Kalief melangkah masuk ke kamar tamu yang tadi ditunjukkan oleh Sohwarin. Pandangannya sekilas menyapu ruangan yang begitu mewah, namun tak ada rasa takjub di matanya. Semua ini bukanlah hal baru. Dulu, saat ia masih berstatus anggota keluarga Harrison Tanvis, kemewahan dan fasilitas seperti ini sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Salah satu konglomerat besar di Singapura itu memang memastikan hidupnya bergelimang harta meski tidak dengan kasih sayang yang tulus.
Kalief duduk di tepi ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam sedikit ke permukaan ranjang yang empuk. Senyum getir tersungging di wajahnya. “Sebentar lagi aku akan tinggal di rumah ini untuk selamanya,” bisiknya pada diri sendiri.
Tak lama kemudian, ia menjatuhkan tubuh sepenuhnya, berbaring menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Pikiran Kalief melayang, terusik oleh kata-kata pedas Sabine, putri Sohwa. Ucapan gadis itu memang kejam, tapi Kalief tak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Perbedaan usia yang jauh antara dirinya dan Sohwa pasti menimbulkan prasangka. Namun, yang Sabine katakan tidaklah benar. Perasaannya pada Sohwa bukanlah palsu. Di mata wanita itu, Kalief menemukan sosok yang selama ini dirindukan yaitu sosok seorang ibu, sesuatu yang tak pernah ia miliki sejak kecil.
Kalief hanya anak haram dari Harrison Tanvis dan seorang TKI asal Indonesia. Keberadaannya bagaikan noda di dalam keluarga besar Tanvis. Meski Harrison tetap memberinya fasilitas mewah dan pendidikan terbaik dengan harapan menjadikannya pewaris kelak, kenyataannya Kalief hidup di bawah ancaman pembunuhan. Istri sah Harrison dan anak-anak sah mereka memandangnya sebagai ancaman besar. Perlakuan tidak wajar, ancaman terselubung, bahkan hinaan yang tak pernah berhenti membuat Kalief akhirnya memilih kabur dari Singapura.
Ia pergi ke Indonesia dengan satu harapan yaitu bisa bertemu dengan ibunya. Namun kenyataan pahit menyambutnya. Di kampung halaman, orang-orang mengatakan kalau ibunya telah tiada 24 tahun lalu. Wanita malang itu meninggal karena sakit-sakitan setelah pulang dari Singapura.
Kalief tahu betul apa penyebabnya. Dari cerita para pembantu di kediaman Harrison Tanvis, ia tahu ibunya diusir tanpa belas kasihan setelah melahirkan dirinya. Di negeri asing, ibunya yang di perkosa oleh Harrison Tanvis terbuang, tanpa keluarga, di usir tanpa penghidupan layak, hingga akhirnya jatuh sakit dan meninggalkan dunia di kampung halamannya.
Selama setahun terakhir, hidup Kalief benar-benar terombang-ambing di Indonesia. Ia datang tanpa membawa apa pun dari kediaman Harrison Tanvis, bahkan ijazah yang seharusnya bisa menjadi bekal masa depannya tertinggal begitu saja. Hanya beberapa potong pakaian seadanya yang berhasil ia bawa saat nekat kabur.
Hari-hari awalnya penuh kesulitan. Ia nyaris menyerah karena tidak tahu harus ke mana dan bergantung pada siapa. Namun, takdir masih memberinya celah untuk bertahan. Enam bulan lalu, Kalief akhirnya diterima bekerja di sebuah bar. Awalnya hanya sebagai tenaga tambahan, namun perlahan ia bisa menyesuaikan diri dan bekerja menjadi bartender. Dari hasil kerjanya, ia mulai merangkai hidup baru, meski jauh dari segala kemewahan yang pernah ia nikmati. Setidaknya, ia bisa makan dengan tenang dan menyewa kamar kecil untuk berteduh.
Di tengah kesibukan malam yang penuh dentuman musik dan hiruk pikuk pengunjung, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang yang tak pernah ia duga. Sohwarin. Seorang wanita yang mungkin usianya lebih tua bahkan dari ibunya sendiri. Namun, kelembutan dan kasih sayang yang terpancar dari sosok Sohwa membuat Kalief perlahan membuka hatinya.
Tiga bulan terakhir terasa begitu berbeda. Kalief, yang terbiasa hidup dengan luka dan kecurigaan, justru menemukan ketenangan di sisi Sohwa. Ada pelukan hangat, ada perhatian sederhana, ada tatapan yang seolah berkata bahwa dirinya pantas dicintai. Dari situlah hubungan mereka terjalin, tumbuh begitu cepat hingga akhirnya Sohwarin mengajaknya menikah.
Kalief tahu, keputusan itu akan menimbulkan banyak pertanyaan, bahkan penolakan. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa memiliki alasan untuk bertahan, untuk tidak lagi kabur dari kenyataan.
Kalief memejamkan matanya. Tubuhnya lelah, pikirannya penat. Malam ini ia tidak ingin memikirkan hal lain, kecuali satu yaitu bagaimana cara mengambil hati Sabine. Ia sadar, restu gadis itu sangat penting. Kalief berharap, suatu hari nanti Sabine bisa menerimanya bukan hanya sebagai papa tiri, tetapi juga sebagai sosok lelaki yang akan menjaga Sohwa dan dirinya.
Berbeda jauh dengan ketenangan Kalief, Sabine justru tidak bisa tidur. Gadis itu mondar-mandir di dalam kamarnya, gelisah, jantungnya berdegup kencang. Jemarinya tak henti mengigiti kuku hingga hampir berdarah.
Rasa kecewa menusuk dadanya. Ia masih tidak percaya bahwa sang Mama, wanita yang selama ini ia sayang dan hormati berani menamparnya hanya demi seorang pria asing. Seorang pria yang usianya bahkan tidak jauh berbeda dengannya.
“Dari mana Mama memungut b******n itu? Apa sebenarnya niat laki-laki itu?!” pekik Sabine, suaranya bergetar menahan amarah.
Butiran keringat menetes di pelipisnya, meski suhu AC kamarnya disetel cukup dingin. Perasaan gusar benar-benar menguasai dirinya.
“Pria itu pasti merayu mama sampai mama ingin menikahinya, Di-a pasti ingin menguasai harta Papa!” gumamnya dengan tatapan liar. Pikiran Sabine penuh prasangka, membentuk skenario buruk tentang Kalief.
Ia mengepalkan kedua tangannya erat, penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan pria asing itu menguasai rumah dan harta Papa. Aku akan membuatnya terusir dari sini… sebelum ia menikah dengan Mama.”
Sabine akhirnya memutuskan untuk tidur setelah seharian dihantui kegelisahan.
Beberapa jam kemudian, suara ketukan pintu membangunkannya.
Sabine meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, mungkin karena ia tertidur dalam keadaan penuh resah.
“Nona Sabine… Nyonya menyuruh nona untuk turun dan makan malam bersama,” terdengar suara teriakan Atun, salah satu asisten rumah tangga di kediaman mereka, terdengar dari balik pintu.
“Nanti, Bi… saya mandi dulu,” jawab Sabine malas.
Ia bangkit dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Sesaat, ia sudah melupakan keberadaan Kalief dan juga pertengkarannya dengan sang mama tadi. Setelah mandi, ia hanya mengenakan pakaian seadanya seperti biasanya, kaus putih oversize sepaha yang tipis menerawang, dipadukan dengan celana dalam tanpa bawahan lain.
Dengan santai ia menuruni anak tangga, rambutnya masih basah meneteskan sisa air tanpa sempat dikeringkan, bahkan belum tersisir rapi. Tanpa beban, ia melangkah menuju meja makan.
Mata Sohwarin langsung membesar melihat penampilan putrinya. Begitu pula Kalief. Lelaki itu yang menyadari situasi tidak pantas ini, buru-buru memalingkan wajahnya.
“Sabine!” bentak Sohwarin keras.
Baru saat itu Sabine menyadari ada pria yang duduk di samping ibunya. Tatapannya segera tertuju pada Kalief, yang tampak salah tingkah.
Senyum licik muncul di bibir Sabine. Ia bertanya dengan nada santai, seolah tak bersalah, “Ada apa, Ma?”
“Pakaianmu! Kau tidak sadar kalau di sini ada Kalief?!” hardik Sohwarin, wajahnya merah menahan malu sekaligus marah.
Sabine sempat terdiam sejenak, lalu dengan sengaja melirik Kalief yang masih berusaha menghindari tatapannya. Ada rasa puas yang menyelinap di dalam d**a gadis itu, seolah ia berhasil membuat pria asing itu salah tingkah.
Sohwarin yang kesal karena tak kunjung mendapat jawaban dari putrinya mengetukkan sendok ke meja, wajahnya memerah menahan kesal. “Sabine! Bagaimana bisa kau turun dengan pakaian seperti itu?! Apa kau tidak punya rasa malu?!”
Namun Sabine hanya mengangkat bahunya santai, senyum licik masih melekat di bibirnya. “Kenapa harus malu? Ini rumahku sendiri, Ma. Lagipula…” ia menatap Kalief dengan tatapan menusuk, "Siapa sebenarnya orang asing ini sampai aku harus menjaga sopan santunku?”
Kalief meremas jemarinya di atas paha, berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Ia tahu, Sabine sedang menguji batas kesabarannya. Dengan suara yang dibuat setenang mungkin, Kalief berkata lirih, “Maafkan aku… sebaiknya aku pergi dulu, biar kalian tenang.”
“Tidak, Kalief.” Sohwarin menahan tangan pria yang akan menjadi suaminya itu, lalu menatap putrinya dengan tajam. “Sabine, cukup! Kalief adalah calon papa tirimu, kau harus memperlakukannya dengan hormat!”
Sabine terkekeh pelan, nada suaranya penuh sinisme. "Aku tidak akan pernah menghormati parasit yang ingin menempel di rumahku!"
Suasana meja makan seketika membeku. Tatapan Sohwa mengeras, Kalief menundukkan kepala, sementara Sabine malah menarik kursi dan duduk di depan mama dan juga Kalief dengan santainya.