Tajamnya Ucapan Sabine

1106 Kata
Sabine menatap Kalief dengan sorot mata tajam, penuh amarah dan kecurigaan. Namun, pria itu justru menundukkan kepala, seolah tak berani membalas tatapannya. Helaan napas kasar lolos dari bibir Sabine. Baginya, percuma berbicara dengan lelaki itu. Maka ia pun kembali menoleh pada sosok yang jauh lebih ia khawatirkan yaitu sang mama. “Mama! Pikirkan baik-baik masalah ini!” serunya penuh desakan. Namun Sohwa tidak tergoyahkan. Dengan nada tegas dan wajah yang dingin, ia menatap putrinya lebih dalam. “Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Bine! Mama sudah bilang, mama akan menikah dengan Kalief. Mulai sekarang kau harus berusaha menerimanya. Ia tinggal di sini karena ingin mengenalmu lebih dekat sebelum kami resmi menikah. Apa pun yang kau katakan, mama tidak akan mendengarnya!” Sabine mengepal erat tangannya hingga kuku jarinya memutih. Giginya bergemertak, menahan kemarahan yang semakin membara. Dalam hatinya, keyakinan itu kian kuat. Sang mama benar-benar sudah dibutakan oleh cinta. “Hei, kau!” Sabine membentak, kali ini langsung ke arah Kalief. Suaranya menusuk ruang keluarga yang tadinya sunyi. “Apa niatmu sebenarnya, b******k?! Kau lihat mamaku! Apa yang bisa kau suka dari wanita yang tiga puluh tahun lebih tua darimu? Dia sudah tua! Kulitnya mulai keriput, payudaranya bahkan sudah kendur! Jangan bilang kau tak punya maksud busuk terhadap keluarga kami!” Kata-kata itu meluncur tajam, tanpa ampun. Kalief terdiam. Wajahnya memerah, entah karena malu, marah, atau keduanya. Sohwa sontak terperangah. Bola matanya membesar tak percaya mendengar hinaan keji yang keluar dari mulut putrinya sendiri. Selama ini ia sudah terlalu sering menolerir sikap Sabine, Gadis yang besar dalam kemewahan, terbiasa berkata kasar, dan merasa lebih tinggi dari siapa pun. Tetapi kali ini berbeda. Sabine bukan hanya kurang ajar, ia telah merendahkan ibunya sendiri di hadapan pria yang akan menjadi papa tirinya. Tanpa berpikir panjang, tangan Sohwa terangkat tinggi. Plak! Suara tamparan itu menggema, keras, memecah udara. Pipi kanan Sabine langsung memerah, panas dan perih. “Mama…” suara Sabine bergetar, setengah tercekik. Tangannya refleks menempel di wajahnya, mencoba menahan rasa perih yang menjalar. Kedua matanya membelalak, tidak percaya mamanya benar-benar tega menamparnya bahkan melakukan itu di depan Kalief. Tatapan Sabine berubah. Bukan lagi hanya marah, tapi juga luka dan penghinaan yang dalam. Ia menatap mamanya dengan sorot yang sulit diartikan, seolah tembok antara keduanya baru saja runtuh dan berganti jurang tak terjembatani. “Aku benci mama!” teriak Sabine lantang, suaranya pecah oleh emosi. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung berlari menaiki tangga dengan terburu-buru. Suara hentakan kakinya menggema di seluruh rumah, meninggalkan jejak amarah yang menyesakkan d**a siapa pun yang mendengarnya. Sohwa berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Begitu putrinya menghilang di lantai atas, ia merasa seluruh tenaga dalam tubuhnya lenyap. Perlahan, ia menjatuhkan bokongnya di sofa, menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan… apa yang baru saja aku lakukan!” isaknya lirih, suara bergetar di antara sela tangannya. Hatinya tercabik, perasaan bersalah mencekik hingga sulit bernapas. Ini adalah kali pertama ia melakukan kekerasan fisik pada putri semata wayangnya. Kalief, yang sejak tadi diam menyaksikan pertengkaran itu, ikut menurunkan tubuhnya ke samping Sohwa. Ia merangkul pundak wanita paruh baya itu dengan lembut, membiarkan tubuhnya bersandar pada dirinya. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” ucapnya pelan, seolah setiap kata dipilih dengan hati-hati. “Dan jangan terlalu kasar pada putrimu. Aku bisa mengerti kenapa dia bersikap seperti itu. Dia pasti masih sulit menerima kehadiranku.” Kalief menatap wajah Sohwa yang masih tertutup tangan, lalu perlahan mengusap punggungnya. Sohwarin mendongakkan kepala, menatap Kalief dengan mata yang berkaca-kaca. Meski usianya sudah jauh melewati masa muda, kecantikannya masih bertahan. Tubuh yang terawat, wajah yang halus berkat perawatan mahal yang tak terhitung jumlahnya dan semua itu membuatnya tetap tampak memesona di mata banyak orang. Namun, kata-kata putrinya tadi menusuk lebih dalam daripada belati. “Ta… tapi, Kalief…” suaranya lirih, bergetar oleh keraguan yang menggerogoti hatinya. “Apa yang dikatakan Bine ada benarnya. Aku sudah tua. Kulitku mulai keriput… bahkan-” ia terhenti sejenak, lalu dengan ragu meraba payudaranya sendiri, “Payudaraku pun tak lagi seperti dulu. Payudaraku memang sudah mulai kendur.” Kalief sontak memalingkan wajah. Ia tak sanggup melihat wanita yang ada di sampingnya sedang meraba bagian tubuhnya sendiri. “Jangan bicara begitu!” Kalief buru-buru menegaskan, suaranya meninggi karena canggung. “Aku mencintaimu… dengan tulus. Aku tidak melihat hal-hal remeh seperti itu.” Namun, Sohwarin masih dirundung rasa tidak percaya. Dengan tangan bergetar, ia mencoba menyentuh paha Kalief. Gerakan kecil itu seolah menjadi upaya terakhir untuk meyakinkan dirinya bahwa pria muda itu benar-benar menginginkannya. Tapi Kalief cepat bergeser, menjauh, seperti hendak menghindari sentuhan itu. Sohwarin terdiam. Sekilas matanya redup, menyimpan kekecewaan yang sulit disembunyikan. Ia tahu, Kalief menahan diri dan menjaga jarak dengan alasan kesucian sebelum pernikahan. Namun, bagi Sohwarin, sikap itu justru menimbulkan luka baru. Kata-kata Sabine seperti ada benarnya. “Lihat kan…” bisiknya dengan suara parau. “Kau bahkan merasa risih saat ku sentuh. Kau menjauh seolah jijik padaku. Bagaimana aku bisa tidak memikirkan kata-kata putriku… kalau sikapmu sendiri seperti membenarkannya?” “Bukan begitu…” Kalief menatap Sohwarin dalam, mencoba meyakinkan. Suaranya terdengar tulus, meski agak tertekan. “Aku kan sudah pernah bilang, aku hanya ingin melakukan itu dengan wanita yang halal bagiku. Dan aku serius soal itu.” Namun, kata-kata tersebut bukannya menenangkan, justru membuat Sohwarin berdecih. Ada getir di senyum tipisnya, seolah ia sudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sejak tadi, bayang-bayang ucapan Sabine terus menghantui pikirannya, menusuk harga diri dan membuatnya merasa tidak lagi cukup berharga. “Kau kan bekerja di bar…” ucapnya tajam, suaranya meninggi. “Mana mungkin kau tidak pernah menyentuh wanita?” Suasana yang tadinya hanya canggung, kini berubah panas. Kalief terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Ia lalu menghela napas panjang, kasar, menahan emosi yang hampir meledak. “Aku tidak berbohong, Sohwa. Percayalah… aku tidak seperti yang kau bayangkan. Aku lelah… semalaman bekerja di bar tanpa henti. Bolehkah aku beristirahat dulu?” suaranya kini lebih lembut, nyaris memohon. Sohwarin terdiam, dadanya naik turun menahan gelisah. Ia tahu, ia sudah melampaui batas. Semua karena kalimat-kalimat putrinya yang terus berputar di kepala, membuatnya overthinking hingga tak mampu lagi membedakan mana realita dan mana ketakutannya sendiri. Pelan-pelan, ia menghembuskan napas, mencoba menenangkan diri. “Naiklah ke lantai dua,” ucapnya mulai tenang. “Di sana ada kamar tamu, letaknya di paling ujung… kamarmu tepat di samping kamarku.” Kalief mengangguk singkat. Tanpa banyak kata, ia langsung bangkit dan melangkah menaiki tangga. Tubuhnya terlihat benar-benar lelah, setiap langkah seakan berat. Ia memang tidak berbohong karena pekerjaan sebagai bartender di bar telah menguras tenaganya habis-habisan. Sohwarin menatap punggung Kalief yang menjauh, hatinya penuh keraguan dan rasa bersalah. Kata-kata Sabine masih berdengung, membuatnya bertanya-tanya. Apakah ia sungguh dicintai, atau hanya sedang ditipu oleh permainan manis seorang pria muda?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN