Setelah lebih dari satu jam perjalanan yang berbatu dan bergelombang, mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar yang berdiri sunyi di tepi pantai terpencil. Dari luar, rumah itu sekilas tampak seperti sebuah vila mewah, berdinding putih dengan halaman luas menghadap langsung ke laut. Namun hawa yang menyelubunginya bukanlah ketenangan, melainkan aura yang mencekam dan mencurigakan, dengan pagar tinggi, kamera pengawas tersembunyi di berbagai sudut, dan beberapa pria bersenjata yang mondar-mandir dengan tatapan tajam.
Seorang pria membuka pintu mobil dengan kasar, meminta Bagas keluar. Kain hitam yang menutup matanya dilepaskan, cahaya sore langsung menusuk matanya, membuatnya harus menyipitkan pandangan.
"Selamat datang, Bagas," ucap salah satu pria dengan nada dingin, tangannya menepuk bahu Bagas seakan-akan menyambut, meski jelas itu lebih mirip ancaman tersembunyi.
Bagas mengamati sekelilingnya. Meski bangunan tampak seperti vila liburan dari luar, bagian dalamnya sungguh berbeda. Ia dibawa melewati lorong panjang, dindingnya dilapisi marmer hitam dan lampu-lampu modern yang redup. Kamera CCTV mengikuti setiap langkahnya.
Begitu memasuki ruang utama, Bagas terperanjat. Ruangan itu luas, dengan meja kayu jati panjang di tengahnya. Di ujung meja, duduk seorang pria empat puluh tahun berpakaian hitam, wajahnya berwibawa namun menyeramkan. Di kanan-kirinya ada empat orang pengawal dengan senjata otomatis.
"Silahkan duduk," ucap pria itu, "saya Petrus Dragon, cukup panggil Petrus saja," suaranya berat dan berwibawa.
Bagas hanya bisa menuruti. Ia duduk di kursi kayu di seberang si pria, mencoba menjaga ekspresi wajahnya yang terlihat sangat tenang.
Pria itu menyeringai kecil. "Kami sudah mendengar banyak tentangmu. Kau seorang pebisnis muda tapi sangat berani... dan pintar. Pertanyaanku sedehana, Bagas. Apakah kau siap berbisnis dengan kami, atau ada hal lain yang belum kami ketahui," ucapnya menyelidiki lebih dalam jati diri Bagas
Ruangan itu sunyi sesaat, hanya terdengar debur ombak dari kejauhan. Bagas menarik napas pelan, mencoba menimbang kata-kata sebelum menjawab.
"Tuan Petrus... saya juga sudah lama mendengar tentang Anda dari teman saya, kebetulan bisnis legal yang saya miliki sekarang dalam kondisi paceklik, jadi saya memutuskan beralih ke bisnis yang lebih menjanjikan walaupun tantangannya sangat berat."
"Ha....ha...haa... " Petrus tertawa mendengar ucapan Bagas. "Okelah Bagas. Ternyata kamu punya ambisi besar yang tidak dimiliki pemuda seusiamu, aku senang bisa berbisnis dengan orang pemberani sepertimu."
Petrus melirik kepada salah satu anak buahnya. Pria itu langsung masuk kedalam ruangan tersembunyi, lalu kembali dengan membawa tas kecil yang berisi jenis-jenis bubuk putih dan tablet, lalu meletakkannya di depan Bagas.
Petrus berkata pelan sambil menyalakan cerutunya. "Kau bisa cek dulu sampel jenis-jenisnya Bagas, sebelum kita buat perjanjian transaksinya," ucapnya.
Bagas segera meraih tas dan membukanya, kemudian dengan teliti ia mengecek setiap jenis dari bubuk dan tablet itu.
Sementara itu, radius seratus meter dari rumah tempat dilakukan transaksi, di balik pepohonan kelapa yang rindang. Helena dan dua rekannya, Freddy serta Youngky, menurunkan kecepatan mobilnya lalu berhenti. Mereka segera mematikan mesin, kemudian dengan gerakan gesit keluar dengan langkah sigap.
Helena membuka bagasi, mengeluarkan senjata serbu M4 yang sudah terpasang peredam suara. Wajahnya serius, berbeda jauh dari sosok manis yang tadi di cafe. Rambutnya diikat rapi ke belakang, matanya menatap tajam ke arah vila.
Freddy dan Youngky juga bersiap, memasang rompi anti peluru serta mengecek magasin masing-masing.
Mereka bergerak, mengendap dan mendekat, lalu berhenti di balik pepohonan rindang dengan radius lima puluh meter dari lokasi transaksi.
