Part 10

1209 Kata
RENA Betapa beruntungnya aku ketika Mas Ares dan keluarganya datang ke rumah kecilku dan menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminang ku. Senyum ku terbit, dipinang oleh pemuda kaya raya, kerjaan mapan, ayahnya memiliki kantor sendiri. Ah, betapa bahagianya hatiku. Dari kecil aku selalu hidup berkecukupan, makan seadanya, dan ketika usia ku menginjak 15 tahun, aku harus membantu Ibu berjualan di pasar karena bapak yang saat itu mulai sakit-sakitan. Ada rasa iri di hati kecilku ini melihat tetangga ku selalu pergi jalan-jalan menggunakan mobil. Pergi ke pantai, pergi ke tempat makan yang bagus, punya baju-baju yang bagus. Sedangkan aku? Aku tak bahkan tak pernah mendapatkan itu semua. Seringkali aku berkeluh kesah ke Ibu dan Bapak, tapi mereka hanya menatap ku dengan tatapan sendu. Tapi satu waktu ketika aku sangat ngotot meminta motor untuk sekolah SMA. Mereka menurutinya, entah mereka mendapat uang darimana untuk menuruti kemauan ku itu. Tapi biarlah, setelah ini aku akan mencoba menurut pada ucapan Bapak dan Ibu, kasian mereka selalu bekerja keras siang dan malam. Kehidupan masa SMA ku cukup baik, aku memiliki teman-teman yang sayang padaku. Menerima aku apa adanya. Dan setelah lulus SMA aku meminta untuk lanjut kuliah, tapi Bapak dan Ibu tak bisa menurutinya, ya sudah tak apa. Aku akan mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga ku. Aku ingin memperbaiki nya agar kehidupan keluarga ku makmur dan bisa seperti tetangga-tetanggaku yang punya mobil, baju-baju bagus. Aku bekerja di sebuah kantor besar, disana aku bekerja sebagai office girl. Kantor milik teman Pak Joyo, Papa mertuaku. Aku kenal dengan Mas Ares juga disana. Saat itu, Mas Ares kerap kali berkunjung untuk membicarakan masalah project. Mas Ares memang tidak berkerja di kantor milik Papa, Mas Ares lebih memilih bekerja di tempat lain. Katanya dulu Mas Ares ingin memulai semua dari nol. Kami cukup dekat, aku biasanya membantunya membawa berkas. Lama kelamaan aku pun mulai nyaman dengan adanya Mas Ares di dekatku. Aku mulai menyukainya, tapi aku juga sadar bahwa itu semua hanyalah mimpi. Kami bagaikan bulan dan bumi yang tak akan pernah bertemu. Aku mulai mengubur rasa itu, tapi siapa sangka Mas Ares beserta Mama dan Papa mertuaku datang untuk meminangku. Akhirnya aku menikah dengan Mas Ares, kami hidup di rumah Papa dan Mama Mas Ares. Kehidupan kami cukup bahagia, hingga satu waktu mobil yang di tumpangi Papa dan Mama kecelakaan yang mengakibatkan Mama menjadi lumpuh. Karena kecelakaan itu berimbas juga pada kantor Papa yang mengalami kebangkrutan. Kantor Papa mertua ku harus di tutup. Biaya yang seharusnya untuk kantor malah Papa pinjam dahulu untuk kepentingan pengobatan. Saat itu juga hanya ada Mas Ares sebagai tulang punggung keluarga. Papa waktu itu juga mengatakan ingin bekerja kembali, tapi Mas Ares melarang. Karena usia Papa tak lagi muda, harus banyak-banyak istirahat menikmati masa tua dengan Mama. Jadilah aku merawat Papa dan Mama, sedangkan Mas Ares yang menjadi tulang punggung keluarga. Aku merawat kedua mertua ku dengan telaten, karena aku sudah biasa merawat Bapak yang sedang sakit ketika Ibu pergi ke pasar. Di pagi hari aku memasak, menyuapi Mama, mencuci pakaian, membersihkan rumah yang sangat besar itu. Ketika pekerjaan telah selesai waktu selalu sudah siang. Aku merasa seperti pembantu. Kemudian di sore harinya aku biasa membuatkan Papa kopi atau teh untuk menemani beliau yang sedang membaca koran. Begitupun seterusnya kurang lebih selama satu tahun sampai kami di haruskan pindah ke rumah minimalis yang dibeli oleh Mas Ares. Mas Ares membeli rumah itu karena untuk menghemat biaya hidup. Sebenarnya aku nggak mau tinggal di perumahan yang sempit ini. Walaupun dulunya rumah yang ku tinggali dengan Bapak dan Ibu lebih kecil dari ini. Tapi aku nggak mau, mungkin saja penolakan ku itu karena aku terbiasa hidup di rumah besar nan mewah. Tapi karena bujuk rayu Mas Ares akhirnya aku mau tinggal disana. Keseharian ku di rumah baru juga sama saja. Di pagi hari aku mengurus Ibu dan keperluan kami sekeluarga. Dan sore nya membuatkan teh atau kopi untuk Papa. Saat itu, adalah saat paling b*******h, saat yang tak pernah aku sangka sebelumnya, saat saat dimana aku menyatu dengan PAPA MERTUAKU SENDIRI. Saat itu Mas Ares sedang ada kerja di luar kota selama satu minggu. Papa sore itu betingkah tak sewajarnya. Papa mengelus pelan paha putih ku yang terekspos karena rok yang aku pakai tersikap turun saat aku berjongkok menanam bunga mawar di belakang rumah. Aku menikmati nya, sangat. Mungkin semua karena efek Mas Ares tidak menyentuhku selama 5 hari. Tangan keriput itu mengusap pahaku. Aku sebenarnya risih, berkali-kali aku menyingkirkan tangan Papa. Tapi dengan gerakan tiba-tiba Papa meremas kedua p******a ku. "Akhhh..." Aku memekik kaget, ingin sekali aku berteriak dan menampar pipinya. Tapi aku tak bisa memungkiri jika sentuhan-sentuhannya sangat nikmat. Aku hanya bisa memperingatkan nya dengan cara halus. Jika nanti aku melakukan kekerasan pada Papa, aku takut aku akan durhaka, karena menolak dan membangkang. Papa memperlihatkan senyum miring nya ketika mendengar reaksi kaget ku. Aku sudah sangat takut, aku takut aku tidak bisa menjaga kesucian di antara rumah tangga ku dengan Mas Ares. Aku hanya ingin tubuhku dan semua yang aku miliki disentuh oleh Mas Ares saja. "Maaf, Papah nggak sengaja Ren. Jangan bilang pada Ares atau Mama mertuamu, kalau kamu bilang mereka akan sakit hati." Setelah mengucapkan itu Papa pergi meninggalkan ku yang sedang berjongkok di dengan bunga yang baru saja aku tanam. Nafasku memburu, kejadian tak terkira yang aku alami membuatku sedikit takut untuk mendekati Papa. Sudah lama usia pernikahan ku dengan Mas Ares, tapi tak ada tanda-tanda aku akan hamil. Kami sudah pernah periksa ke dokter, kata dokter tak ada masalah diantara aku dan Mas Ares, kami sama-sama sehat. Setelah kami periksa, kami akhirnya bertekad untuk segera melakukan program hamil. Tapi, ketika hari-hari progam hamilku akan dimulai, Mas Ares lagi-lagi ditugaskan untuk pindah cabang ke kantor yang ada di luar kota. Aku pun hanya bisa memaklumi semua itu, Mas Ares juga harus kerja untuk menafkahi kami sekeluarga. Mas Ares pun menunda rencana kami untuk ikut progam hamil. Aku dan Mas Ares selalu bertukar kabar kapanpun itu. Bos tempat Mas Ares bekerja terus menambah waktu kerja Mas Ares hingga berbulan-bulan Mas Ares kerja disana. Hasratku jadi tak tersalurkan. Dan beberapa hari juga Papa tak memggodaku seperti dulu. Namun kebiasaanku dalam membuatkan teh atau kopi du sore hari tetap berjalan. Aku tau ketika aku sedang bercengkerama dengan Papa. Celana Papa itu selalu menggembung. Aku ingin sekali p***s yang ada di dalam celana itu. Menjilatinya, memasukkannya ke dalam milikku, dan juga aku ingin mengocoknya. Aku selalu memancing-mancing Papa dengan gerakan tubuhku yang gemulai. Aku selalu meliuk-liukkan bokongku agar Papa kembali tergoda. Namun tetap saja. Hingga hari itu, Mama sedang pergi ke pengajian di masjid dekat rumah. Mama pergi dengan tetangga, atau masih bisa dibilang saudara juga. Pagi itu aku dan Papa hanya berdua saja di rumah. Aku sengaja memakai gaun tipis warna hitam. Aku melepas bra ku, tapi tidak dengan CD nya. Aku berjalan mendekati Papa yang sedang bercocok tanam di kebun belakang rumah. Aku berjongkok di sampingnya. Aku melirikkan mataku ke bawah, ternyata payudaraku tak tertutup semua, dan terlihat mulus jika dipandang dari atas sini. Fix! Hari ini aku harus bisa membangkitkan gairah Papa. Aku tak mau menahan hasrat itu yang semakin lama semakin menggebu. **** Jangan lupa komen guys. Di part selanjutnya masih pov Rena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN