Dirga

2559 Kata
Hari demi hari berlalu, tidak terasa kini aku sudah memakai seragam baru pemberian Ibu. Seragam cantik berwarna merah putih ini Ibu beli di salah satu pasar dekat rumah kami. Ibu bilang sekarang aku sudah masuk Sekolah Dasar, dan pelajaranku nanti tidak hanya bernyanyi, mewarnai dan hapalan doa saja. Ibu bilang aku akan mulai berhitung dan belajar sesuatu yang lebih susah nanti. Oleh karenanya, aku harus lebih giat dan rajin belajar. Sebelum masuk SD, Tante Winda dan Paman Zito memberikanku sebuah papan tulis mini dan alat menghitung yang terbuat dari bola-bola kecil berwarna-warni. Bu Guru Rasti dan Tante Aul pun mengajariku tentang menghitung dan bahasa Inggris. Teman-temanku sebelumnya seperti Dirga, Alen, Arsyad, dan Pipit memang masih banyak yang satu sekolah denganku, hanya saja tidak ada Bu Guru Rasti yang akan mengantarku pulang ke rumah Tante Aul setiap harinya. Aku harus pulang sendiri untuk seterusnya. Paman Zito dan Om Randi juga menasihatiku untuk jangan mau dijemput dan diberi hadiah oleh orang yang tidak aku kenal selain mereka dan juga teman-teman Ibu, aku hanya mengenal Paman Yira suami Tante Winda, dan juga Paman Aksa, si paman permen kapas yang baik hati itu. "Ute, inget apa pesen Ibu?" tanya ibu sambil menguncirkan rambutku menjadi ikat kuda. "Pulang, langsung pulang. Nggak boleh main ke mana-mana. Baby Nindy nungguin Kakak Ute di rumah." "Pinter," balas Ibu. "Kalau Ute mau punya adek kayak Nindy boleh, Bu?" tanyaku yang membuat pergerakan tangan Ibu yang menyisir rambutku terhenti. "Kalau mau adek, kan udah ada Nindy," jawab ibu yang membuatku kembali berpikir. "Ute maunya yang bisa ada di rumah terus Bu, jadi pas Ute pulang adek ada di rumah, kalau malem bobok bareng Ute." "Kalau Ibu kerja, siapa yang jagain adek? Emang Ute bisa? Kalau Nindy nangis dan pup aja Ute masih suka kabur," ledek Ibu yang membuatku tertawa. Ibu benar, kalau Nindy sudah menangis dan buang air besar aku pasti tidak mau mendekatinya. "Lagian Tante Winda mau punya dedek bayi juga kok sebentar lagi, nambah lagi deh adek buat Ute," lajut Ibu yang kembali aku benarkan dalam hati. Setelahnya Ibu mengantarkanku ke sekolah. Berbeda dengan sekolah lamaku, sekolah ini jauh lebih besar, dan banyak kakak-kakak yang umurnya lebih tua dariku berlarian ke sana ke mari dan bermain bola. "Ute, kalau istirahat makannya udah ada di tas, ibu udah buatin sosis goreng kesukaan Ute." "Siap, Bu." "Nanti kalau mau jajan, jangan jajan sembarangan ya!" seru Ibu menambahkan. Aku mengangguk mengiyakan, Ibu kemudian mengelus kepalaku dengan lembut dan mengantarku sampai ke depan kelas. Sampai di depan kelas aku bertemu dengan Dirga. Sepertinya aku sekelas dengan Dirga lagi kali ini, bahkan kini ia duduk di bangku tepat di depanku. "Dirga..." tegurku pelan, tetapi Dirga sama sekali tidak menolehkan kepalanya ke arahku. Ia malah sibuk dengan teman sebangkunya. Setelahnya anak laki-laki di kelasku malah berkerumun saat Alen membawa mainan baru untuk dipamerkan. Seorang anak perempuan berkuncir dua masuk ke dalam kelas dengan bingung. Ia berjalan pelan untuk mencari bangku. “Sebelah Ute masih kosong,” ucapku sambil menggeser tas. Anak perempuan itu tersenyum dan duduk di sebelahku. “Makasih ya, Ute.” “Sama-sama. Namanya siapa?” “Liana, aku Liana.” *** Saat pulang sekolah, aku dan Liana berjalan ke gerbang depan, tidak seperti teman-teman yang lainnya yang dijemput oleh Ayah dan Ibunya di depan kelas, Liana juga sendiri, sama sepertiku. “Ute pulang ke mana?” “Ke rumah Tante Aul.” “Tante Aul itu siapa Ute?” “Temen Ibu. Liana gimana?” “Aku nunggu Ayah jemput. Ibu Ute ke mana?” “Ibu Ute kerja, kalau Ibu Liana?” “Liana nggak punya Ibu. Kata Ayah, Ibu ada di surga.” “Ute!” Aku menoleh karena mendengar suara Bu Rasti. Bu Rasti kini sedang mengayuh sepedanya menuju ke arahku. “Bu Rasti? Kok ke sini?” “Ini hari pertama Ute sekolah, Ibu takut Ute lupa jalan pulang dan hilang makanya hari ini Bu Rasti jemput,” jelas Bu Rasti sambil mengambil tasku untuk ditaruh di keranjang bagian depan. “Ute nggak akan hilang dong, Paman Randi udah dua kali ngajak Ute jalan kaki dari sekolah ke rumah,” balasku yang membuat Bu Rasti tertawa. “Ah, itu temen Ute ya? Namanya siapa Sayang?” tanya Bu Rasti ke Liana. “Namaku Liana, Bu.” “Namanya cantik,” balas Bu Rasti. “Ayo pulang,” ajak Bu Rasti sambil menepuk jok bagian belakang sepedanya. “Liana belum dijemput Ayahnya, Bu.” “Ah, kalau gitu kita tunggu Ayah Liana dulu, oke?” Aku mengangguk. Bu Rasti membelikan kami dua kotak s**u selama menunggu Ayah Liana. Setelah menunggu cukup lama, sebuah mobil berhenti di depan kami, dan Ayah Liana keluar dari dalam. “Liana, maaf ya Ayah telat jemput,” kata Ayah Liana seperti merasa bersalah. Liana cuma mengangguk singkat. “Untung ada Ute sama Bu guru,” kata Liana. “Ah, Anda guru Liana? Perkenalkan saya Ardiansyah, Ayah Liana.” Ayah Liana mengulurkan tangannya. Bu Rasti menggaruk kepalanya dan menyambut uluran tangan Ayah Liana. “Saya memang guru, tapi guru TK, bukan di SD ini.” “Iya, Bu Rasti itu gurunya Ute Yah,” timpal Liana. Kini Ayah Liana yangmenggaruk kepalanya. “Ah, kalau begitu saya salah paham.”  Kemudian ia beralih menatapku. “Ini pasti yang namanya Ute ya?” Aku mengangguk. “Salim Sayang sama Ayah Liana,” titah Bu Rasti yang langsung ku turuti. “Berhubung Anda sudah datang, kami pamit. Liana, kami duluan ya,” kata Bu Rasti sambil menggandeng tanganku untuk menuju ke arah sepeda. Ayah Liana membantuku menaiki sepeda Bu Rasti saat melihatku kesusahan menaikinya. Sepeda kami pun mulai berjalan saat Bu Rasti mulai mengayuhnya. Aku berpegangan pada pinggangnya dan melambaikan tangan kepada Liana dan Ayahnya yang masih memandang kami sampai belok di tikungan. “Ute berat,” ledek Bu Rasti. “Ute nggak berat kok,” balasku tidak terima. Bu Rasti pun tertawa dan kembali mengayuh lebih kuat. “Ada turunan, ayo pegangan!” ucap Bu Rasti. Angin yang cukup kencang membuat rambutku berantakan, tapi aku merasa begitu senang saat jantungku sepertinya ketinggalan begitu melewati turunan. Tiba-tiba aku mengingat obrolanku dan Liana tadi. “Bu, kalau Ibu Liana udah ada di surga, berarti Liana nggak punya Ibu lagi?” “Ibu kandung ya, tapi Liana masih bisa punya Ibu sambung kalau Ayahnya menikah lagi.” “Ibu sambung itu apa?” Bu Rasti tertawa. “Kamu tuh mau tau banget ya anaknya? Pantes kamu pinter. Intinya, kalau Ute sudah besar, pasti nanti Ute ngerti.” “Kalau Ute udah setinggi Ibu?” tanyaku bingung. Bu Rasti kembali tertawa. “Iya, Sayang. Saat dewasa, kamu akan lebih tau tentang banyak hal.” *** Hari ini di sekolah ada promosi dari salah satu merek s**u yang bergambar tulang, kami disuruh untuk berbaris di lapangan dan akan diberikan s**u gratis oleh mereka. Kami sebagai anak kelas satu disuruh untuk berbaris terlebih dahulu, sementara kakak kelas mengikuti barisan di belakang. Sempat terjadi dorong mendorong yang membuat anak kelas dua dimarahi oleh Bu Guru. Aku sempat terjatuh bersama beberapa teman lainnya. Tetapi Bu Guru dan beberapa teman lainnya membantuku untuk kembali berdiri. Telapak tanganku terluka, meski luka kecil rasanya tetap saja perih. Setelah mendapatkan s**u coklat milikku dan meminumnya sampai habis, aku mencuci luka di tanganku dengan air supaya tidak kotor. Rasa perih yang kurasa membuatku sedikit mengeluarkan air mata. Ternyata rasanya jauh lebih perih setelah terkena air. Saat aku masuk kelas dan menduduki bangku, ada sebuah plester luka di meja yang bergambar binatang. Aku pun bertanya kepada Liana, teman sebangkuku plester milik siapakah itu. Liana hanya menaikan bahunya, dan berkata plester itu sudah ada sejak ia masuk. Ia malah menyangka jika itu plester milikku. Aku pun akhirnya membuka dan memakai plester itu untuk dipakai di tanganku yang terluka atas usul Liana, dan lukaku kini terasa lebih baik. Tidak lama setelahnya, Dirga masuk ke dalam kelas bersama dengan Alen sambil berlarian seperti biasanya. Mataku tertuju pada langkah Dirga yang sedikit tergopoh akibat Rahmat, si ketua kelas bilang bahwa Bu Guru sedang menuju ke kelas kami. Di kaki Dirga, aku melihat plester yang sama dengan plester yang kini tertempel pada luka di tanganku. Apa mungkin Dirga yang ngasih Ute? Saat pulang sekolah, teman-temanku dan ibu mereka berbondong-bondong untuk membeli produk s**u yang dipromosikan sebelumnya. Kebanyakan dari mereka membeli dalam jumlah yang banyak karena harga yang menurut mereka murah. Aku hanya bisa melewati kerumunan itu karena uangku yang tidak cukup untuk membeli s**u itu sekarang. Aku harap saat pulang nanti Ibu mau membawakan s**u itu untukku, karena rasanya yang enak. Saat aku mencapai gerbang sekolah, di sana ada Dirga yang sedang memegang dua kotak s**u di tangannya. Saat aku melewatinya, Dirga memanggil namaku yang membuatku menolehkan wajah ke arahnya. "Ute pulang sama Dirga hari ini. Dirga dijemput Om. Ini s**u buat Ute." "Ute nggak boleh main sama Ibu, kalau pulang, harus pulang." "Dirga juga mau pulang, tapi sama Om. Kata Bunda, disuruh ajak Ute juga." "Ute nggak boleh pulang sama orang yang nggak dikenal," cicitku pelan. "Ute kan kenal sama Dirga." "Tapi sama Omnya Dirga enggak." "Om Yoga bukan orang jahat kok." "Ute mau pulang sendiri aja, dadah Dirga!" "Ute tunggu! Ini susunya!" ucap Dirga sambil memaksaku untuk menerima kotak s**u yang berada di tangannya. "Tapi Dirga gimana?" "Dirga punya dua," timpal Dirga sambil memamerkan kotak s**u satunya ke arahku. Tidak lama, sebuah motor yang cukup besar berhenti di depan kami, dan Dirga segera menghampiri motor itu dengan langkah antusias. "Ute beneran nggak mau ikut?" tanya Dirga begitu laki-laki yang membawa motor itu mengangkat tubuhnya untuk duduk dengan benar di motor yang dikendarainya. Aku menggeleng pelan sebelum sebuah klakson membuat motor besar itu sedikit maju dari tempat sebelumnya, dan memberikan celah untuk motor yang berada di belakangnya. "Ute udah pulang?" Suara Paman Aksa membuatku tersenyum dengan senang. Dengan perlahan aku mendekati motor milik Paman Aksa, dan Paman Aksa menggendongku untuk duduk dengan benar di jok motor miliknya. Dirga dan Omnya menoleh ke arah kami yang membuat Paman Aksa membunyikan klaksonnya untuk pamit saat motor yang kami tumpangi melewati mereka. "Dirga! Duluan ya! Makasih susunya" Mungkin begini rasanya dijemput Ayah saat pulang sekolah... *** Paman Aksa membelokkan motornya ke arah jalan raya besar yang membuatku reflek menoleh ke arahnya dan bertanya, "Paman, kita nggak pulang?" Bukannya mejawab, Paman Aksa malah balik bertanya, "Ute laper nggak?" "Ute laper, tapi nanti makannya kan di rumah Tante Aul," jawabku sesuai dengan kebiasaanku selama ini. Sepulang sekolah akan makan siang bersama Tante Aul dan baby Nindy, dan tidur siang setelahnya. "Kita makan dulu ya?" bujuk Paman Aksa. Aku menggaruk kepalaku karena takut Ibu akan memarahiku jika tau aku tidak langsung pulang. "Nanti Paman beliin es krim," lanjut Paman Aksa yang membuatku tergoda. "Tapi Ibu bilang harus langsung pulang, Paman," sahutku dengan sedih. "Nanti Paman yang telepon Ibu ya," jawab Paman Aksa yang membuat senyumku melebar. "Ayo beli es krim!" Aku pun mengajak Paman Aksa dengan antusias. Paman Aksa yang menanyai tentang hariku selama di sekolah, dan kenapa tanganku menggunakan plester selama perjalanan kami yang ku jawab dengan begitu antusias. Aku begitu menyukai respon Paman Aksa yang akan mendengarkan secara saksama dan menimpali semua ocehanku tentang teman-teman. Setelah memarkirkan motornya, Paman Aksa menggendongku dan membawaku masuk ke sebuah tempat makan yang mempunyai patung badut berambut merah dan juga berbaju kuning yang cukup lucu. "Ute mau apa?" tanya Paman Aksa yang kujawab dengan menunjuk sebuah gambar es krim yang berada di sana. "Sekalian makan ya?" Paman menunjuk menu nasi dan juga ayam yang kujawab dengan anggukan. Setelah menaruh nampan di salah satu kursi, paman membimbingku untuk cuci tangan di salah satu wastafel dekat tempat duduk kami. "Ute bisa makan sendiri?" Paman Aksa bertanya setelah membantu membuka pembungkus nasi dan mendekatkannya ke arahku agar aku lebih mudah untuk menjangkaunya. "Bisa dong! Kata Ibu Ute udah gede, jadi harus bisa makan sendiri." "Anak pintar," puji Paman Aksa yang membuatku tersenyum senang. "Makan nasi dulu ya, nanti es krimnya habis makan baru paman beliin." Aku mengangguk dan mulai berdoa sebelum makan nasi dan juga ayam yang sudah Paman Aksa belikan. Sesekali Paman menyuapiku dengan kentang goreng yang ia pesan di sela-sela kunyahanku. "Paman nggak kerja kayak Ibu?" tanyaku yang membuat Paman Aksa tersenyum. "Paman kebetulan lagi libur," "Kayak Ute sekolah ya? Ada liburnya juga." "Paman libur karena izin ke kantor. Paman habis pulang kampung," balasnya sambil tertawa. "Pulang kampung itu apa?" tanyaku bingung. Aku sebelumnya sering mendengar kalimat itu dari Tante Aul. Hanya saja aku tidak tau mengenai arti yang sebenarnya karena Ibu juga tidak pernah memberitahuku. "Pulang ke rumah Paman dulu, waktu paman kecil, masih segede Ute. Ayah Paman lagi sakit, jadi Paman pulang ke sana." "Kampung itu tempat Ayah ya? Ute nggak punya, jadi Ayah nggak pulang-pulang?" Paman Aksa kini terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaanku. Ia menggaruk kepalanya sebelum menyuapiku kembali dengan kentang goreng miliknya. Aku memilih untuk tidak melanjutkan makan karena teringat kembali dengan topik Ayah. "Kok nggak dilanjutin makannya?" tanya Paman Aksa yang hanya kujawab dengan gelengan. Aku memilih untuk minum dan mengigiti sedotan sambil melihat Paman Aksa yang kini sedang memperhatikanku. "Paman suapin ya? Nanti kalau makanannya nggak habis, Paman sedih loh..." Ibu pernah bilang kepadaku untuk tidak membuang-buang makanan. Jadi saat tangan Paman Aksa terjulur untuk menyuapiku, aku hanya membuka mulut dan mengunyahnya. "Paman, rasanya punya Ayah itu gimana?" Aku begitu penasaran bagaimana rasanya, karena aku tidak pernah merasakan Ayah ada di sampingku seperti Ayahnya Pipit, atau seperti Om Randi yang akan selalu menghapus air mata baby Nindy yang suka menangis. Paman terdiam. Kini kegiatannya untuk menyuapiku terhenti. Ia hanya mengelus rambutku dengan lembut menggunakan tangan kirinya yang masih bersih dan tidak terkena makanan. "Paman belum nelepon Ibu Ute, kita telepon Ibu ya sekarang?" Paman kemudian menarik tangannya dari rambutku dan mengeluarkan ponselnya, lalu ia melakukan panggilan video ke Ibu. Begitu wajah Ibu tampil di layar, aku reflek menggumamkan kata 'Ibu' sambil melambaikan tangan ke arahnya. "Ute? Ute di mana?" "Ute lagi makan sama Paman, Bu!" Paman Aksa kemudian mengarahkan ponselnya ke arahnya dan berbicara dengan Ibu. "Ute aku bawa untuk makan siang, kebetulan aku masih ada cuti hari ini. Jadi sengaja jemput Ute di sekolah tadi." "Aduh Mas, saya jadi nggak enak. Ute ngerepotin ya Mas? Maaf ya..." "Nggak kok, Ute anteng. Pinter lagi udah bisa makan sendiri." "Ibu!" panggilku yang membuat Paman Aksa kembali mengarahkan ponselnya ke arahku. "Kenapa Sayang?" "Tangan Ute luka, tapi udah pake plester sekarang." "Loh? Kok bisa?" "Tadi Ute jatuh." "Nanti cerita sama Ibu ya, sekarang Ute jadi anak baik, jangan ngerepotin Paman Aksa. Oke?" "Oke Bu!' Setelah itu panggilan itu terputus dan aku kembali melanjutkan acara makan bersama Paman Aksa yang sempat tertunda. Paman kembali menyuapiku, sedangkan aku menyuapinya dengan kentang goreng miliknya yang ternyata masih cukup banyak. Begitu selesai makan dan mencuci tangan, Paman pun memesankanku es krim sesuai dengan janjinya. Ia juga dengan sabar menungguiku selesai memakan es krim dan merapikan bibirku yang belepotan setelahnya. Rasanya sangat senang. Aku ingin terus seperti ini setiap hari. “Kita pulang yuk sekarang?” ajak Paman Aksa yang kujawab dengan anggukkan. Paman Aksa menggandengku dan menuntunku ke parkiran. Paman menyuruhku untuk menunggu karena ia perlu mengeluarkan motornya, sehingga aku memperhatikan sosoknya dari belakang. "Ute mau punya Ayah kayak Paman," gumamku dengan pelan. "Ute ngomong apa tadi?" tanya Paman begitu mengangkat tubuhku untuk naik ke jok motornya. Aku hanya menggeleng pelan tidak berniat menjawab pertanyaan Paman Aksa, dan berdoa dalam hati agar Ayah cepat pulang. *** Ternyata, doaku tidak terkabul dengan mudah
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN