Ketegangan menyelimuti Darmawan serta anak dan istrinya, begitu juga dengan Bram. Tanpa banyak bicara, mereka mengawal brankar yang membawa tubuh Ririn.
“Keluarga hanya bisa mengantar sampai di sini, Pak.” Salah satu petugas berkata sambil mengangkat sebelah tangannya. Spontan, orang-orang yang mengantar Ririn berhenti di depan ruang unit gawat darurat.
“Keluarga harap menunggu di sini. Kami akan mengabari kondisi pasien setelah dilakukan observasi.” Petugas tersebut kembali memberikan instruksi.
Pak Darmawan menyetujui apa yang dikatakan petugas berbaju putih itu. “Baiklah, kami akan tetap di sini. Jika ada informasi, tolong kami dikabari secepatnya,” sahut Pak Darmawan mewakili rombongannya.
Brankar yang membawa tubuh Ririn memasuki ruang UGD. Bram dan keluarga Darmawan hanya bisa melihat sampai pintu ruang itu ditutup.
Keluarga Darmawan serta Bram duduk di kursi yang berjejer di depan ruang UGD. Mereka tak saling bicara. Masing-masing berharap yang terbaik untuk Ririn dan janin yang sedang dikandungnya.
Beberapa saat kemudian, pintu UGD yang terbuat dari kaca terbuka. Seorang perawat berbaju putih menghampiri tempat di mana Darmawan dan rombonagannya duduk.
Darmawan segera bangkit berdiri. Begitu juga yang lainnya. Mereka segera mengerubungi perawat tersebut.
“Apakah Bapak adalah keluarga Nona Airin?” tanya perawat tersebut.
“I-iya, benar. Saya ibunya. Bagaimana keadaan Airin, Sus?” tanya Elvina harap-harap cemas.
“Nona Airin baik-baik saja, Bu, Pak. Ia sudah kembali siuman.” Perawat tersebut menjawab sambil tersenyum kecil.
Kelegaan segera terlihat di wajah Darmawan dan rombongannya. Mereka senang karena Ririn sudah mendapatkan kembali kesadarannya.
“Bagaimana dengan kandungannya, Sus?” tanya Bram.
“Ya, janinnya bagaimana, Sus? Saya lihat dia sempat pendarahan,” timpal Elvina cemas.
“Kandungan Nona Airin dan janinnya baik-baik saja. Beruntung ia segera dibawa ke rumah sakit. Namun, Nona Airin harus bed rest dan tidak diperbolehkan pulang sampai kondisinya dan kandungannya benar-benar kuat.” Perawat tersebut menyampaikan lebih lanjut mengenai kondisi Ririn.
“Syukur semuanya baik-baik saja,” ucap Elvina lega. Wajahnya yang tegang kini sudah bisa tersenyum. Begitu juga dengan Darmawan, Dimas, dan Bram.
Elvina dipersilakan untuk masuk ke ruang tempat Ririn diobservasi oleh seorang dokter kandungan. Di sana, Elvina diberikan informasi lebih lengkap oleh sang dokter. Beberapa waktu kemudian, Ririn dipindahkan ke ruang rawat inap untuk menjalani bed rest.
Malam itu, suasana di rumah sakit sudah sepi. Ririn dirawat di sebuah kamar VVIP, yang mana hanya satu bed pasien yang ada di sana.
“Ririn, maafin Mama dan Papa yang sudah buat kamu tegang ya. Sekarang kamu istirahat dulu. Kalau sudah pulih, barulah kita bicarakan soal pernikahanmu dengan Bram.” Elvina yang duduk di tepi ranjang pasien berkata lembut sambil mengelus rambut hitam putrinya.
Ririn menjawab dengan sebuah anggukan lemah. Ia juga memberikan sebuah senyuman terpaksa di bibirnya.
“Sekarang kamu tidur, ya. Ini sudah larut malam.” Darmawan yang berdiri di belakang Elvina berkata setelah melihat arloji yang ada di pergelangan tangannya.
“Ya, Pa,” sahut Ririn pelan. Ia tak ingin memperpanjang percakapan karena tubuhnya sudah lelah secara fisik dan juga mental.
“Papa, Mama, dan Bram pulang dulu. Kak Dimas akan menginap di sini menjaga kamu. Besok pagi Mama datang lagi, ya.”
“Ya, Ma,” sahut Ririn pelan.
Elvina, Darmawan, dan Bram bersama-sama meninggalkan kamar tempat Ririn dirawat. Ririn melambaikan tangannya lemah saat ketiga orang itu hendak meninggalkan pintu.
“Sudah, kamu sekarang tidur, ya. Kamu pasti sudah lelah,” ucap Dimas penuh kasih sayang. Ia merapikan selimut yang menutupi setengah tubuh Ririn.
“Kak, aku tidak mau menikah dengan Kak Bram.” Ririn berkata pelan. Air matanya hampir berlinang.
Dimas duduk di tepi ranjang. Ia mengelus rambut dan pipi sang adik dengan penuh kasih sayang. “Tidak, Rin,” ucap Dimas sambil menggeleng lemah. “Saat ini yang perlu kita pikirkan adalah kesehatanmu dan janin yang ada di dalam kandunganmu. Kamu tidak perlu memikirkan harus menikah dengan siapa.” Dimas menyahut perkataan Ririn. Ia tak mau adiknya itu berpikir keras karena kondisinya saat ini sedang lemah.
Ririn mengerti kekhawatiran sang kakak. Ia mengangguk dan tak lagi mengulangi pernyataannya tadi. Perlahan, obat yang diberikan dokter mulai memberikan reaksi. Ririn pun mengantuk dan segera tertidur.
Dimas perlahan turun dari ranjang pasien tempat Ririn tidur. Ia memperbaiki posisi tangan Ririn yang sudah terpasang selang infus. Sekali lagi, Dimas mengelus lembut rambut hitam Ririn dengan penuh kasih sayang. Dalam hati, ia ikut merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Ririn, adiknya satu-satunya, dengan baik. Dimas berpindah ke sofa besar dan merebahkan tubuhnya di sana lalu ikut ke alam mimpi.
***
Hari berganti hari, tak terasa Ririn sudah menjalani bed rest selama satu minggu penuh. Kondisi Ririn sudah membaik. Ia juga sudah tidak stress. Dokter sebenarnya sudah mempersilakan Ririn pulang, tetapi Darmawan meminta agar Ririn tetap dirawat di rumah sakit sampai keadaannya benar-benar pulih. Darmawan khawatir Ririn kelelahan dan kembali pingsan seperti beberapa hari yang lalu.
Selama dirawat di rumah sakit, Ririn sudah membuat sebuah keputusan yang belum ia ungkapkan kepada siapa pun. Ia tetap bertekad bulat untuk menolak pernikahan dengan Bram. Ia tak mau mengorbankan Bram yang sudah sangat baik kepadanya. Ia juga tak mau memupus semua impian Cindy, sahabatnya.
Secara diam-diam, Ririn membuat rencana besar dalam hidupnya. Itulah yang membuat Ririn tidak lagi merasa stress dan bisa menerima dengan baik kehamilan yang tak diinginkannya. Selama perawatan di rumah sakit, ia mencoba memaafkan dirinya sendiri. Ia tak lagi menduga-duga apa yang sudah terjadi malam itu. Ia juga tak ingin menebak-nebak siapa pria yang sudah dengan tega menodai dan menghancurkan masa depannya.
***
“Ririn,” panggil seorang gadis yang baru saja masuk ke kamar tempat Ririn dirawat.
Ririn yang sedang berselancar dengan ponselnya segera mengangkat kepala dan melihat dua orang yang sedang menghampirinya.
“Cindy, Kak Bram,” sahut Ririn dengan senyuman lebar di pipinya. Ia segera mengangkat tubuhnya dan bersandar pada kepala ranjang.
Cindy dan Bram duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Ririn sontak merasa tak enak hati. Ia sedikit jengah ketika melihat tangan Cindy yang masih menggenggam tangan Bram. Seolah mengerti, Bram segera melepaskan tangan Cindy.
“Terima kasih kalian sudah datang.” Ririn mencoba bersikap biasa saja.
Cindy dan Ririn pun terlibat pembicaraan seru. Cindy mengabari Ririn apa saja yang terjadi di kampus selama beberapa hari ini. Ririn berusaha semampu mungkin memperlakukan Cindy seperti biasa. Ia sama sekali tak berkata apa pun mengenai rencana pernikahannya dengan Bram yang akan disiapkan orangtuanya.
“Rin, aku kebelet nih. Ke toilet sebentar, ya.” Cindy bangkit berdiri dan meninggalkan Ririn dan Bram.
“Kamu sudah enakan, Rin?” tanya Bram memecahkan keheningan antara keduanya.
“Sudah, Kak,” jawab Ririn pendek.
“Baguslah, kamu memang harus kuat demi janin yang ada di kandunganmu.” Bram tersenyum lega.
Ririn hanya bisa tersenyum getir melihat bagaimana Bram memperhatikannya. Sejujurnya, ia senang diperlakukan seperti itu. Mendapat perhatian dan cinta Bram adalah hal yang diinginkan Ririn. Namun, apa boleh buat, Ririn tahu bahwa Bram dan Cindy saling mencintai. Ia tak mau egois dan ia juga tak ingin menghancurkan hubungan baik yang selama ini mereka bina.
“Kak, tolong jangan katakan apa pun kepada Cindy tentang kehamilanku. Juga jangan ceritakan tentang rencana Kakak yang ingin menikahiku. Aku tidak akan menyakiti Cindy, dia sahabat terbaikku.” Ririn berkata sambil memandang Bram tajam.
“Tapi, Rin, anak itu ….” Bram balas menatap Ririn, membuat gadis itu hampir luluh.
“Ini adalah ulahku sendiri dan biarkan aku yang menentukan masa depanku.” Ririn mencoba menjawab dengan tegas.
Mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Ririn segera kembali pada posisi sebelumnya, bersandar di kepala ranjang. Ia dan Bram tak berbicara lagi sampai Cindy kembali duduk di kursinya.
Suara Ririn dan Cindy kembali terdengar memenuhi kamar yang luas itu. Bram hanya bisa diam sambil mengamati dan mendengarkan celotehan dua gadis cantik tanpa berniat menyela.