Part 12

834 Kata
RENA Badan ku ini terasa sangat remuk redam karena keganasan Papah. Ditambah lagi terik matahari yang begitu membebani tubuh ku yang luar biasa ini. Tapi rasanya belum juga puas, aku masih ingin dimasuki milik Papah yang itu.  Setelah kupikirkan perbandingan Papah dan Mas Ares adalah masalah stamina mereka. Papah mampu menggenjotku dengan kasar, nikmat, dan agresif. Sedangkn Mas Ares suka gerakan yang lembut. Dan ya, aku lebih suka goyangan bor dari Papah yang mampu memuaskanku.  Aku melirik Papah yang saat ini lemas di sebelahku. Peluh juga menyiram dahinya dan rambut berubannya itu.  "Pah, aku mau lagi... Masih kurang... Ayo masukin aku lagi, Pahh." ajakku yang diakhiri dengan kata yang sedikit aku desahkan.  "Kamu memang menantu nakal, Ren. Tak ada capek-capeknya minta Papah mu ini buat genjotin kamu."  "Enggak, aku nggak capek sebelum puas, Pah. Ayo,"  "Oke, kalau gitu, tapi awas saja kalau kamu minta berhenti kalo Papah belum puas. Kita akan berhenti jika sama-sama sudah puas, Ren." Aku mengangguk kencang. Milikku sudah berkedut di sana bawah.  Papah dengan hasil sigap, body ku terbilang cukup montok, sedikit yang menyenangkan. Papah sedikit saat ini.  "Punya Papah udah tegang lagi, aku masukin ya Pah?"  "Kita pindah ke dalam saja, bahaya kalau sampai dilihat tetangga." ajak Papah sembari membenahi kaos dan juga celana nya. Memasukkan kembali p***s yang sudah tegang itu kembali ke sarangnya. Aku terkekeh melihatnya, melihat celana Papah yang sekarang malah menggembung besar karena menampung sesuatu.  Kami pun berjalan beriringan memasuki rumah, meninggalkan segala bekakas yang masih berserakan di halaman belakang.  "Pah, nanti dulu ya lanjutnya, Rena masih haus mau bikin es sirup. Papah mau nggak sekalian Rena buatin?"  Papah berdecak dan menatapku sebal. "Yaudah yaudah! Cepetan! Nggak tau situasi banget kamu ini nafsu udah diubun-ubun malah sibuk mau bikin sirup." Aku tertawa pelan menanggapi ucapan Papah. Tapi bagaimana lagi, tenggorokan ku sudah kering karena kegiatan panas di taman tadi. Sinar matahari sekaligus hasrat kami rasanya sangat membakar tenggorokan.  Aku langsung meneguk es sirup yang aku buat tadi setelah duduk di samping Papah. Papah hanya meminta air putih saja. Rasanya belum cukup melegakan, kembali aku berdiri dan ingin membuat kembali es sirup untuk kedua kalinya.  "Mau kemana lagi kamu?" "Bentar ya, Pah. Rena masih haus," "Ck! Lama kebanyakan minum kamu nih!"  Papah meraih gelasku dan langsung menaruhnya di wastafel. Kemudian langsung menarikku ke tepi meja makan. Aku yang kaget hanya menurut saja saat Papah menarik turun celana dalamku yang sudah basah karena percintaan tadi.  "OOKHHHHH"  Tanpa pemanasan Papah langsung memasuki intiku. Papah kemudian menggenjot nya dengan cepat.  "Ahh... Ahhh.. Ahh... Renhhh.. Ohhh"  Aku hanya bisa mendesah dan berusaha untuk mengimbangi gerakan Papah. Tanganku berpegangan kuat pada tepi meja makan. Sungguh dengan Papah aku mencoba hal-hal baru yang sebelumnya belum aku coba dengan Mas Ares.  "AKHHHH PAPAHHHH SAKITTTTTT..." Papah dengan kasar meremasi kedua s**u ku yang bergelantung indah. Kedua tangannya yang sedikit kasar memelintiri p****g coklatku yang sudah tegang dan basah. Basah karena ukah siapa lagi kalau bukan ulah bibir Papah tadi.  Bagaikan memeras s**u sapi. Ya, seperti itulah yang dilakukan Papah saat ini. Peganganku yang semakin menggendurpun aku eratkan lagi. Hingga gelas yang berisi air putih Papah ikut tumpah, untung saja tidak sampai jatuh ke lantai.  "OHHH... OUHHHH...AHHHH KAMU BENER-BENER ENAK RENN AHHH.. OUGHHH.."  "Engghh.. Lebih cepat Pah, aku mau sampai." pintaku pada Papah. tapi apa yang Papah lakukan, Papah malah sengaja berhenti seerti mempermainkan diriku. Baiklah jika Papah berhenti kini giliranku yang bergerak. Aku bergerak maju mundur agar p***s besar Papah tetap bergerak.  "Ck!" satu tamparan mendarat pada bokongku. "Sshhh... Kamu memanghh pintarhh... Andai Ares tau apa yang kamu lakukan, ia pasti nggak akan memaafkanmu." Mataku merem melek menikmati genjotan yang kulakukan sendiri. Mulutku terus saja mendesahkan kata Papah. Samapai akhirnya keluarlah klimaksku.  "s**t! Ren!" Belum sempat aku bernafas lega setelah aku klimaks, Papah langsung memintaku berjongkok di depannya penisnya yang menggantung itu. Aku tebak Papah pasti sebentar lagi juga pasti akan klimaks. Tapi aku nggak akan membiarkan nya semudah itu. Aku ingin balas dendam karena apa yang dia lakukan padaku tadi. Aku mulai menempelkan bibirku diujung penisnya yang terdapat cairan putih milikku tadi. Mempermainkan lidahku di ujung kejantanan Papah dengan gerakan lembut agar supaya Papah tersiksa.  "Ren jangan mempermainkan ku!" Merasa sudah cukup main-mainku akhirnya aku mulai menyedot batang coklat dengan pinggiran berambut hitam keriting itu. Dengan sengaja aku pun meremasi kecil buah zakar milik Papah yang menggantung-gantung lucu.  "Enghhh... Oouugggghhhh... Memang pintar." "PAPAH!! RENA!!!!"  Refleks aku dan Papah langsung menjauh. Jantungku bertalu-talu dengan kencang saat mendapati Mamah barusaja pulang dari pengajian. Aku hanya bisa menunduk mendengar penuturan Papah pada Mamah.  "Mah, dengerin ini nggak seperti yang Mamah liat."  Aku melihat jika Mamah menatap sekitar dan ya keadaannya sangat kacau. Celana dalam warna merah menyala milikku saat ini berada di atas meja, celana dalam yang basah karena cairan putih kental milikku tadi. Dan kemudian gelas Papah yang tumpah mengakibatkan air mengalir hingga jatuh ke lantai.  Mamah pun pergi dengan wajah kecewa dan Papah segera menyusul Mamah. Dan ya, hari itu adalah hari dimana Mamah mengalami kecelakaan karena pertengkaran dan berujung pada penyakit stroke.  ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN