Setelah malam itu mendengar nasehat Ibu yang menginginkan Samantha untuk menjalani kehidupannya seperti biasa, justru membuatnya ingin melakukan kebalikannya. Samantha ingin memberontak dan benar-benar menikmati masa muda sesuai dengan keinginannya. Samantha tidak mau merasa khawatir tentang pendapat orangtuanya lagi, terutama larangan berpacaran.
Samantha berniat membuka diri, maksudnya hatinya terbuka untuk merasa jatuh cinta. Jika memang perjodohan itu tetap dilaksanakan satu tahun lagi. Samantha masih punya waktu untuk mengenal cinta dalam satu tahun.
Tapi bagaimana bisa jatuh cinta yah, cowok-cowok pada takut sama ogut yang gagah begini. Lagipula, emang hati bisa gitu diatur supaya jatuh cinta.
“Woi … ngelamun aja sih, ntar kesurupan loh … dari tadi komat-kamit sendirian, kenapa sih?” seru Bobby yang merangkul Samantha. Teman satu kampus dan juga anak klub basket. Mereka cukup dekat bahkan bisa dikatakan jika mereka sahabatan karena sudah saling kenal sejak SMP.
Bobby itu waktu SMP pernah mengalami obesitas dan melakukan diet ketat. Hingga berhasil menurunkan berat badan hingga 80kg. Saat ini Bobby termasuk dalam tim cadangan, meskipun demikian Bobby memang berniat bermain basket untuk membuatnya tetap bugar dan sehat bukan untuk menjadi atlet seperti Samantha.
“Eh, Bob … lu pernah enggak sih jatuh cinta,” tanya Samantha.
Sontak Bobby tergelak tawa dengan liar, hingga seluruh tubuhnya meliuk-liuk kegelian mendengar Samantha mengucapkan kata sakral itu. Tertawaan Bobby membuat Samantha tersinggung hingga meninggalkannya di sana.
“Au ah, Bob!” gumam Samantha merasa kesal. Meninggalkannya yang masih tertawa hebat. Samantha naik ke lantai 3 mengejar kelasnya yang sudah di mulai 5 menit lalu.
Dosen killer bernama Pak Milano. Samantha berlari ketika dosen itu sudah berbicara di depan kelas. Hingga dirinya harus berhenti bicara. Langkah kecilnya yang gagah membuat Pak Milano terusik hingga menyuruh Samantha berdiri di sampingnya.
“Berhenti … iya kamu, kesini,” ucapnya ketus. Samantha menaruh tasnya yang berat itu di atas meja yang kosong. Satu deretan meja paling depan yang selalu kosong ketika mata kuliah Pak Milano. Tidak ada yang berani untuk berada di depan ketika kuliahnya berlangsung. Ada yang bilang kalau dosen single alias bujangan biasanya garang, termasuk Pak Milano sampai sekarang belum punya pacar. Teman-teman menjulukinya jojoba; jomblo-jomblo bangke.
Desir degup jantungnya yang mulai terasa lebih cepat berdetak, Samantha berdiri di sampingnya. Samantha baru pertama kali masuk ke dalam kelas dosen killer itu.
“Ini peringatan buat mahasiswa yang baru mengikuti kuliah saya, tidak ada yang boleh terlambat, paham!”
“Paham!” jawab seluruh mahasiwa.
Lalu dosen itu bertanya tentang mata kuliah yang sudah dijelaskan dari awal, Samantha diharuskan menjawab dengan pendapatnya. Samantha melihat ke papan whiteboard itu dan memang sebelumnya Samantha sudah membaca silabus untuk mata kuliah Pak Milano.
“Saya memilih realisme, Pak,” ucap Samantha.
“Kenapa, jelaskan alasannya?”
“Karena meskipun pendekatan Realisme itu digunakan pada situasi perang dunia 1 dan ke 2, tetapi untuk menyeimbangkan kekuatan Amerika dengan segala keadidayaannya di bidang ekonomi, persenjataan militer dan nuklirnya, harus ada negara yang muncul dengan kekuatan yang seimbang, barulah tercipta perdamaian. Terus terang saya skeptis dengan organisasi internasional, saat ini saja Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah gagal untuk menciptakan perdamaian dunia,”
Pak Milano terdiam sejenak dan menyuruh Samantha untuk duduk.
Selamat aku!
Meskipun Pak Milano tidak setuju dengan pendapat Samantha, tetapi dirinya senang karena kekritisannya ketimbang mahasiswa lain yang hanya duduk bersembunyi di belakang.
Setelah selesai kuliah, tiba-tiba Pak Milano memanggil Samantha. Memberikan sebuah buku untuk di bacanya di rumah. Samantha merasa sangat senang meskipun dosen itu sangat dingin, tidak pernah senyum tetapi cukup baik dengan meminjamkan buku pada Samantha.
“Aku pinjamkan sebuah buku, kamu pelajari di rumah,” ucap dingin Pak Milano.
“Iya, Pak.”
Kalau sempet hehehe!
“Eh, kamu Samantha kan? ... barusan dipinjemin buku sama Pak Milano?” ujar Iwan senior setahun di atasnya.
“Heem!” Samantha hanya berdehem.
“Hebat, keren. Fix lu ditaksir sama dia,” serunya sambil lalu.
Apaan sih tuh bocah, ngomong enggak jelas banget.
***