BAB 3

1545 Kata
Suzanne dengan rambut panjang pirangnya menggendong seekor kucing berkaki pendek. “Kak,” panggilnya pada James yang baru pulang tengah malam.             “Apa Kakak mau aku buatkan sesuatu?”             “Tidak, Suzann.”             Melihat wajah kusut James, Suzanne bertanya. “Kakak kenapa?”             “Tidak apa, Sayang.” James membelai sebelah pipi Suzanne dengan senyum yang berusaha ditampilkannya.             “Kakak tidur dulu ya.”             Suzanne mengangguk.             Saat melewati ilustrasi poto keluarganya yang dipajang di dinding dekat pintu masuk kamarnya, James menatap dengan sendu. Ada kerinduan di sana kepada orang tuanya. Hanya Suzanne harta berharga yang dimilikinya saat ini. Adiknya adalah satu-satunya orang yang masih tersisa yang membuat James berusaha sekeras mungkin agar bisa sesukses sekarang. ***             Anastasya memijat kepalanya yang sangat pusing efek wine semalam. Dia tidak menyangka dirinya akan mabuk dan wine k*****t itu membuatnya tidak berhenti minum di depan Noah. Anastasya tidak khawatir jika dia berduaan dengan Noah di dalam kamarnya karena Noah memang bukan pria sembarangan yang akan menidurinya saat melihat kesempatan. Bagaimana Anastasya tidak jatuh cinta pada Noah?             Yang Anastasya sesalkan adalah kenapa dia mabuk padahal kencan semalam bisa diakhiri dengan ciuman hangat Noah.             “Astaga!” Anastasya kelimpungan melihat jam dindingnya.             Dia teringat akan janjinya pada James kalau dirinya akan kembali tepat pukul 10. Nyatanya dia mabuk dan melupakan soal James. Anastasya tergesa-gesa saat ke kamar mandi. Tidak butuh waktu lama baginya karena kemungkinan terbesar gajinya kembali dipotong karena terlambat satu jam.             Sesampainya di depan ruangan James, Anastasya menarik napas perlahan kemudian dia mengetuk pintu ruangan selama tiga kali, merasa tidak ada sahutan dari James, Anastasya membuka ruangannya dan melihat kursi James kosong. Dia segera masuk dan melipir ke mejanya yang bersebelahan dengan meja James.             Dia membuka kembali sura-surat dari perusahaan lain dan menyalakan layar komputernya.             “Dimana orang itu ya?” gumamnya pada dirinya sendiri, matanya menyapu keseluruhan ruangan.             Sebuah pesan datang dari Emma.             Bagaimana kencan semalam?             Mengingat kencannya dengan Noah, Anastasya tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak menciptakan kurva senyuman.             Istimewa. Sayang, aku mabuk.             Sebuah pesan dari Emma kembali menyita perhatiannya.             Mabuk? Bagaimana bisa sih? Ya ampun, terus kencannya bagaimana?                    Aku pulang diantar Noah. Tidak ada apa-apa selain ngobrol saja. Aku menyesal sudah mabuk. Tapi, aku tidak bisa hanya meminum satu gelas wine.             James datang saat Anastasya mengirimkan pesan pada Emma. Dia meletakan ponselnya dan berpura-pura sibuk dengan layar komputernya.             “Pak,” Anastasya menghampiri James.             Mata mereka bersitatap dan Anastasya sudah siap jika James akan memaki-makinya hari ini.             “Aku minta ma’af.” Dia menunduk malu karena berbohong. “Aku tidak ke kantor lagi semalam. Aku benar-benar minta ma’af.”             James tidak menanggapi permintaan ma’af Anastasya dan dia melangkah menuju kursinya. Anastasya mengekornya.             “Anda mema’afkan saya kan?”             “Lanjutkan saja pekerjaanmu.” Kata James akhirnya.             “Anda mema’afkan saya?”             James mengankat wajahnya menatap Anastasya yang berdiri di hadapannya.             Melihat tatapan James yang dingin, Anastasya tidak ingin memperpanjang masalahnya dengan James. “Oke, Pak, terima kasih.” Dia beringsut kembali ke mejanya.             Akhirnya Anastasya bisa bernapas dengan lega.             Ponselnya berdering.             Noah menelponnya.             Aduh! Bagaimana ini?             Noah pasti akan mengajaknya mengobrol lama sedangkan dia baru saja dilepaskan James karena kesalahannya. James pasti akan mendengar suaranya nanti kalau dia mengangkat telepon dari Noah.             “Kenapa tidak diangkat?” tanya James melirik pada Anastasya.             “Emm—tidak penting.”             “Kalau tidak penting kenapa tidak dimatikan saja teleponnya?”             Anastasya dilema. Satu sisi dia ingin mengangkat telepon Noah tapi di sisi lain dia merasa tidak enak pada James. ***             Mendung bukan berarti hujan.             Mendung bukan berarti hujan.             Mendung bukan berarti hujan.             Anastasya mengatakannya seperti mengucap sebuah doa. Awan gelap mengitari kota New York. Dia tidak membawa mobil ke kantor karena ban mobilnya kempes. Cukup memilukan karena kesialannya secara beruntun datang. Mabuk, kencan yang gagal, janji yang diingkari, ban mobil kempes, mematikan telepon dari Noah sampai pria itu tidak mengabarinya lagi dan sekarang langit sedang bersiap menumpahkan air padanya.             Sebuah mobil mewah Mercedes SLR McLaren berwarna silver mewah berhenti tepat di hadapan Anastasya. Kaca mobil itu turun dan wajah James yang tampan membuat kedua daun bibir Anastasya sedikit terbuka.             “Butuh tumpangan?” sebelah alis James terangkat.             “Aku sedang menunggu taksi, Pak. Terima kasih.” Tolaknya sopan.             “Kita searah kok. Cepat naik sebelum hujan.”             Anastasya menatap langit sekilas dan langit terlihat lebih gelap dari sebelumnya. Kemudian tetesan air hujan turun awalnya mengecil kemudian membesar hingga mau tidak mau Anastasya akhirnya masuk ke dalam mobil mewah James.             James menyunggingkan senyum misterius. Dia menyalakan mesin mobilnya. Anastasya merasa beruntung bisa duduk di dalam mobil mewah yang diidamkannya ini.             “Pak, bagaimana Anda tahu kalau kita searah?” tanya Anastasya yang penasaran karena James bilang ’kita searah kok’.             “Ya, aku pernah lewat di depan rumahmu.” Jawab James santai.             “Oh, sebuah kebetulan yang menguntungkan.”             James menatap Anastasya sekilas. “Maksudmu?”             “Ya, setidaknya aku bisa menghemat pengeluaranku bulan ini.” Anastasya tersenyum lebar pada James yang menatapnya. James cepat-cepat mengalihkan tatapan wajahnya dari asistennya itu.             “Terima kasih, Pak. Anda baik sekali pada saya.”             James tidak menanggapi ucapan terima kasih Anastasya yang hanya basa-basi belaka. Apalah arti sebuah tumpangan.             Dan sepanjang perjalanan pulang, James dan Anastasya hanya berdiam. Pria dingin di sampingnya itu seperti bongkahan es batu dan Anastasya takut untuk kembali memulai perbincangan bahkan sampai di depan rumahnya.             “Pak, lebih baik mampir di rumah saya sampai hujan reda.” Tawar Anastasya sebagai imbalan karena James mau mengantarkannya pulang.             James mengiyakan.             Anastasya masuk ke dalam rumah disusul James. Ada poto keluarga yang menyambutnya di dalam ruang tamu. Anastasya kecil tampak sangat menggemaskan di poto itu. Dia memperlihatkan senyumnya yang lebar dengan gigi ompongnya. Kakak perempuan Anastasya yang juga tersenyum lebar. Sedangkan orangtuanya hanya menampakan senyum simpul.             “Itu kakakku dan orang tuaku.” Kata Anastasya saat melihat bosnya fokus pada poto berbingkai kayu cokelat muda itu.             “Mereka sudah meninggal karena kecelakaan pesawat.”             James menoleh pada wajah sedih Anastasya.             “Bagaimana dengan keluarga Anda?” tanya Anastasya spontan.             “Orang tuaku juga sudah tidak ada.” Jeda sejenak sebelum James melanjutkan kalimatnya. “Meninggal karena tertekan oleh hutang. Depresi. Bunuh diri.”             “Oh, ma’af.” Anastasya merasa ganjil saat James mengatakannya. Hutang, depresi, bunuh diri. “Apa orangtua Anda bunuh diri bersama?”             “Ayah memberi minum racun pada ibu karena merasa gagal sebagai seorang suami dan ayah. Lalu ayahku meminum racunnya setelah memastikan kalau ibu sudah meninggal.”             “Astaga...” Anastasya ngeri sendiri mendegar perkataan James yang terkesan datar.             “Ma’afkan aku, Pak. Tapi, dari situ kita berdua punya satu kesamaan. Tidak memiliki orang tua.” Anastasya mencoba menghibur James dengan senyumnya.             James tersenyum simpul. Ini pertama kalinya Anastasya melihat senyum James yang meskipun hanya senyum simpul.             “Silakan duduk, aku akan membuat kopi untuk Anda.”             Anastasya meninggalkan James ke dapur. James kembali memperhatikan poto keluarga itu. Matanya dipenuhi dendam. Dan penderitaannya selama ini akan terbayarkan. Sebelah sudut bibir James tertarik ke atas. Matanya tertuju pada  poto Anastasya kecil. ***             Anastasya memikirkan soal hubungannya dengan Noah. Setiap detik dia mengecek ponselnya untuk melihat notifikasi dari Noah tapi sampai sekarang pria itu belum menghubunginya. Dia merasakan kegalauan yang sudah lama mati.             Emma menghidangkan kopi panas di atas meja. Anastasya mengangkat kedua kakinya ke atas sofa karena Emma menyingkirkan kaki Anastasya di atas sofa sebelum dia duduk di atas sofa.              “Kenapa tidak mencoba menghubungi Noah duluan.” Celetuk Emma sebelum meniup dan menyesap kopinya.             “Aku tidak bisa. Aku tidak pernah duluan menghubungi pria manapun.”             “Kalian kan sudah jadi sepasang kekasih?”             “Dia memang bilang menyukaiku tapi dia tidak bilang kalau aku kekasihnya.” Seketika Anastasya teringat akan James yang mengantarkannya pulang saat hujan turun kemarin.             “Kemarin James mengantarkan aku pulang.” Anastasya duduk dan meletakan ponselnya di atas meja.             “Oh ya?” mata Emma membelalak penasaran.             “Waktu aku sedang menunggu taksi mobilnya berhenti di depanku. Dia menawariku untuk pulang bareng. Terus hujan turun dan mau tak mau akhirnya aku ikut. Agak mengherankan saat dia bilang kalau aku dan dia searah. Dia tahu rumahku, Emma.”             “Bagus itu. kamu bisa pulang bareng setiap saat.” Emma tersenyum nakal.             Anastasya mencubit lengan Emma hingga Emma mengaduh. “Aku merasa dia aneh.”             “Tapi keanehannya tidak mengurangi ketampanannya kan?” Emma mengedip-ngedipkan mata.             “Ya, dia selalu terlihat tampan bahkan saat menangis juga dia pasti akan tetap terlihat tampan.” Anastasya membayangkan wajah James yang memikat. Lalu dia segera mengenyahkan pikiran nakalnya tentang James.             “Tidak, tidak, aku tidak ingin memikirkan James.” Anastasya menggelengkan kepalanya menolak pikirannya sendiri.             “Lalu, setelah itu apa yang terjadi antara kalian?”             Anastasya menatap sahabatnya. “Aku menawarkan dia mampir ke rumah.”             Kedua mata Emma membelalak dan kedua daun bibirnya terbuka. “Dia mampir ke rumahmu?”             Anastasya mengangguk.             “Lalu?”             “Aku membuatkannya teh.”             “Terus?”             “Kita mengobrol.”             “Hanya itu?”             Anastasya kembali mengangguk.             “Astaga, padahal aku sudah membayangkan hal yang tidak-tidak.”             Anastasya melempar bantal ke arah Emma yang terkekeh-kekeh geli melihat sahabatnya kesal.             “Dia atasanku. Aku harus menghormatinya. James—“ Anastasya berpikir sejenak. “sepertinya tidak suka padaku. Maksudku, dia tidak punya perasaan apa-apa padaku. Dan lagi, yang aneh adalah dia tahu kematian orang tuaku.”             “Hah?” Ekspresi Emma mulai berubah serius.             “Iya, Emma. Waktu aku kencan dengan Noah aku bilang kalau aku ada urusan keluarga agar aku mendapatakan ijin darinya. Tapi, dia bilang orang tuaku sudah meninggal dan—“             Emma menelan ludah. “Apa kamu pernah bercerita soal orang tuamu pada karyawan di sana?”             “Tidak. Sungguh, aku masih ingat apa saja yang pernah aku ceritakan tetapi soal keluargaku aku tak pernah menceritakannya.”             “Terus darimana dia tahu kalau bukan darimu, Anastasya?”             “Dia bilang dia pernah membaca soal kecelakaan pesawat. Dia ingat dengan nama keluarga Sneden.”             Emma tampak berpikir sejenak. “Berapa umurnya sekarang?”             “Umur siapa?”             “James.”             Anastaysa mengangkat bahu. “Mungkin sekitar tiga tahun lebih tua dariku. Atau empat tahun. Kenapa?” tanya Anastasya penasaran.             “Tidak.” Emma menggeleng dengan ekspresi yang seakan menyembunyikan sesuatu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN