“Belajar yang pinter ya, Re” Ayah menurunkanku dari motornya dan menggandengku menuju gerbang SD Mawar 1, sekolah dasar elit dan favorit di kotaku. Aku hanya menatap wajahnya yang sumringah serta memegang jemarinya yang besar dan kasar erat-erat.
“Maaf pak, pengantar hanya diperbolehkan mengantar sampai depan gerbang” Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan seragam hitam menahan Ayah yang hendak melangkahkan kaki ke dalam gerbang. Ayah tersenyum pada laki-laki itu dan memberikan acungan jempol.
“Ayah berangkat kerja ya, Re. Sementara Rere sekolah dengan baik disini… Nanti sore Om Bimo jemput Rere, tadi ayah udah ingetin dia kalau Rere pulang jam 12 siang” Ayah mengusap kepalaku setelah selesai berbicara kemudian memberikan telapak tangan kanannya agar aku dapat menyaliminya. Langkah kakiku yang pendek menuju ke sekolah mengiringi kepergian Ayah dengan motornya menuju Ibukota. Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah SD!
Pengalamanku di SD Mawar 1 mungkin merupakan lanjutan dari pola asuh Mbok Nati yang akan membentuk kepribadianku hingga menjadi Rere yang sekarang. Aku belum bisa memberitau kalian “kepribadianku” itu seperti apa. Apakah itu suatu hal yang baik atau buruk, mungkin campuran keduanya. Yang bisa kuberitau kepada kalian adalah bahwa ceritaku ini sama sekali tidak spesial. Cerita ini adalah cerita kalian, mungkin saja. Menurutku ini adalah tentang kita semua yaitu kisah mengenai perjalanan dan perjuangan menemukan diri sendiri.
Aku tidak ingat banyak hal pada tahun-tahun pertama atau keduaku di SD Mawar 1, yang kuingat sangat jelas adalah ayah mengantarku di hari pertama sekolah. Di suatu hari yang cerah ketika aku sudah berada di bangku SMA, ayah cerita kalau ia juga mengingat dengan sangat jelas hari itu. Hari dimana ia mengantar putri pertamanya bersekolah. Ayah bilang ia sangat sedih ketika melihat diriku yang kala itu mengenakan seragam putih merah, menyandang tas berwarna pink terang bergambar barbie yang ukurannya sama besar dengan badanku, melangkahkan kaki ke dalam gerbang dan membaur dengan anak-anak lain yang terlihat sama bingungnya denganku. Aku tidak tau kalau itu menjadi suatu momen yang cukup sentimentil untuk ayah.
Mungkin aku mulai menyimpan memori bersekolah di SD Mawar 1 semenjak aku ada di kelas 3. Aku ingat memiliki sepasang teman yang merupakan adik kakak, aku lupa apakah mereka sebenarnya adalah sepasang anak kembar yang tak siam? Intinya mereka berdua bersaudara kandung. Namanya Vina dan Vino. Mereka berdua dicap oleh kami sebagai anak-anak yang bodoh. Mereka sepertinya berasal dari etnis tionghoa karena bermata sipit dan memiliki warna kulit yang terang. Baik Vina dan Vino sama-sama menggunakan kacamata. Kacamata mereka ada pengaitnya sehingga bisa dikalungkan ketika mereka sedang tidak ingin memakai kacamata. Seperti kacamata kakek dan nenek.
Aku tidak berteman dekat dengan mereka, tapi kami memang satu kelas. Oh iya, kenapa Vina dan Vino dicap sebagai anak-anak yang bodoh? Well, seingatku karena mereka lamban sekali dalam mengerjakan suatu soal atau ketika ditanya oleh guru mengenai suatu materi yang baru saja dijelaskan. Mungkin pada saat itu seisi kelas sangat gemas dengan kelambanan belajar mereka. Aku tidak ingat pernah merasakan kegemasan atas “kelambanan” Vina dan Vino. Aku hanya ingat bahwa semua anak menjauhi mereka, sehingga mereka hanya bisa bermain dengan satu sama lain.
Tanpa sadar, sedari SD aku sudah dihadapkan dengan kasus pembullyan. Baik pelaku maupun korban mungkin tidak sadar pada saat itu, tapi aku yakin bahwa tindakan kami yang menjauhi, mengolok-ngolok, bahkan menjahili Vina dan Vino pasti berdampak bagi mereka sampai sekarang. Seperti dampak pola asuh Mbok Nati, pengalaman SD-ku yang tidak mengenakkan, dan hal-hal pahit (serta manis) lainnya yang memengaruhiku menjadi Rere yang seperti sekarang. Vina, Vino, kalau kalian membaca kisahku ini, Renjana Senja Kala atau yang biasa dipanggil Rere, yang kupastikan kalian tidak akan mengingatku karena aku bukan salah satu anak yang menonjol kala itu, aku ingin meminta maaf pada kalian atas apa yang sudah kuperbuat. Walaupun aku juga tak ingat apa yang sudah kuperbuat pada kalian… untuk berjaga-jaga saja kalian masih mengingatku dan mungkin aku pernah berbuat salah pada kalian.
Kisah lainnya yang kuingat adalah pembullyan pertama yang kudapatkan dari seorang anak pindahan bernama Aruna. Aruna adalah bocah laki-laki dengan perangai tengil dan jahil, berkulit coklat dan tubuhnya sedikit berisi tapi tidak bisa dikategorikan gemuk. Cukup ideal. Entah apa yang memicu perdebatan antara aku dan Aruna pada saat itu, yang kuingat adalah kita saling adu mulut dan mencaci.
“Dasar gendut!” Aruna memeletkan lidahnya kearahku.
“Daripada lo, item! Huu!” Aku balas meledeknya, tak lupa memelototinya berharap ia takut, yang terjadi justru sebaliknya. Aruna semakin bersemangat mengata-ngataiku dan menjahiliku, ia melakukannya sambil tertawa dan bercanda ria, sementara aku berjuang agar tidak menangis.
Aruna juga pernah melemparkan pasir ke arahku, tepatnya ke kedua bola mataku. Saat itu aku menangis dan Aruna hanya bisa diam melihatku yang menangis histeris. Teman-temanku menghampiri kami, anak-anak perempuan menepuk-nepuk pundakku dan berusaha menghiburku, mereka memapahku ke ruang UKS dan mengadu pada guru jika bertemu di lorong. Kebanyakan dari teman-teman kelasku juga tidak menyukai Aruna. Aruna sama seperti Vina dan Vino, ia dijauhi di kelas. Tapi sejauh yang kuingat adalah Aruna dijauhi bukan karena tingkahnya yang jahil, tetapi karena ia berkulit lebih coklat dibanding kami semua. Mungkin perkiraanku salah, tapi memang julukannya dikelas adalah “Aruna si buluk”.
Mengenai teman-teman dekatku, aku ingat mulai memiliki ‘geng’ ketika aku berada di kelas 4. Geng kami terdiri dari 4 orang: aku, Jani, Aira, dan Vanka. Jani adalah teman dekat pertamaku, ia berkulit sawo matang dan memiliki mata yang belo. Ciri khas Jani adalah giginya yang gingsul dan tompel yang ada di pipi kirinya. Tapi menurutku dengan semua fitur uniknya itu, Jani sangatlah manis. Sementara Aira memiliki kulit yang paling terang diantara kami berempat, atau yang biasa kita katakan ‘berkulit putih dan mulus’. Aira pintar berbahasa Inggris karena ia mengikuti les tambahan di luar sekolah dan ia juga termasuk kategori “cewek-cewek cantik” di kelas. Terahir Vanka, ciri khas Vanka adalah tinggi badannya yang diatas rata-rata, dia jauh lebih tinggi dibanding kami bertiga, bahkan ia lebih tinggi dari semua anak laki-laki di kelas yang pada saat itu baru mau puber. Kami berempat sering menghabiskan waktu bersama secara tak sengaja, dan tiba-tiba saja geng kami terbentuk.