Calon Papa Tiriku Brondong
“Sabine... ma-mama mau menikah lagi.”
Di ruang tamu yang begitu terang oleh cahaya yang masuk dari jendela besar. Sabine bersandar santai di sofa, kedua kakinya naik ke meja kaca, pandangannya fokus pada layar televisi. Hanya sebuah deheman kecil keluar dari bibirnya, seolah kalimat mamanya barusan hanya angin lalu.
“Bine... kamu dengar mama tidak!” suara Sohwarin meninggi, mencoba merebut perhatian putrinya.
Sabine akhirnya menoleh ke belakang dimana ibunya sedang berdiri. Tatapannya datar, tanpa ekspresi. “Mama baru pulang kerja?” tanyanya enteng.
Sohwarin menarik napas panjang, menahan diri. Ia tahu betul putrinya ini terkadang terlalu cuek, bahkan mungkin tidak benar-benar mendengar ucapannya tadi.
“Ya, Bine. Mama sudah pulang. Dan mama mau bilang kalau mama... mau menikah lagi.”
Kali ini, reaksi Sabine berbeda. Ia terlonjak kaget, matanya membola, tubuhnya spontan bangkit dari sofa. Tank top tipis dan celana hotpants yang melekat di tubuhnya membuat Sohwarin refleks mendecak kesal.
“Berapa kali mama bilang, Bine... jangan pakai pakaian seperti ini di ruang tamu. Kamu tidak mau kan para pekerja laki-laki di rumah kita lihat?” tegas Sohwarin dengan nada tak bisa dibantah.
Bine mendengus, wajahnya masam. “Apa sih, Ma! Gak ada juga pekerja laki-laki yang berani masuk rumah. Satpam sama tukang kebun juga cuma di luar!” protesnya keras. Ia memijit pelipis, pusing dengan omelan yang baginya sudah seperti rutinitas sehari-hari.
Namun tiba-tiba, tatapannya kembali menajam. “Tunggu... Mama barusan bilang apa? Menikah? Aku salah dengar kan?”
Sohwarin berdehem, suaranya merendah, namun tegas. “Iya, Bine. Mama memutuskan untuk menikah. Sepuluh tahun mama kesepian. Mama juga lelah harus mengurus perusahaan papamu seorang diri. Kamu selalu menolak membantu karena ingin melanjutkan studi...” kalimatnya melemah, tatapannya tertunduk.
Tawa keras meledak dari bibir Sabine. Ia menahan perutnya, terbahak-bahak seakan mendengar lelucon terbodoh di dunia. “Om-om mana yang berhasil menggoda Mama, hah?!” serunya sinis, rahangnya mengeras menahan emosi yang bercampur dengan ejekan.
“Mama serius, Bine... calon papa tirimu sedang menunggu di teras,” gumam Sohwarin pelan, wajahnya sedikit tersipu malu, seperti seorang gadis yang baru pertama kali jatuh cinta.
Sabine membelalak, matanya nyaris keluar. “Mama... membawanya ke sini?” suaranya meninggi, penuh tidak percaya.
“I-iya, Bine,” jawab Sohwarin ragu, meski nada suaranya tetap mantap. “Keputusan mama sudah bulat. Mulai sekarang... calon papa tirimu akan tinggal bersama kita di sini—”
“Apa!?” bentak Sabine, suaranya pecah memenuhi ruangan. “Mama sudah gila ya!?”
Sabine meraih bantal sofa dan melemparkannya ke meja dengan keras. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya memerah karena emosi. Baginya, kata “Papa ” terlalu sakral untuk disematkan pada pria asing yang bahkan belum pernah ia lihat wujudnya.
“Mama pikir aku bisa menerima begitu saja? Setelah Papa meninggal, Mama janji nggak akan pernah ada yang bisa gantiin posisinya. Sekarang... Mama malah bawa orang asing ke rumah ini!? Dan memanggilnya dengan sebutan calon Papa tiri!?” suara Sabine bergetar, antara marah dan terluka.
Sohwarin terdiam. Hatinya ikut tercekat, tapi ia mencoba tegar. Ia tahu, percakapan ini tidak akan mudah.
“Bine... Mama sangat mencintai pria itu. Mama mohon, berikan Mama kesempatan untuk bahagia, Nak...” suara Sohwarin bergetar, matanya basah. “Mama sangat merindukan sentuhan seorang pria... Mama sangat kesepian.”
Sabine mengertakkan giginya, tubuhnya tegang. Kata-kata itu membuat perutnya mual. Baginya, ucapan sang Mama bukanlah ungkapan tulus, melainkan topeng dari kebiasaan buruk yang sudah lama ia tahu. Sejak dulu, Sabine tahu persis bagaimana mamanya sering gonta-ganti pacar. Bahkan, satu kali ia sendiri yang memergoki mamanya membawa seorang gigolo ke hotel, lelaki bayaran, hanya untuk memuaskan hasratnya.
Dan sekarang, mendengar sang Mama berbicara dengan nada rapuh seolah benar-benar kesepian, membuat darah Sabine mendidih. "Munafik..." pikirnya getir.
Namun, di balik rasa jijik itu, ada sesuatu yang menusuk hatinya. Sabine membayangkan jika kebiasaan buruk itu terus berulang, mama yang ia cintai, semakin tenggelam dalam dunia gelap yang kotor hanya karena kesepian. Ia membenci bayangan itu. Membenci kenyataan bahwa pria-pria asing itu pernah menyentuh mamanya.
Tangannya mengepal kuat. Kalau memang ini kesempatan untuk menghentikan Mama dari semua itu, apa dia harus menerimanya?
Hatinya berperang. Antara rasa jijik, amarah, dan secercah harapan agar mungkin, hanya kali ini, mamanya benar-benar serius dan berhenti bermain dengan sembarang pria.
Sabine menarik napas dalam-dalam. Setelah pergulatan panjang di dalam hatinya, ia akhirnya menarik kesimpulan. Kalau memang Mama tidak bisa hidup tanpa pria, mungkin lebih baik menikah sekalian, daripada terus berkubang di lingkaran hitam itu. Tapi tetap saja, ia harus melihat lebih dulu pria seperti apa yang berani datang menggantikan posisi mendiang papanya.
“Suruh dia masuk,” ucap Sabine akhirnya, suaranya dingin tapi mantap.
Sohwarin tersenyum lega, matanya berbinar. “Tapi... pakaianmu jangan seperti itu, Bine.”
Sabine hanya menghela napas panjang. Ia meraih kaus oversize yang tergeletak di atas sofa. Sebenarnya, saat turun dari kamar tadi ia sudah mengenakannya. Hanya saja, karena merasa rumah sepi, ia melepas kaus itu dan bersantai dengan tanktop tipisnya. Sekarang, dengan sedikit enggan, ia kembali mengenakan kaus tersebut.
Sohwarin tersenyum puas melihat putrinya sudah tampil lebih rapi. Ada rasa haru terselip di balik senyumnya, karena meski Sabine keras kepala, ia tetap menuruti kata-katanya.
Dengan tangan sedikit bergetar karena gugup, Sohwarin merogoh ponsel dari dalam tasnya. Jempolnya cepat mengetik sebuah pesan singkat untuk pria yang tengah menunggu di teras. "Masuklah sekarang... waktunya kau bertemu dengan Sabine,"
Pintu terbuka perlahan. Seorang pria muda melangkah masuk, mengenakan hoodie hitam sederhana dan celana jeans biru. Wajahnya tampan, rahangnya tegas, sorot matanya tajam namun tenang.
Mata Sabine langsung membola. "Apa-apaan ini!?" teriaknya dalam hati, tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Pria itu masih sangat muda. Bahkan sekilas, usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Pria itu berjalan dengan tenang, langkahnya mantap menuju ruang tamu. Sabine bisa merasakan aura percaya diri yang memancar darinya, seolah keberadaannya di rumah ini memang sudah sepantasnya.
Sohwarin menyambut pria itu dengan wajah yang berseri-seri. Ia meraih tangan pria itu lalu merangkulnya dengan erat. Sohwarin menoleh ke putrinya.
“Bine... kenalkan, ini Kalief Tanvis. Dia calon Papa tirimu, Nak...”
Kata-kata itu menghantam kepala Sabine seperti palu godam.
“Papa... tiriku?” batinnya, hampir tercekat. Matanya menatap tajam, bergantian ke arah ibunya lalu ke pria muda itu. Jantungnya berdetak liar, antara marah, jijik, dan rasa penasaran yang tak terbendung.
“Papa... tiriku?” suara Sabine tercekat, lalu mendadak meninggi. “Mama... serius!?”
Ia mengangkat tangannya, menunjuk Kalief dengan telunjuk yang bergetar hebat. Matanya membara, napasnya tersengal karena amarah yang sudah di ubun-ubun.
“Berapa usia b******n ini, ha!?” teriaknya sekuat tenaga, membuat udara ruang tamu bergetar.
Sohwarin langsung melangkah maju, panik. “Bine! Jaga mulutmu! Jangan bicara kasar seperti itu!” suaranya memohon sekaligus menghardik.
Bine tidak menghiraukan ucapan sang mama. Matanya menusuk tajam ke arah pria muda yang berdiri tegak di depannya.
“Hei, b******n! Katakan padaku, berapa usiamu, ha!?” bentaknya, suaranya meledak hingga membuat dinding ruang tamu seolah ikut bergetar.
Kalief sempat terdiam sepersekian detik. Jemarinya mengepal halus, lalu ia menarik napas panjang. “Sa-saya... dua puluh lima tahun,” jawabnya tegang, namun bibirnya tetap berusaha menjaga senyum tipis, wajahnya berusaha terlihat tenang meski jelas ada tekanan besar yang ia tahan.
Sabine langsung mendengus keras, kepalanya mendongak seolah langit-langit rumah bisa roboh kapan saja. “Sial!” pekiknya lantang. “Usia kami hanya berjarak satu tahun! Satu tahun, Mama! Dan Mama tega nyuruh aku panggil dia Papa!?”
Ia menoleh ke arah Sohwarin, wajahnya merah padam, matanya basah tapi bukan karena sedih, melainkan amarah bercampur rasa jijik. “Mama... ini bukan pernikahan. Ini pelecehan terhadap Papa yang sudah tiada! Ini penghinaan buat aku juga! Aku... aku bahkan lebih pantas menjadi adiknya!”
Sohwarin menutup mulut dengan tangan, wajahnya pucat. Kalief, meski ditekan dengan kata-kata yang menusuk, tetap berdiri tegak. Sorot matanya menatap Sabine tanpa berkedip, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan mundur meski harus menghadapi badai kemarahan itu.
Suasana ruang tamu semakin menegang, udara terasa begitu berat.
"Saya serius dengan Sohwa... " ujar Kalief tiba-tiba.
Tubuh Sabine menegang ketika pria itu menyebut nama panggilan sang mama dengan santainya.