BAB 2

1620 Kata
Anastasya baru menyadari bahwa bosnya bernama lengkap James Valks MacLachlan. Dia dan Emma duduk di ruangan kerja James dan yang lumayan memalukan adalah piyama yang dikenakannya.             “Kenapa kamu ke sini?” tanya James menatap Anastasnya tanpa menyebutkan nama Anastasya. Dia mulai menanyakan Anastasnya setelah Emma ke toilet.             “Emma, temanku. Mobilnya mogok, jadi aku mengantarkannya.” Jawab Anastasnya agak kikuk.             James mengangguk kilat.             Anastasya tak bisa mengalihkan tatapanya dari tatapan mata biru gelap James. Tatapannya terkunci di sana. James pria yang tanpa melakukan usaha berarti dapat meluluhkan banyak wanita di sekitarnya. Tapi kenapa pria ini seakan menutup hatinya?             “Anda memiliki adik bernama Suzanne?” anastasnya mencoba membuka percakapan yang bisa mengarah pada keakraban antara dirinya dan bosnya itu.             James tidak langsung menjawab seakan berpikir sejenak sebelum jawaban keluar dari kedua daun bibirnya yang tipis. “Kamu tahu Suzanne?”             “Emmm—“ Anasatasya menyesal kenapa dia memilih topik yang tak seharusnya diangkat menjadi topik pembicaraan. Suzanne itu kan klien Emma dan Suzanne berniat menghadiahkan James dengan ilustartor karya Emma. “Ya, dari Emma.” Anastasya menggigit bibir bawahnya.             Untungnya James tidak melanjutkan topik tentang Suzanne sehingga Anastasya bisa bernapas lega.             “Kamu tidur jam berapa?” tanya James singkat menciptakan kerutan di dahi Anastasya yang tidak mengerti akan pertanyaan dari James.             “Tidak tentu. Terkadang jam 9,10,11,12 ,1,2—“             “Ya,” James menghentikan celotehan Anastasya.             “Kenapa, Pak?” tanya Anastasya.                      “Kalau bekerja jadi asistenku kamu harus siap pulang pagi.” James berkata dengan nada dingin.             Anastasya membelalak. “Pulang pagi?”             “Tidak selalu tapi sering.” James berkata dengan sebelah alis terangkat tinggi seakan memamerkan kediktatorannya.             “Apa saya akan sering lembur?” tanya Anastasya hati-hati karena sepertinya dia berhadapan dengan seekor harimau.             “Ya,” jawab James meregangkan dasinya.             Anastasya akhirnya sadar kalau posisi sebagai asisten James bukanlah sebuah kemukijzatan karena mukjizat tidak akan membuatnya bekerja keras hingga sering lembur.             “Seharusnya kamu sudah tidur di jam segini besok saya pastikan kamu akan pulang pagi.”             Perkataan James seakan merebut kebebasan Anastasya. Dan setiap kata yang keluar dari mulut James terdengar menakutkan di telinga Anastasya.             Emma datang dan Anastasya merasa lega setidaknya dengan kemunculan Emma, James tidak akan mengatakan sesuatu yang menakutkan lagi kan.             “Terima kasih atas kepercayaannya Anda pada saya. Kami permisi.” Emma mengangguk dengan sopan.             James merespons dengan anggukan samar.             “Ayo!” Emma melirik Anastasya.             Anastasya mengangkat pantatnya dari kursi.             “Ingat ya, pulang dari sini langsung tidur. Kerjaan menunggumu, Anastasnya.”             Anastasya memelotot tidak percaya James berani mengingatkannya di depan Emma.             Emma yang tidak mengerti menatap Anastasya dan James secara bergantian.             “Sialakan keluar.” Kata James tanpa menatap kedua wanita itu.             Anastasya tahu babak hidupnya akan dimulai dari sekarang. Babak baru kehidupan dibawah tekanan James. Di bawah tatapan mata biru gelap mengintimidasi pria itu. babak baru di neraka kehidupan yang diciptakan James.             Ya Tuhan, selamatkanlah aku dari pria yang seakan membenciku ini. ***             Anastasya melirik jam tangannya dengan perasaan was-was. Jam 7 malam dan James tidak memperbolehkannya pulang sampai surat-surat kerjasama dari perusahaan-perusahaan lainnya mendapat balasan. Masalahnya adalah Noah—pria yang lama diincar Anastasya mengajaknya kencan malam ini. Kencan pertama selama penantian empat tahun lebih. Noah akan menjemput Anastasya pukul 8 malam nanti sedangkan dia masih berkutat dengan surat-surat yang jumlahnya ratusan.             “Sampai besok juga tidak akan selesai.” Gerutu Anastasya meniup poni rambutnya kesal.             