Sabine mengurung diri seharian penuh setelah adu mulutnya dengan Kalief di tepi kolam renang. Hanya membayangkan harus berhadapan lagi dengan pria itu saja sudah cukup membuatnya enggan keluar kamar.
Namun malam ini ia tak punya pilihan. Dinner bersama Eric sudah dijadwalkan, dan Sabine harus turun ke lantai satu. Dalam hati, ia hanya berharap tidak bertemu Kalief. Pria yang kini tinggal bersama mereka sebagai calon suami mamanya.
“Dia pasti sudah berangkat kerja. Tadi pagi dia bilang kalau dia kerjanya malam, dia kan bartender.” gumamnya lirih sambil mengoleskan lipstik tipis di bibir.
Gaun satin hitam yang cukup seksi membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk yang menggoda. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sementara wajahnya ia poles dengan riasan natural yang lembut. Sekilas ia tampak anggun, meski hatinya sama sekali tak sejalan dengan penampilannya.
Sejujurnya, Sabine tidak pernah menyukai pertemuan semacam ini. Ia tak memiliki sedikit pun perasaan pada Eric. Tetapi sejak kecil ia sudah dijodohkan dengannya demi menjaga aliansi keluarga. Itu adalah permintaan mendiang Papanya, salah satu orang yang selalu ia cintai dan hormati. Maka, meski hatinya menolak, Sabine tak pernah benar-benar bisa membantah.
Hanya saja, ia terus mencari alasan untuk menunda pernikahan. Kesibukan kuliah S2 menjadi tameng utamanya. Sebagai jalan tengah, keluarga pun membuat kesepakatan. Setiap dua minggu sekali, Sabine dan Eric harus tetap bertemu, setidaknya untuk makan malam bersama. Sebuah rutinitas yang terasa lebih sebagai kewajiban daripada kebersamaan.
Sabine menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Jarum jam sudah menunjuk pukul tujuh malam, sementara ia berjanji bertemu Eric pukul setengah delapan. Walau tak pernah benar-benar menyukai pria itu, Sabine tetap tak ingin membuatnya menunggu terlalu lama.
Baru saja kaki kanannya menapak lantai satu, matanya langsung tertumbuk pada sofa di ruang tamu. Di sana, sang mama duduk santai, sementara Kalief berada di belakangnya, tengah memijat punggung Sohwarin dengan wajah tenang. Pemandangan itu membuat perut Sabine mual.
"Menjijikkan!" rutuknya dalam hati, nyaris saja lidahnya melontarkan makian keras.
Ia memilih terus melangkah, enggan menyapa apalagi berhenti. Namun suara langkah sepatunya ternyata cukup keras hingga membuat keduanya menoleh.
Sohwarin tersenyum menyambutnya. Kalief buru-buru menarik tangannya dari punggung Sohwarin, seolah ketahuan melakukan sesuatu yang salah. “Sudah mau pergi?” tanya Sohwarin.
Sabine terpaksa menghentikan langkahnya. Pandangannya jatuh sebentar pada sang mama, lalu bergeser ke Kalief yang kini mengalihkan wajah, jelas sama tak nyamannya. Rupanya bukan hanya Sabine yang enggan berhadapan setelah insiden di kolam renang.
“Iya, Ma…” jawab Sabine singkat.
Sohwarin menatapnya penuh bangga. “Anak mama memang selalu cantik. Iya, kan, Kalief? Putri kita sangat cantik.”
Mata Sabine membulat tak percaya, sementara Kalief malah tersedak air liurnya sendiri hingga terbatuk-batuk.
“Ma! Berhenti bicara seolah kalian sudah menikah!” sergah Sabine, nadanya tajam. “Dan jangan sekali-kali menganggap aku putrinya. Memangnya aku pantas jadi putrinya? usia kami hanya berjarak satu tahun!” tuduhnya sambil menunjuk Kalief.
Wajah Kalief memerah, bukan hanya karena malu, tapi juga karena teringat perkataan Sabine di kolam renang. Kata-kata yang masih mengganggu pikirannya.
“Apa yang tidak pantas, Sabine? Kalau mama dan Kalief menikah, kau memang akan jadi putri kami berdua,” jelas Sohwarin lembut, seolah tak menyadari ketegangan yang mengikat udara.
Sabine menghela napas keras, matanya berkilat nakal. Senyum licik terulas di bibirnya. “Mama… dia…” ujarnya sambil kembali menunjuk Kalief. Tatapannya sengaja menantang, hingga Kalief pun menoleh padanya. “Daripada jadi suamimu sekaligus papaku, dia lebih pantas jadi suamiku!”
Sohwarin refleks berdiri, wajahnya merah padam. “Sabine!” bentaknya, suara meninggi.
Kalief membeku di tempat. Kata-kata Sabine membuatnya kehabisan kalimat, hanya bisa menatap dengan dahi berkerut, tak percaya gadis itu berani melontarkan ucapan segila itu.
“Kenapa, Ma? Memangnya aku salah?” Sabine menantang, senyumnya masih melekat.
Sohwarin mengepalkan kedua tangannya. Ada rasa panas menjalari dadanya, entah karena cemburu, entah karena amarah pada keberanian putrinya yang blak-blakan. Namun ia berusaha meredakan emosinya, menahan kata-kata yang hampir saja meledak.
“Pergilah! Eric pasti sudah menunggumu,” ujarnya akhirnya, suaranya bergetar menahan gejolak.
Sabine berlalu begitu saja, tanpa menoleh sedikit pun. Pintu utama tertutup dengan suara berdebam pelan, meninggalkan suasana ruang tamu yang mendadak tegang.
Sohwarin menyilangkan kedua tangannya di d**a, wajahnya masam. “Anak itu memang tidak bisa menjaga sikap! Bagaimana bisa ia mengucapkan hal seperti itu pada calon suami mamanya?” gerutunya, suara meninggi menahan amarah.
“Sohwa…” Kalief mencoba menenangkan, suaranya rendah.
Namun Sohwarin tak membiarkannya menyela. “Kalimatnya keterlaluan sekali! Apa dia tidak sadar pada siapa ia bicara? "
Kalief menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Ia lalu menepuk lembut punggung Sohwarin. “Sabarlah. Sabine hanya masih sulit menerimaku. Jadi, ia sengaja mengatakan hal-hal yang menyakitkan. Bukan berarti ia benar-benar serius.”
Sohwarin mendengus, meski hatinya sedikit goyah oleh nada lembut Kalief. “Tetap saja… tidak sepantasnya ia melontarkan kata-kata seperti itu. Ucapannya itu seakan-akan ingin merebut mu dariku Kalief.”
Kalief sedikit shock dengan ucapan Sohwarin, tapi ia berusaha untuk tenang. Ia pun menoleh ke arah pintu yang tadi dilalui Sabine. Sosok gadis itu sudah lenyap di balik bayangan malam.
“Sohwa,” ucapnya pelan, “Apakah Sabine ingin bertemu calon suaminya itu?”
Sohwarin mengangguk mantap. “Ya. Dua minggu sekali ia harus bertemu dan makan malam bersama Eric, untuk menjaga hubungan mereka. Setelah Sabine menyelesaikan S2-nya, kemungkinan besar mereka akan langsung dinikahkan.” Senyum tipis terulas di wajahnya, penuh ambisi. “Eric adalah pewaris PT Nusa Konstruksi. Sabine dan Eric akan jadi pasangan yang sempurna karena perusahaan peninggalan mendiang suamiku bergerak di bidang pemasok material bangunan, dan kelak, semua itu akan jatuh ke tangan Sabine. Jadi...dengan Eric di sisinya, masa depan anakku dan perusahaan kami akan sangat terjamin.”
Kalief hanya diam, matanya masih menatap kosong ke arah pintu. Entah mengapa, kalimat Sohwarin terdengar lebih seperti rencana bisnis daripada masa depan putrinya.
“Tapi… menurutku gaun yang dipakai Sabine terlalu seksi. Apa tidak masalah ia pergi sendirian begitu?” tanya Kalief, nada suaranya terdengar ragu namun serius.
Sohwarin spontan menoleh padanya. Matanya melembut, bahkan sedikit terharu. “Belum resmi jadi suami, apalagi papa Sabine, tapi kau sudah begitu peduli,” kekehnya sambil merangkul lengan kekar Kalief. “Tenang saja, Sabine bisa menjaga dirinya. Lagi pula, dia akan bertemu calon suaminya. Apa yang perlu dikhawatirkan?”
Kalief tak langsung menjawab. Ia menatap lurus, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, kenapa calon suaminya tidak menjemputnya ke rumah ? Kenapa Sabine harus pergi sendiri?”
Pertanyaan itu membuat Sohwarin terdiam sejenak. Ia tersentak, jelas tak menduga Kalief akan menyelidik sejauh itu. “I-itu… mungkin Sabine memang tidak ingin dijemput,” jawabnya terbata, berusaha terdengar meyakinkan. “Biarlah, mereka sudah dewasa. Tahu cara mengatur diri.”
Kalief hanya mengangguk samar. Pandangannya lalu terarah ke jam dinding. “Sohwa, sepertinya aku harus pergi sekarang. Klub pasti sudah mulai ramai, aku harus bekerja.”
Ia hendak bangkit, namun tangan Sohwarin menahan pergelangannya. “Jangan pergi, Kalief! Berhentilah jadi bartender. Kau bisa bekerja di perusahaan kami. Aku akan mencarikan posisi yang cocok, tak perlu khawatir soal kompetensi. Aku bisa atur semuanya,” rengek Sohwarin, jelas enggan berpisah.
Kalief terkekeh dalam hati. "Sohwarin pasti tidak tahu kalau aku sebenarnya sudah ditempa untuk mengurus perusahaan, dengan pendidikan yang cukup dalam bidang manajemen bisnis. Tapi, untuk apa aku mengatakannya sekarang?"
Ia menarik napas lalu menatap Sohwarin serius. “Tidak, Sohwa. Aku harus tetap bekerja. Aku tidak mau masuk ke perusahaanmu. Apa kata orang-orang nanti? Terutama Sabine. Dia pasti akan semakin membenciku, menganggap aku benar-benar hanya memanfaatkan mu.”
Sohwarin terdiam, lalu tersenyum lembut. “Kalief… kau benar-benar orang baik. Tidak salah aku memilihmu. Walau kau masih muda dan jarak usia kita jauh, kau sangat bijaksana.” Suaranya penuh keyakinan. Perlahan, ia pun melepaskan genggamannya dari tangan Kalief.
“Terima kasih, Sohwa.” Kalief bersiap melangkah menuju pintu, namun suara Sohwarin menahannya.
“Kau mau naik apa?” tanyanya cepat.
“Aku pesan ojek online saja,” jawab Kalief santai.
“Jangan!” Sohwarin langsung bangkit, meraih kunci mobil di atas meja, lalu melemparkannya ke arah Kalief. “Bawa saja mobilku.”
Kalief menangkap kunci itu dengan refleks. “Tidak perlu-”
“Jangan menolak, Kalief!” potong Sohwarin dengan nada setengah kesal. “Aku akan marah kalau kau terus menolak pemberianku. Ini sudah malam, dan kau pasti pulang dini hari karena klub ramai. Lebih aman kalau kau bawa kendaraan sendiri.”
Kalief menelan salivanya, menimbang sebentar. Akhirnya ia mengangguk kecil dan tersenyum. “Baiklah.”
Sohwarin tersenyum lega. Tapi sebelum Kalief benar-benar keluar, ia sempat mengingatkan, nada suaranya setengah bercanda, setengah menuntut. “Kalief… jangan macam-macam dengan cewek-cewek di klub, ya.”
Kalief terkekeh ringan. “Kau tahu aku bukan tipe seperti itu,” balasnya tenang.
Dengan itu, ia pun akhirnya pergi meninggalkan rumah. Sementara Sohwarin berdiri sejenak menatap punggungnya, sebelum akhirnya memilih naik ke kamar. Tubuhnya penat, seharian bekerja di kantor membuatnya lelah.
Kalief melangkah menuju garasi, namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok Sabine. Gadis itu berdiri di samping mobilnya, wajahnya masam, sementara ujung heels-nya sibuk menendang ban yang kempis.
“Astaga! Pakai acara bocor lagi nih ban mobil! ” keluh Sabine, frustrasi. Pandangannya berpindah ke mobil Alphard hitam yang terparkir tak jauh dari sana. “Nggak mungkin aku bawa Alphard, gede banget.” Lalu matanya beralih ke sedan milik sang mama yang di anggap udah tua padahal mobil itu baru di beli dua tahun lalu. “Apalagi mobil mama itu… jadul banget, geli deh.” Gerutunya semakin kesal.
Ia sama sekali tidak menyadari ada seseorang yang sudah berdiri tak jauh di belakangnya, memperhatikannya dengan seksama.
“Ada apa, Sabine?” suara Kalief terdengar pelan namun cukup mengejutkan.
Sabine langsung terlonjak, tubuhnya refleks berbalik. Jantungnya berdebar ketika melihat pria itu berdiri tegap di ambang cahaya lampu garasi yang remang. Suasana sepi karena para sopir sudah lama pulang, membuat suara mereka bergema tipis di antara dinding beton.
“Kalief?!” seru Sabine, matanya melebar. “Kenapa kau ada di sini?”
“Aku mau pergi bekerja,” jawab Kalief singkat.
Sabine melirik ke tangan Kalief yang sedang menggenggam kunci mobil milik mamanya. Alisnya terangkat. “Kau mau pakai mobil Mama?”
Kalief mengangguk cepat. “Iya… tapi bukan keinginanku. Tadi aku sudah menolak, hanya saja Sohwa yang memaksa agar aku membawanya. Jangan salah paham,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik, seolah benar-benar takut Sabine salah menilai.
Sabine menatapnya beberapa detik, lalu bibirnya melengkung tipis. Ia terkekeh pelan melihat Kalief yang begitu cemas. "Ternyata benar… dia masih mau bekerja keras sebagai bartender. Padahal kupikir setelah masuk ke rumah kami, dia akan merengek pada Mama, meminta pekerjaan di perusahaan peninggalan Papa."