Sabine masih merasakan kantuk yang berat akibat kurang tidur semalaman. Sejak semalam pikirannya terus dipenuhi bayangan tentang calon suami baru mamanya. Seorang pria jauh lebih muda, yang membuatnya sulit menerima kenyataan. Tubuhnya terasa letih, meski hari ini ia tidak ada jadwal kuliah. Ia hanya ingin berdiam diri di rumah, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.
Dengan malas, Sabine meregangkan tubuh lalu melirik jam dinding. Jarum pendek sudah menunjuk angka sembilan. Tidak biasanya ia bangun terlalu siang.
“Pantas saja cahaya mataharinya udah terik,” gumamnya pelan.
Ia turun dari ranjang, membuka gorden, dan membiarkan cahaya matahari menyinari tubuhnya. Sabine menutup mata sejenak, merentangkan tangan, membiarkan hangatnya cahaya matahari menyentuh kulitnya yang putih terawat.
“Aku mau berenang,” bisiknya, seolah meneguhkan niat.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia berganti pakaian. Dari balik lemari, ia mengambil bikini pink yang sering ia kenakan ketika berenang di rumah. Baju renang itu memang terbilang berani, tapi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kolam renang terletak di sisi rumah yang tersembunyi, mustahil terlihat oleh satpam maupun tukang kebun.
Dengan bathrobe menutupi tubuhnya, Sabine menuruni tangga. Sesekali ia masih menguap, berpapasan dengan Bi Wati yang sedang naik.
“Selamat pagi, Non Bine…” sapa sang pembantu.
“Pagi, Bi. Mama sudah berangkat kerja?” tanya Sabine malas.
“Sudah dari satu jam yang lalu, Non. Non Bine mau berenang ya?”
Sabine hanya mengangguk singkat lalu melanjutkan langkahnya. Bi Wati hendak mengucapkan sesuatu, namun Sabine sudah terlanjur hilang dari pandangannya.
“Aduh… semoga saja gak terjadi masalah,” lirih Bi Wati sambil menggeleng.
Seisi rumah sebenarnya sudah tahu kalau ada anggota keluarga baru yang tinggal di sana. Meski mereka merasa janggal, para pekerja hanya bisa bergosip di belakang.
Sabine berjalan santai sambil bersenandung kecil menuju kolam renang. Namun, suaranya mendadak terhenti. Pandangannya terpaku pada sosok pria bertelanjang d**a yang hanya mengenakan boxer hitam, tengah bersiap melompat ke dalam kolam renang.
Mata Sabine membesar. Tubuh atletis dengan kulit bersih itu seakan memancarkan pesona yang sulit untuk diabaikan.
“Bagus sekali tubuhnya… kulitnya juga bersih… dia benar-benar tampan. Tapi… bagaimana bisa pria seperti ini menyukai mama yang sudah berusia lima puluh lima tahun?” batin Sabine.
Ia berusaha mengalihkan pandangan, namun matanya tetap saja tertuju pada pria itu.
“Dia sepertinya bukan orang sembarangan… jelas bukan orang miskin,” gumamnya.
Kesadaran itu membuat Sabine jengkel. Ia menutup mata, berbalik, berniat kembali ke kamar. Namun langkahnya terhenti.
“Kenapa aku yang harus pergi! Ini kan rumahku, rumah Papa! Kenapa aku harus mengalah sama orang asing sepertinya?” pikirnya penuh emosi.
Dengan percaya diri, Sabine melangkah masuk ke area kolam renang. Saat itu juga pandangan mereka beradu.
“Sabine…” sapa Kalief.
“Kenapa kau di sini? Kau tidak bekerja?” bentak Sabine, menyilangkan tangan di d**a.
“Aku kerjanya malam, Bine,” jawab Kalief tenang.
“Kerja malam? Memangnya apa pekerjaanmu?”
“Aku bartender di Club XXX.”
Sabine mendelik, hampir tak percaya. “Bartender?” gumamnya. Dugaan mengerikan muncul di benaknya tiba-tiba. Jangan-jangan b******n ini gigolo.
Ia tahu betul mamanya kerap keluar masuk klub malam, bahkan beberapa kali memakai jasa pria bayaran. Pikiran itu membuat Sabine muak. Tangannya mengepal erat.
“Mama nggak ada takutnya, ya? Apa nggak takut tertular penyakit kelamin?” batinnya geram.
Sabine sedikit paham dengan dunia malam yang kerap disinggahi mamanya. Ia juga tahu, di balik lampu-lampu klub yang gemerlap, ada banyak pria muda yang menjual tubuh demi uang. Mereka tak peduli berapa usia wanita yang mereka temani, selama bayaran menggiurkan.
Dan sayangnya, banyak wanita kesepian termasuk yang sudah hampir berusia lanjut rela menghamburkan uang hanya demi merasa dicintai sesaat.
Pikiran itu membuat hati Sabine semakin panas. Ia menggertakkan gigi.
“Jadi, Kalief ini salah satunya? Tampan, muda, tubuhnya terawat, persis seperti ciri-ciri pria bayaran yang suka mamaku sewa,” batinnya, menatap Kalief penuh curiga
Kalief menatap Sabine yang juga menatap dirinya. “Kenapa kau melihatku seperti itu, Bine?”
Sabine hanya diam.
Ia ingin menuduh, ingin melontarkan pertanyaan yang menghantam, tapi tenggorokannya tercekat. Walaupun ia tipe orang yang suka bicara blak-blakan dan kasar, dia juga tahu ada beberapa hal yang tidak bisa di ucapkan begitu saja.
Air yang mengalir di tubuh atletis Kalief, rambutnya yang basah, justru membuat darah Sabine berdesir.
Sabine hanya bisa menahan perasaan campur aduk antara jijik, marah, sekaligus kagum.
Sabine menghela napas kasar, lalu melangkah mendekat ke kolam. Dengan gerakan perlahan namun penuh rasa percaya diri, ia melepaskan bathrobe yang membungkus tubuhnya. Bikini pink yang sangat seksi hanya membalut bagian sensitif tubuhnya langsung terekspos.
Mata Kalief spontan membesar. Ia menelan ludah tanpa sadar ketika melihat belahan d**a Sabine yang cukup besar dan padat. Pandangannya sempat tertahan pada tubuh Sabine sebelum buru-buru memalingkan wajah. Wajahnya memerah, seolah tak kuasa menahan rasa canggung. Ia terlihat sekali sudah salah tingkah.
Hal itu tak luput dari perhatian Sabine. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, licik. "Ternyata, pria ini bisa juga kehilangan kendali." pikirnya dalam hati.
Ia pun melangkah semakin dekat, hingga jarak mereka nyaris tak bersisa.
“Kenapa kau memalingkan wajahmu?” tanyanya dengan nada yang dibuat lembut, nyaris menggoda.
Kalief berdehem. “I-itu… Bine, baju renangmu terlalu terbuka. Lebih baik kau-”
“Kenapa? Kau merasa keberatan?” potong Sabine cepat, suaranya meninggi. “Ini rumahku. Terserah aku mau pakai apa. Bahkan kalau aku telanjang pun… siapa yang peduli?” sambungnya.
Langkahnya semakin maju, memaksa Kalief menahan diri karena tidak ingin terlihat semakin menyedihkan. Sayangnya, Sabine kini sudah berdiri tepat di hadapannya. Tatapannya tajam, penuh tantangan.
“Kau malu melihat tubuhku? Jangan sok polos di depanku. Aku tahu persis jenis pria sepertimu…”
Tanpa sadar, jari telunjuk Sabine menyentuh perut Kalief yang berotot. Sentuhan singkat itu cukup membuat Kalief tersentak. Refleks, ia menggenggam pergelangan tangan Sabine erat-erat.
Tatapan Kalief langsung menusuk dalam ke arah mata Sabine. “Aku bukan pria murahan seperti yang kau pikirkan, Sabine! Aku mencintai mamamu dengan tulus. Jangan merendahkan hubungan kami!” suaranya bergetar, tapi tegas.
Bukannya mundur, Sabine justru membusungkan dadanya, mendekat nyaris menyentuh d**a bidang Kalief.
“Kau pikir aku bodoh? Percaya begitu saja pada ucapan pria seperti dirimu?” ejeknya.
Kalief memalingkan wajahnya lagi ke samping karena tidak tahan melihat belahan d**a Sabine. "lihat payudaraku ini! Berbeda sekali kan dengan milik mamaku!" Bisik Sabine sambil menunjuk dadanya.