James kembali dengan dua cangkir kopi kertas di tangannya. Dia menyerahkan satu cangkir kopi kertas ke Anastasya.             Anastasya mendongak menatap cangkir kopi kertas itu kemudian ke wajah James.             “Ambil,” kata James mengangkat dagunya.             Aku tidak butuh kopi k*****t! Aku ingin pulang!             Demi kesopanan Anastasnya akhirnya mengambil cangkir gelas kopi itu dari tangan James. “Terima kasih.” Anastasya menyesap kopinya.             “Pak, bolehkah aku pulang sekarang sampai jam 10 aku akan kembali ke kantor dan menyelesaikan semua tugasku. Sungguh!” kata Anastasya bersungguh-sungguh setelah menyesap kopinya.             James menatapnya dengan tatapan seperti biasa dingin, sinis dan meremehkan. “Memangnya kamu mau apa pulang?”             Anastasya bingung haruskah dia menjawab kalau alasannya pulang adalah untuk berkencan?             “Kenapa diam?” tanya James lagi.             Tatapan James selalu membuat Anastasya merasa kerdil. “Ada hal yang harus aku selesaikan. Emm—“ Anastasya berpikir sejenak. “Boleh kan, Pak. Ini urusan keluarga saya, Pak.” Dusta Anastasya dengan mimik wajah sedih yang dibuat-buat.             Kencan...kencan... dan kencan adalah pikiran Anastasya saat ini yang membelenggu otaknya hingga dia memilih berbohong. Bohong demi kebaikan diperbolehkan—begitulah kalimat bijak yang didengarnya dari Emma.             “Kenapa dengan keluarga kamu? Bukannya orang tua dan kakakmu sudah meninggal?”             Pertanyaan James sukses membuat Anastasya melongo. “Anda tahu mengenai keluarga saya?” tanya Anastasya dengan dahi mengernyit mulai curiga pada James.             Bukan apa-apa, Anastasya tak pernah menceritakan tentang keluarganya kepada siapa pun termasuk karyawan di kantor. Yang tahu soal keluarga Anastasya adalah Emma. Hanya Emma.             Untuk sesaat James tidak langsung menjawab pertanyaan Anastasya. Mereka saling beristatap curiga. Anastasya sangat peka dan sensitif jika itu menyangkut keluarganya. Dia tidak pernah menceritakan apa pun soal keluarganya pada siapa pun. Ini aneh, James—bagaimana pria misterius itu tahu tentang orang tua dan kakak Anastasya yang meninggal sedangkan  tentang keluarga James tak ada yang tahu.             “Kamu boleh pergi dan kembali lagi jam 10 tepat.” James mengalihkan wajahnya dari tatapan mata Anastasya tapi tatapan mata Anastasya masih menuntut jawaban dari pria itu.             Anastasya bangkit dari kursinya. “Ma’af, Anda tahu tentang orang tuaku?”             James berbalik, menatap mata hijau Anastasya. “Aku pernah membaca surat kabar tentang pesawat yang kecelakaan dan melihat profil orang tuamu dan kakakmu.” Katanya dengan tenang.             “Iya, tapi, itu sudah lama dan Anda masih mengingatnya, Pak?” tanya Anastasya masih penasaran.             “Pergi sekarang atau saya tidak akan mengizinkanmu pulang sampai semua tugasmu selesai.” Ancam James.             “Oke.” Anastasya teringat Noah dan dia segera melesat pergi.             James melihat tas yang tertinggal di atas kursi Anastasya. Dia membiarkan tas Anastasya begitu saja.             Beberapa saat kemudian Anastasya kembali masuk ke kantor. “Tas ketinggalan, Pak.” Dia segera meraih tasnya dan menutup pintu. James bahkan bersikap acuh tak acuh padanya. Dia tidak menatap Anastasya sama sekali, bertanya atau berbasa-basi. Dan Anastasya tidak peduli soal itu karena pikirannya masih dikeliling Noah. ***             Anastasya melihat jam tangannya yang menunjukkan jam 8 malam tepat. Dia mengangkat tangannya dan aroma asam menyengat indera penciumannya. “Aku harus mandi.” Dia segera ke kamar mandi, menyapukan sabun wangi buah stroberi di seluruh tubuhnya.             Dia mengenakan gaun hitam tanpa lengan. Rambutnya dicurly dan membiarkan poni rambutnya menutupi jidatnya. Botol parfum berbentuk hati yang dibelinya saat diskon 50% disemprotkannya ke leher dan pergelangan tangan.             Bel pintu rumah berbunyi menambah kepanikan Anastasya belum lagi make up yang belum sempurna. Dia membiarkan Noah menunggu selama beberapa menit Anastasya sibuk mengenakan foundation, bedak, eyeliner, blush on warna peach dan lisptik warna senada dengan blush on yang dikenakannya.             “Sempurna!” Anastasya berkata pada dirinya sendiri saat melihat pantulan wajahnya di cermin.             Dia membuka pintu rumahnya. Noah tampak kesal karena menunggu cukup lama tapi wajah Anastasya yang sangat cantik malam ini membuat kekesalannya itu lenyap.             “Hai,” sapa Anastasya dengan susah payah mengendalikan degup jantungnya kala melihat pria yang sangat mirip dengan seorang penyanyi Inggris yang sekarang berkarir di Amerika itu.             “Hai,” Noah tampak sangat terpesona pada Anastasya malam ini. Matanya bahkan enggan berkedip. Dia mengenakan kemeja warna biru tua yang dimasukkan ke celananya.             “Sudah siap Tuan Putri?” tanya Noah mengulurkan lengannya agar Anastasya menggandeng tangan Noah.             Anastasya naksir pada Noah sejak dia kuliah di semester enam saat Noah memainkan tuts piano saat ada acara di kampusnya. Sejak saat itu Anastasya tahu Noah selain tampan juga pandai bermain musik.             “Kamu cantik sekali malam ini.” puji Noah jujur.             “Terima kasih.” Balas Anastasya malu-malu.             Mereka makan makanannya dengan cara layaknya pasangan yang kencan untuk pertama kalinya. Setelah makanan selesai, Noah memesan wine.             Noah mengangkat cangkir gelasnya dan mengajak Anastasya untuk bersulang. Awalnya Anastasya ragu karena dia tidak kuat minum. Minum sedikit saja dia bisa mabuk. Tapi, demi sebuah kesan kencan pertama dengan Noah akhirnya Anastasya minum.             “Rasanya aku tahu perasaanku saat ini denganmu, Anastasya.” Noah memulai perbincangan serius.             “Perasaan?” Anastasnya memiringkan kepala. Dia butuh konsentrasi karena wine sepertinya membuat dia mabuk.             “Ya, kamu tahu aku selalu memperhatikanmu yang selalu berlarian saat sampai di gerbang kampus.” Noah tersenyum mengingat Anastasya dengan rabut acak-acakan, celana jeans dan kaus putih dengan tambahan cardigan biru tua dan tas ransel hitam juga setmpuk buku tebal di tangannya berlarian mencari ruangan kuliah.             “Iya, aku punya kebiasaan sering terlambat. Entahlah, padahal aku sering menyalakan jam alrm tapi sering sekali alrm tak berfungsi untuk membangunkan tidurku.” Anastasya mengingat masa kuliahnya yang selalu terburu-buru termasuk ke toilet. Dia selalu ke toilet setelah mata kuliah selesai.             “Itu sudah berlalu, tolong jangan dibahas.” Anastasya mendadak merasa pusing.             “Haha, oke. Bagaimana kalau aku menyukaimu Anastasya?”             Anastasya menatap Noah dengan tatapan seakan mengatakan. “Sungguh?”             “Aku sudah lama menyukaimu. Sejak aku melihatmu ada di dalam toilet pria?”             Anastasya menganga tak percaya. Astaga!             “Ya ampun, saat itu aku terburu-buru!” mata Anastasya membelalak malu. Dia ingat, saat dirinya masuk ke toilet pria dia berpapasan dengan Noah.             “Ya, sejak itu. Kamu sangat lucu saat itu. Ekspresimu mirip sekali dengan tokoh kartun.”             Anastasya sebenarnya membayangkan kencan yang elegan, romantis dan dibumbui dengan ciuman yang hangat. Sayangnya, Noah malah mengajaknya bernostalgia dengan ketololannya saat kuliah dulu.             Anastasya menenggak kembali winenya dan dia merasa sudah tidak sanggup untuk berdiri. “Noah, aku merasa sangat pusing.”             “Oh, kalau begitu kita pulang saja.”             Noah mengantar Anastasya pulang dengan memapahnya layaknya orang yang sedang bermasalah dengan kakinya.             Sesampainya di rumah Anastasya, Noah kembali memapah Anastasya yang tidak kuat minum. Anastasya muntah berkali-kali sebelum masuk ke rumahnya.             James menurunkan kaca mobilnya untuk melihat Anastasya dan Noah. Dia menyipitkan mata menatap Anastasya memeluk Noah. Dia menaikan kaca mobil dan mengendarai mobilnya meninggalkan Anastasya bersama dengan Noah.             Kebohongan Anastasya terbongkar. Dia tidak pergi karena urusan keluarga melainkan bertemu dengan seorang pria. James melirik jam di pergelangan tangan kanannya. Jam tangannya menunjukkan pukul 12 malam.             Anastasya tidak akan kembali ke kantor dengan keadaan mabuk seperti itu. Apa yang dilihat James malam ini membuat James semakin membenci Anastasya dan bertekad untuk membalaskan dendamnya dengan sangat menyakitkan pada Anastasya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN