Part 9

1302 Kata
Rena masih terbaring lemah, sambil mengatur nafas akibat pelepasan yang baru saja dia alami. Aku hanya memandangnya sinis. Gila! bisa-bisanya dia dengan santainya melakukan itu dihadapanku. Kulihat nafasnya sudah mulai teratur. Rena berdiri mendekatiku. Meliuk-liukkan badannya ke kanan dan kiri. Tangan Rena tak tinggal diam. Dia memelintir p****g s**u yang semakin besar itu. "Aku akan dengan senang hati melayani nafsu batin mu Mas." "Pergi!" "Bawa baju-bajumu keluar dari sini. Aku ingin istirahat." ucapku tegas. Aku sudah geram dengan segala tingkah lakunya itu. "Mas..." "Aku bilang pergi!" Aku menekan kan kata-kataku. Rena membuang nafasnya kasar, memunguti pakaian yang berserakan itu, dan CD yang sudah basah terkena lendir. Setelah ia keluar aku langsung menutup pintu kamar tamu dan menguncinya. Aku harus segera istirahat karena besok aku akan mencoba mengirimkan surat lamaran ke cafe dekat kampus tempat ku menimba ilmu. **** Sekarang aku disini, di depan pintu masuk cafe, ku hembuskan nafas berkali-kali untuk menetralisir kegugupan ku. Ku rapalkan doa-doa sebelum membuka pintu masuk cafe. Aku membuka pintu cafe, bisa kulihat banyak pelanggan yang sedang duduk menikmati kopi mereka, atau cake yang mereka pesan. Pelayan yang sedang mondar-mandir mengantar pesanan, dan juga pelayan yang sibuk mencatat pesanan pelanggan. Aku segera menuju kasir, "Ekhm! Permisi Mas. Saya lihat di depan tertulis bahwa cafe ini sedang membutuhkan karyawan. Dan saya disini mau antar surat lamaran saya." "Oh iya, baik. Nanti untuk info selanjutnya saya hubungi ya, Mas. Soal nya cafe lagi rame." "Ah iya Mas, terimakasih. Saya permisi dulu." Semoga cafe ini bisa menjadi harapan ku. **** Pukul 17.00 ku pakirkan motor ku disamping mobil. Setelah mencabut kunci, aku mulai memasuki rumah. Saat di ambang pintu, langkah ku terhenti. Aku berdecak kesal, capek karena baru saja pulang kerja disuguhi pemandangan pria yang ku akui sebagai Papa ku sedang memangku Rena. Wajahnya menunduk di depan d**a Rena, sedangkan wanita itu wajahnya mendongak dengan mulut menganga. "Ohhh... yang dalem Pahhh.. Ahhh...yeahhh.." "Ahhhh.. enakk pahhh... pengen dimasukin jugahh...ahhh.." Rambut uban itu terus diremas sampai terlihat acak-acakan. "Nanti istriku sama Ares liat." ucap pria itu mendongak menatap sepasang mata gelap Rena. Melihat tangan Rena makin menjadi aku segea bertindak. Brak! Memang ku sengaja menutup pintu lebih keras. Agar mereka sadar, bahwa ini bukan rumah mereka, dan mereka tidak boleh seenaknya. Kulihat mereka tersentak kaget, desahan yang tadinya keras tiba-tiba terhenti. Papa cepat-cepat menyingkirkan Rena dari pangkuannya. "Sudah pulang, nak?" Cih! Aku berdecih dalam hati, begini saja Papa mau berkata lembut pada ku, pasti ada maunya. "Hm," kembali aku melangkah ingin meninggalkan mereka, "Oh iya, tolong malam ini kalian kemasi baju-baju kalian. Dan besok kalian juga harus keluar dari sini." "Nak, Papa mohon, izin kan papa tetap disini dulu untuk sementara. Papa belum dapat pekerjaan," "Apa dengan b******u dan bermesraan seperti tadi kerja akan datang dengan sendirinya?" aku tertawa sinis. Ingin rasanya aku melakukan tindakan kasar. Tapi mengingat lagi jika beliau merupakan Ayah ku sendiri. Ayah yang dulu sudah membiayai sekolah dan hidupku sampai aku jadi seperti ini. "Be-besok Papa akan cari lagi," "Baiklah, terserah kalian." **** Pagi ini aku mendapatkan telefon dari cafe yang aku datangi kemarin. Dan mereka meminta ku untuk datang kembali dengan beberapa persyaratan. Ternyata disana aku diminta langsung masuk ke ruangan bos mereka. Benar, benar membuatku gugup setengah mati, saat akan mengetuk pintu kayu warna coklat itu. Disini lah sekarang aku berada, duduk di depan seorang wanita muda atau lebih tepatnya seorang gadis yang tengah serius membaca data diri yang aku cantumkan dalam surat lamaran ku kemarin. Jika dilihat aku dan bos ku itu lebih tua aku. Dia seperti masih anak kuliah. Ah masa bodoh! tak ada waktu untuk memikirkan itu sekarang ini. Yang terpenting adalah pekerjaanku. "Ares Putra Atmaja, umur 29, lulusan S1 manajemen, status sudah menikah," aku hanya mengangguk anggukan kepala. "Jadi saya panggilnya Mas, ya?" "Emm.. kalo itu terserah ibu. Senyaman Ibu saja bagaimana," Gadis itu terkekeh mendengar ucapanku, apa ada yang salah dengan kata-kata ku? "Jangan panggil ibu, Mas. Saya kelihatan tua banget, ya?" Aku hanya tersenyum canggung dan menggeleng menanggapi pertanyaan itu. "Ya sudah jangan panggil saya Ibu, nama saya Nadia Sarmitha Putri," Senyuman nya sangat menawan. "Baik, Mbak." Matanya melotot mendengar ucapan ku, "Jangan panggil Mbak, umur saya masih 21." Terus harus kupanggil bagaimana? Kenapa bosku seperti ini? "Kan Mbak Nadia atasan saya. Jadi saya nggak enak jika harus panggil nama saja." jelasku. "Baiklah, tapi kalo diluar jam kerja panggil nama saja, ya?" Aku mengangguk menyetujui ucapannya, sebenarnya ingin sekali aku menyangkal tapi gadis ini terlalu pemaksa. Biar saja, dari pada aku harus dikeluarkan dari sini. Setelah perbincangan kecil kami, aku dituntun nya untuk bertemu beberapa karyawan cafe ini. Bos ku itu kemudian memperkenalkan ku kepada karyawan. "Don tolong ya, kamu urus Mas Ares saya ada perlu." "Baik, Mbak." Bos ku itu kembali ke ruangan nya. Dan sekarang, seseorang yang ku tahu bernama Doni itu memberiku seragam karyawan lama, lalu Doni memintaku untuk segera membantu melayani para pembeli yang baru saja datang. **** "___" "Iya, bagaimana?" "___" "Baiklah kapan bisa ku ambil?" "___" Aku bernafas lega, mendengar penjelasan dari orang di seberang telefon. Besok setelah pulang dari cafe aku akan mengepak semua barang-barang ku dan milik Mama, dan lusa aku akan meninggalkan rumah yang penuh kenangan dari yang menyakitkan dan menyenangkan. Rumah hasil keringat ku, rasanya benar-benar nggak rela jika harus pindah. Tapi mau bagaimana lagi? Aku dan Mama lusa akan memulai kehidupan baruku. Dan tadi, akhirnya perceraian ku dimudahkan, besok surat perceraian itu akan ku ambil di tempat sahabatku. Namun senyum ku luntur mendengar suara menjengkelkan di telinga ku. Aku sangat muak. Ingin rasa nya aku menendang mereka keluar dari sini. "Ahhhh.. Pahhh lebih cepat!! Ohhh.. enakkkhh ahhh.. enak pahh.." Plak Plak Plak "Terus pahhh.. ahhh... mantap pahh.. enakhhh ahhh... ohhh.. ohhh.. ohhh.." "Hisap dengan mulut mu sayanghh.. ohhh.. papah nggak kuathh... lagihhh.. ahhh.. ahhh.. ohh.. enakhh.. " Aku menggeram frustasi mendengar nya, setiap malam mereka melakukan hal itu. Pokoknya lusa, mereka harus pindah apapun yang terjadi. Karena rumah ini juga sudah di beli, dan harus dikosongkan lusa. **** "Tanda tangani ini, lusa kalian juga harus pergi dari sini." "Nak, izin kan kami tetap disini. Kami belum dapat tempat tinggal yang cocok. Izin kan kami, Nak." Aku mendengus kesal. Bagaimana mereka bisa dapat tempat tinggal jika tak berusaha sedikit saja. Ku layangkan tatapan tajam ke arah Rena yang ternyata sekarang sudah berani menaikkan dagunya seperti menantang ku. Perut nya semakin membesar, entah sudah berapa bulan aku tak ingin menghitungnya. Hari ini aku mengumpulkan semua orang di ruang tengah. Wajah Papa sudah pias ketakutan ketika meminta beliau untuk berkumpul sebentar. Berbeda dengan Rena yang nampak biasa saja. Lebih parahnya Rena tadi memarahi ku karena aku mengganggu ritual mereka yang tengah mandi bersama dan yah kalian tahu kan apa yang dilakukan selain mandi? "Lusa saya dan Mama saya juga akan pindah dari sini, sebab orang yang sudah membeli rumah ini ingin kami mengosongkan nya lusa." Ku lihat tatapan Papa menjadi nelangsa. Aku jadi tak tega berlaku sekejam ini kepada mereka. Tapi mereka lebih kejam mereka berhianat di belakang ku dan Mama. Tak ada ampun lagi untuk mereka. Tuk Tatapan ku semakin tajam ketika sebuah pulpen di lempar ke pangkuan Mama ku yang sedang menunduk. Bangsat! Jika dia seorang laki-laki akan ku hajar dia saat ini juga. Dimana tata kramanya kepada orang yang lebih tua? Aku beralih menatap Mama yang pandangan nya mengarah padaku. Beliau menggeleng. "Sudah aku tanda tangani kan," Nafas ku memburu dia berucap dengan santai, saat tahu akan kesalahan nya. "RENA?!" Aku sedikit terjengit kaget mendengar teriakan itu. Wajah Papa memerah menatap selingkuhan nya. Rasakan! Pasti sebentar lagi Papa akan marah jika dilihat dari ekspresi nya. Aku lebih untuk pergi bersama Mama. "Ayo, Ma. Kita harus mengepak baju-baju kita. Oh iya, Pah, tolong segera di tanda tangani surat dari Mama ya." Aku tersenyum miring lalu berjalan pergi ke kamar Mama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN