu tambah menangis. "Ute mau Ibu... Ute mau ke Ibu...." rengekku ke Om Randi. "Shhh... sabar ya Ute Sayang, nanti Ute bisa ke Ibu." Aku masih menangis sampai sebuah permen kapas diberikan kepadaku oleh Paman yang sama yang memberikan permen kapas di toko waktu itu. "Ute suka kan?" tanyanya yang aku jawab dengan anggukan. "Ute jangan nangis, nanti Ibu Ute tambah sedih. Oke?" kata Paman itu sambil mengelus rambutku lembut. Wajah paman itu juga terlihat kebiruan seperti Ibu, tetapi bibir Paman tidak berdarah. "Jadi gimana, Mas?" tanya Om Randi ke Paman itu. "Abis ini kami ke kantor polisi jadi saksi. Tadi kami disuruh langsung ke sana, tapi Sekar syok dan pengen ketemu sama anaknya. Jadi kami ke sini dulu." "Kebetulan Mas Zito sama Mbak Winda lagi di luar kota. Mereka baru dapet kabar kalau toko mereka ada perampokan malem ini. Untung ada Mas Aksa... kalau nggak, mungkin Sekar terluka lebih parah." "Saya lagi cari minuman, dan untungnya nggak bawa kendaraan, jadi perampok itu nggak sadar ada saya di dalam toko. Tiba-tiba Sekar teriak. Kejadiannya begitu cepat Mas. Orang itu pakai helm dan memukul sekar. Setelahnya kami terlibat baku hantam. Untung Sekar langsung lari dan manggil warga di Pos. Jadi kami bisa selamat." "Kalian mau ke kantor polisi? Bawa mobil saya aja Mas. Biar pulangnya enak. Saya nggak bisa nganter soalnya punya bayi, Aul juga parno abis denger kabar perampokan itu." "Nggak usah repot-repot Mas Randi, kami biar ikut mobil polisi." Tak lama, Ibu menghampiriku yang masih dalam gendongan Om Randi. Ibu menciumku dan mengelus pipiku dengan lembut. Aku merentangkan tanganku dan memohon agar Ibu menggendongku, namun Ibu menggeleng. Hal itu membuatku semakin terisak. "Ibu...." rengekku. "Sekar masih syok, jadi mungkin masih lemes untuk gendong Ute," ucap Paman itu yang diangguki oleh Om Randi. Om Randi memelukku dan membawaku menjauh. Ibu dibawa oleh orang-orang itu yang membuatku berteriak. "Ibu Ute ikut! Ute mau ikut Ibu!" Aku memberontak dari gendongan Om Randi yang membuat Om Randi melepasku. Aku menghampiri Ibu dan memeluk kakinya. "Ibu Ute ikut, jangan tinggalin Ute...." Ibu berjongkok dan mengelus rambutku dengan sayang. "Sebentar ya Ute, Ibu nanti pulang." Aku menggeleng dan memeluk Ibu. "Ute nggak mau ditinggal sama Ibu!" Tubuhku terangkat perlahan, dan Paman tadi menggendongku. Ia menghapus air mataku dan memelukku dalam gendongannya. "Ute mau ikut Ibu? Ayok kita ikut." Akhirnya aku ikut bersama Ibu, semua karena Paman itu, Paman permen kapas yang begitu baik. Ia menenangkanku sepanjang perjalanan dan mengatakan kalau Ibu baik-baik saja. Ia juga menyuapiku permen kapas pemberiannya. Ibu, Paman dan aku sampai di kantor dengan banyak orang berseragam. Bahkan ada orang yang terkurung di dalam kandang besi. Aku mengeratkan pelukanku ke leher paman saat melihat orang-orang di dalam kandang yang terlihat jahat itu. "Sebenernya nggak baik bawa anak sekecil Ute ke tempat ini, tapi Ute akan terus nangis kalau nggak ikut kamu," kata Paman ke Ibu. Ibu mengangguk pelan dan mengelus rambutku. "Ute akan ngeganggu Mas Randi, Aul sama Nindy kalau ditinggal. Makasih ya Mas, udah mau bantu tadi. Kalau nggak ada Mas, saya nggak tau gimana. Soalnya pelakunya bawa pisau. Di otak saya cuma ada Ute, kalau saya sampai mati. Ute gimana?" "Jangan ngomong macem-macem. Buktinya kamu masih di sini kan sekarang? Lain kali jangan mau jaga malam kalau sendiri." Ibu mengangguk mengiyakan perkataan Paman. Setelahnya kami terdiam dan menunggu Paman lainnya yang menggunakan seragam seperti seragam pramuka itu. "Ute berat Mas, biar saya aja yang gendong. Tangan saya udah nggak gemeter kayak tadi." Ibu mengulurkan tangannya untuk meraihku. Tetapi aku menggelengkan kepalaku dan memilih bersandar pada tubuh Paman. Badannya besar dan hangat, aku sangat menyukainya. Rasanya begitu nyaman. Tangan Paman mengelus punggungku secara perlahan yang membuatku merasa ngantuk. "Ute ngantuk?" tanya Paman itu yang kujawab dengan anggukan. Aku menguap dengan begitu lebar yang membuat Paman itu tersenyum. "Ute tidur aja, nanti kalau udah selesai dibangunin. Oke?" Aku mengangguk patuh dan mengusak wajahku ke d**a Paman itu untuk mencari posisi yang nyaman. Setelah mendapatkannya, aku pun tertidur dengan nyenyak. Malam itu akhirnya aku bermimpi bertemu dengan seseorang yang tinggi yang aku panggil dengan sebutan Ayah. *** Awal yang terlihat begitu sederhana untukku, tapi nyatanya semua tidak sesederhana itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN