Kalief akhirnya sadar, semakin ia menunjukkan kelemahan, semakin besar pula kesempatan bagi Sabine untuk berlaku semena-mena terhadapnya. Ia akhirnya menoleh, menatap gadis itu dengan sorot mata yang tajam. Jarak mereka begitu dekat, hanya jarak beberapa senti yang memisahkan, bahkan tubuh mereka hampir bersentuhan.
Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Kalief mengangkat tangannya. Telunjuknya terulur, menekan lembut namun tegas dahi Sabine hingga gadis itu sedikit terdorong mundur.
“Sabine...” suaranya terdengar dalam dan tegas. “Mulai sekarang, kamu harus belajar bersikap sopan padaku. Suka atau tidak, aku akan menjadi ayahmu kelak. Jadi, belajarlah untuk menghormati ku.”
Sabine terperanjat. Sentuhan kecil itu membuatnya kehilangan kendali atas diri sendiri. Jantungnya berdegup kencang, terlebih ketika tatapan Kalief menembus matanya begitu dalam. Untuk sesaat, nyalinya menciut. Ada getaran aneh yang tak mampu ia pahami.
Namun Sabine menolak terlihat lemah. Ia mengangkat dagunya, mencoba mempertahankan sikap kerasnya.
“Aku tidak akan pernah menghormatimu!” ujarnya lantang. “Lagi pula, aku akan memastikan kau tidak akan pernah menjadi suami Mamaku. Jadi jangan bermimpi!”
Tanpa menunggu balasan, Sabine melangkah cepat ke arah tepi kolam lalu melompat masuk ke dalam kolam renang.
Gadis itu terus berenang, membelah permukaan air dengan gerakan yang penuh tenaga. Dari atas, Kalief hanya berdiri memperhatikannya tanpa berkata apa pun. Tatapannya tenang, meski di balik itu ia seolah tengah memikirkan sesuatu.
Beberapa menit kemudian, Sabine akhirnya naik dari kolam. Rambutnya yang basah menempel di pipi, namun raut wajahnya jauh lebih tenang daripada tadi. Kalief tetap diam di kursinya, sengaja menunggu di atas. Ia tahu benar, bila mereka berenang dalam kolam yang sama, Sabine pasti akan merasa tidak nyaman.
Dengan langkah santai, Sabine meraih bathrobe yang tergeletak di kursi, lalu memakainya sebelum akhirnya duduk tepat di samping Kalief.
Kalief meliriknya sekilas. Hanya sekilas, namun Sabine menangkap sorotan itu. Ia langsung melotot, berusaha menutupi kegugupannya dengan bentakan.
“Ngapain lihat aku kayak gitu!”
Kalief hanya menghela napas, tidak berniat menanggapi. Kesabarannya seolah jauh lebih panjang daripada ucapan-ucapan sinis Sabine.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang asisten rumah tangga muncul membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk yang masih dingin.
“Non Sabine...” sapa perempuan itu.
Ia adalah Tuti. Baru beberapa hari ini ia kembali setelah dua minggu cuti untuk menjenguk orang tuanya yang sakit di kampung. Karena usianya tidak terpaut jauh dengan Sabine, hubungan mereka pun cukup akrab.
“Nona Sabine...” ucap Tuti lagi, kali ini dengan senyum tulus.
Sabine yang tadinya masih kesal, langsung tersenyum kecil melihatnya.
“Tuti... kamu udah balik dari kampung?” tanyanya.
“Iya, Non,” jawab Tuti sambil melirik sekilas ke arah Kalief yang masih duduk tenang menatap kolam. Entah karena salah paham atau sekadar bercanda, ia kemudian berkata,
“Eh... tumben Non Sabine bawa pacar ke rumah.”
Mata Sabine langsung membulat, sama seperti Kalief yang refleks menoleh ke arah Tuti, lalu berganti menatap Sabine.
“Tuti! Dia bukan pacarku!” bentak Sabine dengan suara tinggi.
Tuti terperanjat. Ia sama sekali tidak menyangka akan dibentak begitu keras oleh Sabine. Apalagi ini pertama kalinya. Spontan, ia menunduk dengan wajah pucat.
“Ma... maaf, Non. Saya tidak tahu...” gumamnya pelan.
Sabine mendengus keras, jelas menahan rasa jengkel.
“Pergi dari sini!” serunya.
Tanpa berani menoleh lagi, Tuti segera meletakkan nampan berisi jus jeruk itu di meja, lalu berlari kecil ke arah belakang rumah, meninggalkan suasana yang kembali tegang di antara Sabine dan Kalief.
Kalief hanya bisa menggelengkan kepala, tatapannya lurus ke arah kolam, enggan menatap langsung Sabine.
“Bine... bisa tidak kamu bicara lebih sopan pada orang lain? Sikapmu ini sangat tidak terpuji,” ucapnya tenang, tapi nadanya mengandung ketegasan.
Sabine yang sedang menggenggam gelas jus jeruk itu tiba-tiba mengepalkan jemarinya lebih erat di sekitar gelas, hingga jari-jarinya memutih.
“Apa urusannya sama kamu? Ini rumahku! Dan dia pekerja ku! Suka-suka aku dong!” bentaknya penuh amarah.
Kalief mendengus, kali ini tak bisa lagi menyembunyikan kejengkelannya.
“Kau sangat berbeda sekali dengan mamamu. Sohwa itu lembut, selalu berbicara sopan pada siapa pun. Sedangkan kau...kau bicara seakan semua orang tak ada artinya. Sepertinya kau memang perlu mendapat pendidikan tata krama-”
Byuurrr!
Seketika, air es bercampur jus jeruk menyiram wajah Kalief. Sabine menyiramkan isinya tanpa ragu.
Kalief terkejut, refleks berdiri dari kursi. Tangannya cepat mengusap wajah yang kini lengket oleh perasan jeruk.
“Sabine! Apa yang kau lakukan?!” bentaknya, matanya menyala marah.
Sabine menegakkan tubuhnya, dagunya terangkat dengan sikap menantang.
“Jangan pernah kau membandingkan aku dengan mamaku sendiri! Dan kau tidak punya hak apa pun untuk mengomentari sikapku! Sekali lagi kau berani mendikte aku, aku akan lakukan sesuatu yang tidak bisa kau bayangkan!” suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang meledak-ledak.
Kalief menarik napas panjang, menahan diri agar tak terbawa arus emosi gadis itu.
“Aku melakukan ini karena peduli padamu, Bine. Aku tidak bermaksud merendahkan mu, apalagi membandingkan mu dengan mamamu. Hanya saja... kalian memang sangat berbeda.”
Sabine terkekeh miring, tawanya terdengar sinis.
“Peduli? Ha! Sejauh mana kau mengenal Mamaku? Kau baru bertemu dengannya, lalu berani sekali menilai. Tidak peduli bagaimana Mamaku memperlakukanmu, yang jelas aku tidak akan pernah menyukaimu! Dan satu lagi...” Sabine melangkah mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. Tatapannya menajam.
“Jangan pernah coba-coba dekat denganku lagi! Aku tidak mau orang lain salah paham. Mengerti?”
“Kenapa aku tidak boleh dekat denganmu? Justru aku memilih tinggal di sini karena ingin kita lebih dekat, Sabine. Kau sebentar lagi akan menjadi putriku. Artinya, kita akan sering bersama, dan aku ingin menjaga kau juga mamamu.” Kalief berusaha menjelaskan dengan nada tenang, meski hatinya sedikit bergetar.
Mata Sabine langsung mendelik tajam. “Putrimu?” ia mengulang dengan nada penuh sindiran, lalu memutar kedua bola matanya. “Kau tidak dengar apa kata Tuti tadi? Dia mengira kau pacarku! Siapapun yang melihat kita pasti mengira kau pasanganku, bukan papaku! Dasar bodoh!” hardiknya.
Ucapan itu keluar begitu saja tanpa sempat ia tahan. Begitu sadar dirinya sudah salah bicara, Sabine buru-buru menutup mulut, wajahnya memerah. Kalief terdiam, jantungnya berdetak kencang, menelan setiap kata yang barusan meluncur dari bibir gadis itu.
Keduanya terjebak dalam tatapan yang canggung, campuran antara marah, bingung, sekaligus perasaan aneh yang tak bisa mereka pahami.
Akhirnya, Sabine memilih lari. Ia memalingkan wajah, lalu melangkah pergi, meninggalkan Kalief berdiri terpaku. Sementara itu, pria itu hanya bisa terdiam kaku, memutar kembali ucapan Sabine di kepalanya. Kata-kata yang entah kenapa membuat hatinya juga bergetar.
Kalief akhirnya menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi. Tangannya terangkat, menekan pelipis yang berdenyut sakit seolah ikut menanggung berat pikirannya.
“Pasangan Sabine?” gumamnya lirih, suara itu nyaris tak terdengar di antara keheningan.
Ia memejamkan mata, mencoba menata napas yang terasa sesak. Dalam benaknya, kata-kata Sabine terus bergema. Ia tidak bisa memungkiri, ucapan gadis itu ada benarnya. Jika orang lain saja dengan mudah salah sangka, mungkin memang benar kalau dirinya lebih tampak pantas berdampingan dengan Sabine ketimbang dengan Sohwa. Sosok Sohwa bahkan lebih pantas menjadi ibunya, sementara Sabine, dengan segala pesona mudanya justru tampak sebagai wanita yang seharusnya mendampinginya.
Kalief menggertakkan rahang, berusaha mengusir pikiran yang mulai menjerumuskannya. Ia sadar, itu salah. Namun logika dan perasaan sering kali bertolak belakang.
“Kalau begitu… aku harus menjaga jarak dari Sabine.” Ia bergumam dalam hati, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Namun tak lama, keraguan kembali menyelinap. “Tapi bagaimana mungkin aku bisa dekat dengannya sebagai seorang ayah, bila aku sendiri menjauh? Aku hanya ingin Sabine bisa menerimaku… sebagai orang tuanya kelak.”
Kalief mengusap wajahnya, berusaha menyingkirkan keresahan yang kian menekan dadanya. Namun semakin ia menolak, semakin jelas bayangan Sabine hadir di benaknya.