RENA
"Ekhm! Papah nggak mau istirahat dulu? Aku udah buatkan Papah minum. Aku buatkan es teh, karena aku pikir Papa yang habis berkebun pasti lelah dan butuh asupan yang segar-segar kan?"
Sebisa mungkin aku tersenyum genit dan mulai menjulurkan jemariku untuk mengusap peluh yang menetes di dahinya. Ahhh! Aku sungguh tak tahan. Mengapa tidak ada respon sedikit pun dari pria ini? Beginikan cara menggoda seorang p*****r? Apa aku salah? Kenapa Papah nggak mau ngrespon sih. Nyebelin!
Jemari ku aku turunkan ke arah d**a, dan kemudian merambat ke bawah tonjolan besar yang ada di depan selakangnya. Apa dia sudah terangsang? Apa aku berhasil?
"Aku remas boleh nggak, Pah?" Sial. Menjijikkan sekali, ku kira ku hanya akan memohon pada Mas Ares. Tapi lihat, aku malah menawarkan diri untuk meremas miliknya yang besar itu. Aa mungkin aku sudah gila karena hasrat ku yang sangat menggebu ini?
"Ren! Jangan macam-macam! Papah ingatkan sekali lagi! Jauhkan tanganmu itu dari sana kalo kamu nggak mau Papah hilang kendali. Kamu pernah bilang nggak akan mau hianatin anak Papah kan? Maka jangan lakukan hal aneh-aneh untuk memancing gairah Papah. Kamu tau sendiri, Papah udah lama nggak bercinta dengan Mama mertuamu kan?"
"Tapi aku pengen, Pah. Maafin aku karena dulu menolak Papah. Ayo! Ayo sekarang kita lakukan. Milikki aku Pah. Sekarang Papah bisa memuaskan hasrat Papa dengan bercinta denganku. Hubungan kita akan aman, Pah, kalo Papah juga jaga rahasia dari Mama dan Mas Ares." Perlahan jemari kasar yang basah karena air itu mulai kurang ajar karena Papah sudah berani mengelus bagian payudaraku yang tak tertutup bra semua. "Ahhh.. Tangan kasar, Papah sungguh mantap... Ahhh..."
Sungguh gila. Tapi, hanya ini yang aku inginkan sekarang. Dipuaskan oleh Papah mertua sendiri. Saat desahan keluar begitu saja kulihat Papah malah tersenyum miring. Entah apa maksudnya? I don't care. Dan sialnya vaginaku sudah terasa becek. Dengan masih berjongkok, aku mulai menggerakkan pinggulku agar Papah lebih tergoda. Aku harus berusaha semampuku agar Apah mau melakukannya pagi ini juga. "Pahhhh... Ohhh.. Jangan diplintir.. Ahhh.. Ayo ke kamar, Pahhh.. Ahhh.."
"Kamu belum pernah coba bercinta di luar dengan terik matahari yang panas gini kan?"
"Belum.." desahku.
"Papah juga belum pernah, dan Papah ingin mencobanya. Kita akan melakukan hal-hal yang belum pernah kita coba hari ini. Di pagi hari yang panas ini." Seringai itu terlihat lagi. Namun, mataku sungguh sayu untuk memperhatikannya lebih detail. Yang aku rasa hanyalah benda kenyal mulai mencecapi leher mulusku. Kedua tangan Papah juga sudah meluncurkan dress seksi ku ini.
Memang sangat sengaja aku tak memakai cd.
"Jangan buat tanda Pah."
Hanya gumaman yang bisa aku dengar. Selebihnya aku dibawa melayang entah sampai langit ke berapa. Cumbuan yang sangat erotis mampu membuat kedua putingku rasanya gatal. "s**u nya aku juga dicobain, Pah."
"Shhh... Papah... Enakkkk..."
Lututku sudah sangat lemas untuk berjongkok, tiba-tiba aku terjatuh begitu saja karena sudah tak kuat dengan cumbuan Papah di bibirku. Entah bagaimana cara dia mencumbu. Tapi... Rasa bibirku ini jadi tebal. Aku tak peduli. Aku ingin merasakan pusaka besar itu di dalam ku.
Aku sudah berbaring dengan alas rerumputan hijau, sampingnya ada tanah dan berbagai pot yang belum selesai di tanami oleh Papah. Air dalam selang terus mengalir ke arah tanah itu, tanah yang tak tertutup rumput. "Ayo, Pahhh.."
"Bentar, Ren."
Aku tersenyum kecil saat mendapati dia terburu-buru membuka celana nya itu. Untung saja, taman belakang ini ditutupi oleh pagar, walaupun pagar itu hanya setinggi d**a ku tapi itu sudah cukup untuk melindungi kami dari mata tetangga sebelah. Kaos Papah tak ikut dilepas, begitu juga dengan dressku yang tadi hanya dinaikkan oleh Papah sampai di atas p******a besarku. Ehm.. Entahlah p******a ini besar atau tidak, tapi kurasa besar kok. Karena waktu aku ukur dengan telapak tangan, p******a ini tak bisa mencangkupnya semua.
"Liat p***s Papah, Ren. Kamu suka nggak yang kaya gini?"
Aku mengangguk cepat. Sungguh sekarang p***s itu sangat coklat eksotis dan sangat gagah, panjang serta besar. Buah zakarnya tak bisa diragukan lagi. Sangatlah besar! Pantas saja punya Mas Ares begitu besar, terunannya Pak Joyo. Jadi jangan diragukan lagi. p***s yang sangat besar dan panjang itu pinggirnya berbalutkan rambut-rambut hitam yang tipis.
"Langsung masukin aja nggak apa-apa kan, Ren? Punya Papah dah gatel banget pengen celupin di kamu."
"Iya, lagian tadi juga udah vore play kan, Pah. Punya Papah mungkin juga nggak sakit karena p***s Mas Ares sama besarnya dengan milik Papah."
Papah langsung saja mengukungku. "Ohh.. Papah.. enak.." Papah terus menyusu di kedua p****g tegangku. Tangannya sibuk di bawah sana. Entah apa yang Papah lakukan. Tapi aku merasakan ada gesekan-gesekan, gesekan yang mampu membuatku melenguh. "Pah, jangan lama-lama dong. Gatel nih."
Jleppp..
"OOKHHHH.." Bibirku spontan saja mengeluarkan desah keras itu. Beberapa minggu tak dimasuki oleh p***s. Tapi, pagi ini, langsung begitu saja.
Papah langsung melumat bibirku. Mungkin dia tak mau kalau sampai ada tetangga mendengarnya dan malah mengintip karena rasa penasaran mereka.
"Papah gerak. Milik kamu peret banget, Ren. Ohh..."
Gerakan bruntal terus dilakukan oleh Papah. Gila! Pria tua paruh baya yang sudah beruban ini ternyata punya kekuatan tersembunyi. Genjotan nya masih sangat-sangat enak. Dapat membuat kepuasan di dalam sana.
Desah kami beradu jadi satu. Air mengalir, burung-burung hilir mudik di atas sana, dan para tanaman menjadi saksi bisu percintaan panas pagi hari ini. "Ahhhhh.. .ahhhhh.. ..ahhhhh.."
"Ohhh... ohhh.. enak bnget, Ren v****a muuu.. ohhh."
Panas. Memang sangat panas pagi ini. Sudah cuacanya panas, ditambah lagi percintaan yang panas ini, dan baju yang tidak kami lepas membuat keringat membasahi tubuh kami.
Tanganku tanpa sadar menarik kaos Papah lebih ke atas. Putingnya terlihat, tanpa ragu aku memilinnya. Mencubitnya dan menariknya. Bagaikan mainan squishy karena teksturnya sangat kenyal.
"Achhh.. nakalhh.." Nafas kami tersenggal-senggal.
"AHHH.. AHHH.. PAPAHHHHHHH... ENAKKK.."
Crot.. crot.. crot..
Klimaks ku sudah keluar. Tapi tidak dengan Papah, dia masih sibuk menggenjot di atasku. Mulutnya terus mendesah kata "Ohhhh.. .ohhhh.. .ohhh.. ahhh.."
"Jangan keluarin di dalem Pah.." Papah langsung mencabutnya dan menarikku untuk duduk. Apa dia sudah akan klimaks? Hihihi.. Sehati dong kalo gitu.
Dengan masih tersenggal-senggal. Papah memintaku untuk membuka mulutku. Bingunglah aku. Kenapa dengan mulutku.
"Rena! Buka mulutmu!"
"Kenapa sih, Pah?"
"Cepet."
Akhirnya aku mengalah. Kasian melihatnya seperti ini keringatnya sudah banyak, dan nafasnya masih tersenggal-senggal. Aku mulai membuka bibirku kecil.
Tapi yang membuatku kaget. Ketika dia memegang oenisnya yang lebih menggembung dan bengkok ke atas. Apa jika akan klimaks memang seperti itu.
"Encut. Sedot penisku, Ren! Hahh.. Kaya lagi minum pake sedotan."
"Nggak!"
Siapa yang mau? Aku dengan Mas Ares tak pernah melakukan hal seperti itu. Tapi dia malah memintaku?
"Haish.. Cepat Ren! Kalau tidak aku akan sebar semuanya!"
Sial. Dia mengancam. Mau tak mau aku meraihnya. memegang p***s yang di sekitarnya terdalat rambut-rambut hitam.
Aku melakukannya dengan perlahan. Menyedotnya seperti aku minum dengan sedotan. Rasanya sangatlah aneh. Besar dan ada cairan lendir nya. Apa ini cairanku tadi?
"Pintar.." gumamnya.
Aku juga mencelup-celupkan dalam mulutnya memaju mundurkan dengan jemariku. Tapi lama kelamaan hal yang tak terduga terjadi. Tangan Papah malah memegang kelapaku dan bokongnya itu bergerak cepat membuatku tersedak, tapi aku tak bisa lepas dari sana. Kepalaku dipegang kuat oleh Papah.
"Ohhh.. .ohhh... ohhh.. renaaa.. .enakkkkk"
"Ohhhh.. .AAAAHHHHHH"
CROT! CROT! CROT!
Pinggulnya tersentak sentak. Penisnya jadi maju mundur hingga mencapai terongkongan ku. Spermanya moncrot di dalam. mau tak mau aku menalannya rasa amis dan asin sangat terasa. Membuatku mual-mual di sana.
****
sekian guys...
disambung kapan² ya.. .
komennya aku tunggu sampe 20 komen deh ya..
baru deh lanjut adegan ++ nya.. .