Setelah acara kami di Taman Safari Dirga terlihat masih marah kepadaku, jika dulu ia suka meledekku, kini ia mendiamkanku. Padahal kami berada di kelompok tari yang sama untuk acara perpisahan sekolah.
Sepulang sekolah Bu Guru Rasti dan dua guru lainnya akan melatih kami untuk menari. Selain menari, beberapa dari kami juga akan hapalan doa di depan para orangtua yang akan datang saat pengambilan laporan hasil belajar. Aku bertugas sebagai pembaca arti, sedangkan Dirga yang hapalan doa. Selama kami berlatih, Dirga tidak pernah berbicara padaku.
“Dirga?” panggilku. Saat ini Dirga sedang berada di dalam kelas untuk berlatih dengan catatan hapalan doa di tangannya. Dirga hanya menoleh dan tidak membalas panggilanku. “Bu Guru bilang kita latihan nari dulu hari ini, besok pagi baru doa.”
Dirga berdiri dan melewatiku begitu saja. Aku hanya membuntutinya dari belakang untuk bergabung di kelas sebelah dengan teman-teman lainnya untuk berlatih menari lagu Rasa Sayange dan Naik Delman. Bu guru mengajari kami dengan pelan sampai kami bisa. Terkadang aku dan teman-teman lupa gerakan, padahal minggu depan kami sudah tampil.
“Kalau nanti salah, lanjut aja ya, jangan nangis.” Bu Rasti menasihati saat akhir latihan. Aku mengangguk mengerti. Om Randi bilang, jangan lihat orang-orang saat tampil, anggap saja mereka semua cuma patung yang tidak bisa melihatku. Ah, ingin rasanya melihat Tante Aul, Om Randi, Tante Winda, Paman Zito dan Paman Aksa datang. Tapi mereka bilang kalau mereka tidak janji. Yang pasti, aku tidak boleh menangis saat di atas panggung nanti.
“Ute, tunggu sebentar ya? Ibu mau beresin kursi dulu, nanti kita pulang ke rumah Tante Aul,” ucap Bu Rasti.
Aku mengambil tas dan keluar dari dalam kelas, menunggu Bu Rasti sambil duduk di ujung bagian depan sekolah. Di sana ada rumput yang akan mengecil bila disentuh, Bu guru menyebutnya putri malu. Biasanya putri malu itu sudah mengecil semua kalau siang karena banyak teman-teman yang menginjak atau menyentuhnya, tapi kali ini tidak, jadi aku bisa menyentuhnya sepuasku.
“Rumput haus nggak?” tanyaku pelan. Tanaman itu hanya diam yang membuatku segera mengeluarkan botol dari dalam tas. “Tapi Ute dulu yang minum,” ucapku sambil menyedot botol berwarna ungu yang ibu beli di pasar kemarin. Aku menuang air dengan perlahan ke arah putri malu, tetapi mereka malah mengecil.
“Padahal Ute cuma ngasih minum, nggak ditowel,” ucapku sedih.
“Ute! Ngapain di situ? Sini! Ayo kita pulang!” ajak Bu Rasti yang membuatku segera memasukkan air minum ke dalam tas dan berlari menghampirinya. “Ute ngapain?” ulangnya.
“Ute liat rumput yang waktu itu Ute tanya, tadi masih pada besar, terus Ute kasih minum jadi pada kecil,” ungkapku jujur.
Bu Rasti tertawa dan mengelus kepalaku. “Namanya putri malu, Sayang.”
“Ah, iya, itu, Bu,” jawabku. Aku terbiasa menyebutnya dengan rumput. Bu Rasti menggandeng tanganku dan kami berjalan ke arah rumah Tante Aul. “Bu, Ute mau nanya.”
“Iya, nanya apa?”
“Kenapa putri malu bisa besar lagi kalau habis ditowel? Tapi lama sih… tadi pagi Alen udah injek-injek itu sama Dirga.”
“Karena…” Bu Rasti kelihatan bingung. “Ah, karena putri malu itu kuat, meski udah ditoel, dan diinjak, dia tetap akan jadi mekar lagi karena bantuan sinar matahari.”
Aku mengangguk. “Jadi kalau nggak ada matahari dia nggak kuat ya Bu?”
Bu Rasti menggeleng. “Putri malu akan menciut kalau malam.”
“Ute mau jadi kayak Putri malu,”
“Ute mau ditowel-towel?” tanya Bu Rasti sambil tertawa.
“Bukan! Ute mau kuat kayak putri malu.”
Bu Rasti berhenti berjalan dan berjongkok di sampingku, tangannya menarik tanganku untuk menghadap ke arahnya. “Ute memang harus kuat untuk Ibu, ya Sayang?”
Aku mengangguk semangat. “Iya Bu!”
“Ayo kita ke rumah Tante Aul!” ucap Bu Rasti sambil mengulurkan tangannya. Aku mengambil tangannya dan berjalan dengan riang ke rumah Tante Aul sambil menghapal gerakan tari diiringi oleh nyanyian pelan Bu Rasti.
“Nindy! Kakak Ute pulang!” ucapku begitu sampai di pintu pagar.
Tante Aul keluar menyambutku dengan Nindy di gendongannya. “Eh, cantik, udah pulang?”
“Udah dong!”
“Gimana narinya? Bisa nggak?”
“Bisa dong!”
“Bohong, tadi sempet salah,” ledek Bu Rasti.
“Dikit doang kok,” jawabku.
Tante Aul tertawa. “Ya udah, nanti latihan lagi di rumah ya, Om Randi sama Tante Aul mau lihat. Sekarang Ute ke kamar mandi, cuci tangan sama kaki, cuci muka, terus makan. Tante hari ini bikin telur kecap.”
“Asik!” teriakku sambil berlari masuk ke dalam rumah Tante Aul.
Setelah makan dan tidur siang bersama Nindy, aku mulai latihan menari ditonton oleh Ibu, Om Randi, Tante Aul, Bu Rasti, Tante Winda dan Om Yira pada malam hari.
“Ibu puter musiknya ya?” ucap Bu Rasti yang kujawab dengan anggukkan.
Saat musik diputar, aku mulai menari sesuai dengan yang Bu guru ajarkan, aku sempat lupa di beberapa bagian, tetapi Bu Rasti ikut menari mendampingiku hingga aku mengingatnya kembali. Suara tepuk tangan dari orang-orang yang menontonku juga membuatku menjadi lebih semangat.
Saat musik berakhir, aku langsung berlari dan menyembunyikan wajah di tubuh ibu karena malu. “Ih, kok kamu jadi malu-malu sih?” ledek Tante Aul. Aku masih menyembunyikan wajahku di tubuh ibu.
“Bagus kok narinya, Om Yira suka,” puji Om Yira yang membuatku menoleh ke arahnya. Om Randi menunjukkan kedua jempolnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ute juara! Om jadi pengen nonton nanti.”
Aku tersenyum lebar sambil menunjukkan gigi. “Om mau dateng? Beneran?”
Om Randi mengangguk. “Acaranya jam berapa sih Ras?”
“Pagi Mas, jam sembilan.”
“Nanggung amat ya jamnya, nggak bisa siangan gitu?”
“Kalau siangan yang ada kacau Mas, selain dandanan luntur, bisa-bisa ada yang nangis karena kelamaan nunggu,” balas Bu Rasti.
“Bu, Ibu dateng kan?” tanyaku memastikan.
“Ibu dateng kok, pasti Sayang.” Jawaban Ibu membuatku merasa begitu senang. Kalau Ibu melihatku di atas panggung nanti, akan seperti apa jadinya?
“Om, Tante, kalau bisa nanti nonton Ute ya!” pintaku yang dijawab anggukkan oleh mereka.
“Inget ya Sayang, kasih penampilan terbaik kamu, oke?” kata Tante Winda.
Aku mengangguk semangat. “Pasti dong!”
***
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, sejak pagi aku ikut bersama Bu Rasti untuk latihan terakhir sekaligus menari dengan menggunakan kostum yang sudah disewa. Bu Rasti bahkan mendandaniku dengan pewarna bibir dan bedak.
Bu Rasti tertawa. “Ute sayang, biasa aja bibirnya jangan kayak gitu, lipstiknya nggak hilang kok,” ucapnya sambil menggerakkan bibirnya dengan biasa, dan aku mengikutinya. Aku sejak tadi memang hanya sedikit membuka bibirku saat berbicara karena takut pewarna bibirnya menghilang.
“Lucu ya lihat anak kecil pertama kali pakai lipstik, disuruh mingkem aja nggak mau,” ucap Bu Guru Endah yang dijawab anggukkan oleh Bu Rasti.
“Habis latihan terakhir, nanti Ute nunggu di samping panggung ya? Tunggu Bu Guru panggil.”
Aku menngangguk mengiyakan perkataan Bu Rasti. Setelah selesai latihan, aku keluar dan melihat penampilan dari kelas lain yang sedang menari di atas panggung. Aku juga melihat ke arah deretan penonton untuk memastikan.
“Ibu mana?” ucapku sedih saat tidak menemukan sosok ibu. Aku berjalan melewati bangku-bangku untuk menemukan ibu, tapi ibu tidak ada. Bahkan para Tante dan Om yang bilang akan menontonku hari ini juga tidak ada.
Aku memilih untuk bersembunyi di balik panggung dan berdoa, berharap ibu untuk segera datang. Aku sangat ingin ditonton oleh Ibu.
“Ute, kok di sini?”
Suara seseorang membuatku menoleh. “Paman Aksa?!” sapaku saat melihat sosok Paman permen kapas yang kini berdiri di depanku. “Kok Ute ngumpet di sini?” tanya Paman Aksa sambil membantuku untuk bangun.
“Ute nggak ngumpet, Ute nyari Ibu,” jawabku.
“Ibu kan adanya di depan panggung, bukan di belakang.”
“Tapi Ibu nggak ada,” ucapku sedih.
“Jangan sedih, nanti cantiknya hilang, kan Ute udah pakai bibir merah.” Paman Aksa berkata sambil menunjuk bibirnya.
Saat latihan di rumah Tante Aul dua malam kemarin, semua Tante, Om, dan Paman berkumpul untuk menontonku latihan menari dan aku meminta Bu Rasti untuk memakaikanku bibir merah yang ia sebut sebagai lipstick. Dan Paman Aksa selalu memuji kalau aku terlihat cantic saat menggunakan bibir merah milik Bu Rasti.
“Ibu mana ya? Ute mau Ibu nonton Ute pas tampil.” Aku menoleh ke sana ke mari untuk melihat Ibu, tapi Ibu masih belum terlihat.
“Ayo yang nari rasa sayange kita baris ya!” Suara Bu Rasti terdengar dari pinggir panggung. “Udah kumpul semua? Ute mana?”
Paman Aksa melihat ke arahku dan menolehkan wajahnya ke arah teman-teman yang sedang berbaris. “Udah mau mulai, Ute baris ya?” ajaknya sambil menjulurkan tangan. Aku tertunduk lesu dan meraih tangan Paman Aksa, berharap ibu akan tiba saat aku naik panggung nanti.
“Ute!” teriakkan Bu Rasti membuat Paman Aksa berjalan menghampirinya dan menuntunku untuk berbaris bersama teman lainnya.
“Mas Aksa? Syukurlah Ute udah ada, ayo baris Sayang.” Bu Rasti membimbingku untuk baris di posisi yang sudah ditentukan.
“Ute kenapa, Mas?” tanya Bu Rasti ke Paman Aksa.
“Sekar belum datang,” jawab Paman Aksa, membuat Bu Rasti menghela napas.
“Sekar pasti datang Mas, mungkin sedikit terlambat, nggak mungkin dia melewatkan momen ini.”
“Iya, Sekar nggak mungkin melewatkan momen ini.”
Paman Aksa lalu mengampiri dan berjongkok di depanku. “Tampil dengan baik ya Ute, nanti Ibu pasti datang. Kalau enggak, Paman akan videoin Ute buat Ibu. Oke?” ucap Paman Aksa mencoba menenangkan. “Sekarang mana senyumnya?” tanyanya.
Aku mencoba tersenyum, Paman Aksa lalu mengelus kepalaku pelan dan memujiku dengan kalimat ‘anak pintar’.
“Siap-siap ya semuanya habis ini kita naik!” Bu Rasti memberi kode.
“Paman di depan ya, jangan lupa senyum, biar rekamannya bagus buat dilihat sama Ibu.”
Setelah teman-teman sebelumnya turun, aku naik ke atas pangung dibantu oleh Bu Rasti. Di depan ada Paman Aksa yang sedang memegang ponselnya untuk merekamku sambil mengacungkan ibu jarinya.
Saat musik diputar, aku mulai menari sesuai dengan latihan yang selama ini kupelajari. Tidak lupa untuk tersenyum, seperti yang Paman Aksa bilang. Begitu aku berputar, aku melihat Ibu yang berlari untuk masuk ke dalam sekolah. Lalu ibu masuk dan menyelip di antara orang-orang dan berdiri di samping Paman Aksa. Aku tersenyum begitu lebar hingga gigiku terlihat. Ibu melambaikan tangannya ke arahku yang kubalas di sela-sela gerakan, dan aku menari hingga lagu selesai berputar.
“Ibuuuuuu!” teriakku begitu turun dari panggung. Ibu memelukku dan memujiku tentang bagaimana baiknya aku dalam menari.
“Maaf ya Ibu telat, Sayang. Barang baru masuk di toko jadi Ibu harus catat semua dulu.” Aku mengangguk dan tersenyum lebar, yang penting Ibu sudah datang. Paman Aksa benar, Ibu pasti datang.
“Habis ini Ute mau hapalan arti doa, nanti Dirga yang baca doanya,” jelasku.
“Berarti Ute ganti baju kan? Bajunya di mana?”
“Di Bu Guru Rasti,” jawabku.
“Ayok kita ganti baju,” ucap Ibu sambil menggandengku untuk menuju kelas.
“Ute!” Suara Paman Aksa yang memanggil membuatku berhenti. “Kenapa Paman?”
“Ute hebat, ini hadiah buat Ute,” ucap Paman Aksa sambil memberikan dua bungkus permen kapas yang membuatku tersenyum senang.
“Bilang apa, Sayang?” ucap Ibu mengingatkan.
“Makasih Paman!”
“Habis ini masih ada doa kan?”
Aku mengangguk. “Lancar ya hapalannya Ute, Paman tunggu sini.”
Setelah berganti baju dan bersiap kembali akhirnya aku menunggu di dekat panggung bersama ibu. Ibu menyuapiku kue dan agar-agar supaya aku tidak lapar selama menunggu giliran bersama Dirga.
“Dirga mau?” tanya ibu sambil menyodorkan sebuah kue ke arah Dirga. Dirga mengangguk dan mengambilnya dari tangan ibu. “Bunda Dirga ke mana?”
“Lagi nemenin Bang Arsyad, Bang Arsyad lagi sakit.”
“Ah, gitu, Ibu Ute cari minum buat Dirga dulu ya,” kata Ibu sambil pergi meninggalkan kami.
Aku menoleh ke Dirga. “Bunda Dirga nggak dateng?”
Dirga menggeleng, tidak menjawab karena masih sibuk mengunyah kue.
“Ibu bilang jangan terima makanan dari orang yang nggak dikenal.”
Dirga menghentikan kunyahannya dan menoleh. “Dirga kan kenal Ibu Ute,” jawabnya.
“Iya, Ute kan cuma bilang,” jawabku pelan.
Ibu datang dengan membawa dua buah air mineral gelas dan membantu menusukan sedotannya untuk Dirga dan untukku. Setelah kenyang memakan kue dan menunggu, akhirnya aku kembali naik panggung bersama Dirga. Ibu terlihat di depan panggung bersama Paman Aksa dan Bu Guru Rasti.
Dirga membaca doa sebelum belajar, doa setelah belajar, doa keluar rumah, doa berpergian, doa naik kendaraan, doa selamat dunia akhirat dan doa untuk kedua orangtua, sedangkan aku membaca artinya.
“Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo,”
“Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa Ayah Ibuku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.”
***
Doa itu selalu aku rapalkan setiap harinya meski aku tidak pernah mengetahui siapa, dan di mana ayahku berada…