"Seluruh target berada di dalam area gedung, kita tunggu instruksi Inspektur Jaka sebelum bergerak," bisik Helena - matanya tak lepas dari bangunan megah yang dijaga ketat orang bersenjata.
Helena menempelkan headset kecil di telinganya, mencoba menyambungkan komunikasi. Namun suara yang ia dapat hanya statis, seolah ada sesuatu yang terjadi yang menghalangi sinyal. Ia tetap tenang, tidak ada kecemasan di wajahnya.
"Helena..." bisik Youngky, "bagaimana? komunikasi mati... apakah kita masih menunggu instruksi Inspektur Jaka atau langsung bergerak sekarang?"
"Sabar Ky... kita tunggu sinyalnya... dia pasti bisa mengirimnya. Dia selalu tepat dan tenang dalam situasi apa pun, kita harus tunggu," ucap Helena mantap, matanya fokus menatap ke depan sambil memegang ponselnya menunggu sinyal dari seseorang yang ia percaya.
Freddy menunduk sedikit, memperhatikan pola penjagaan dari balik teropong kecil. "Ada empat penjaga di depan, dua patroli keliling pagar, dan kemungkinan lebih banyak di dalam. Ternyata tempat itu bukan rumah atau vila, tapi markas besar sindikat narkoba."
Helena mengangguk, lalu menatap tablet mini dengan peta satelit offline yang sudah mereka simpan sebelumnya. Ia menunjuk ke sisi kiri vila. "Setelah ada sinyal bergerak, aku akan menerobos dari belakang, kalian terobos dari depan, kita buyarkan konsentrasi penjaga dari sisi berlawanan."
Ketiganya saling bertukar pandang. Ketegangan jelas terasa, tapi semangat tetap terjaga. Youngky merapatkan senjatanya, lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Ini misi gila selama karirku di kepolisian, tapi aku suka dengan tantangannya."
Helena menatap vila itu sekali lagi, lalu menarik napas dalam. "Ingat, Bagas mungkin masih mainkan peran palsunya di dalam. Kita tunggu sampai peran aslinya mulai."
Mereka mulai bergerak senyap, mendekati vila - menunggu komando untuk menyerbu.
Sementara itu, dari dalam ruangan bercat putih, lampu gantung kristal berkilau kontras dengan suasana yang tercipta.
Bagas duduk berhadapan dengan Petrus, sementara Franky - tangan kanan Petrus, berdiri angkuh di sisi kanannya, sebuah tato tampak di lehernya menambah keras wajahnya.
"Semua sesuai kesepakatan, ini adalah tahap awal dari bisnis besar yang akan kita jalankan Bagas! Sekarang giliranmu untuk siapkan uang tunai," ucap Petrus dingin.
Bagas tetap tenang, lalu tersenyum tipis.
"Maaf... Tuan Petrus. Saya tidak bawa uang tunai sebanyak itu. Selama ini, untuk nilai yang besar saya selalu transfer, lebih aman, cepat, dan saya bisa buktikan sekarang."
Petrus mengetukkan jarinya di meja, seolah mempertimbangkan. "Alasanmu masuk akal, Bagas. Tapi satu hal yang perlu kau ketahui, jika transaksi gagal...? maka kau tak bisa kembali atau kau... tak akan pernah kembali lagi."
Ancaman Petrus tidak membuat Bagas kaget. "Aku sudah lama dengar nama besar Anda, Tuan Petrus, dan aku tak akan mungkin bermain dengan Anda. Kita lihat saja kata-kataku. Aku yakin aku kembali. Dan aku berharap bisa kembali bersamamu."
Petrus menatap tajam, "maksudmu??"
Bagas tertawa pelan. "Tuan Petrus... Anda kelihatan bingung dengan kata-kataku tadi, maksudku hubungan kita pasti maju, dan aku tidak ingin relasi kita hanya sekedar bisnis. Kita bisa kumpul bareng, sambil menikmati kemenangan, ditemani bidadari cantik, dan anggur mahal."
Petrus tertawa, "Kau bukan hanya tampan Bagas... tapi ternyata kau juga seorang petualang, aku yakin pasti sudah tak terhitung banyaknya bidadari yang kau tiduri."
"Tapi... aku sangat yakin... Tuan Petrus juga punya jam terbang tinggi kan?" sela Bagas agak bercanda.
"Oke Bagas," ucap Petrus, kemudian ia melirik ke arah Franky. "Kasih ponselnya, Frank."