Hanya Dendam

1029 Kata
"Tidak!" Prank...! Jennifer mendengar semua yang terjadi. Dia tidak bisa percaya jika lagi - lagi Anggara luluh pada Nila. Apalagi sampai bermalam di hotel. "Kenapa ini bisa terjadi? padahal Anggara sudah aku pengaruhi!" Jennifer juga sudah tahu kalau Anggara mulai mengabaikan Nila. Tapi kenapa ia justru lemah di saat Nila akan bersama pria lain. "Dari informasi yang aku terima, Anggara mengawasi Nila meski tidak pernah memanggilnya di ruangan." Jennifer yang tidak tahan dengan semua ini mengambil kelly yang berdiri di mejanya. Ia menuju ke kantor Anggara. Yang ingin ia temui bukan Anggara tapi Sinta. Gadis yang dirumorkan menjadi favorit barunya Anggara. ... Sinta yang lembur terkejut melihat Jennifer yang datang. Namun dengan senyum ramah ia menyambutnya. "Maaf, Miss. Pak Anggara tidak berada di ruangan. Apa anda ingin menunggu atau--" "Hentikan basa basi mu, katakan padaku apa saja yang kau lakukan dengan Anggara di ruangan?" cecar Jennifer. Ia ternyata lebih menerima jika Anggara bermain- main dengan Sinta dari pada dekat dengan Nila. Sebab Jennifer tahu jika Anggara masih memiliki perasaan pada Nila. "Saya hanya disuruh membersihkan gudang penyimpanan file di sebelah ruangan Pak Anggara. Lalu menata ulang file - file yang kurang rapi," jawab Sinta dengan jujur. Gadis ini sangat takut berurusan dengan Jennifer. Namun dia tidak menolak disanjung oleh karyawan yang lain meski mereka mengira dirinya ada hubungan dengan Anggara. Padahal ia hanya disuruh bersih bersih. Jennifer menatap Sinta dari atas ke bawah. Hatinya kembali meradang saat sadar Anggara masih tidak bisa menyentuh gadis lain selain Nila. "Sialan, baj.ngann Sialan!" Jennifer pun meninggalkan Sinta tanpa bicara apa - apa. "Ya ampun, aku kita akan tamat hari ini," desah Jennifer. Cecil yang menonton dari jauh langsung mendekati Sinta. Mereka celingukan lebih dulu untuk memastikan Jennifer sudah pergi. "Sinta, kamu tidak apa - apa?" "Aku hampir mati," jawab Sinta. "Aneh, padahal Miss Jenny tidak pernah mendatangi Nila seperti ini. Tapi kenapa dia sekarang justru melabrakmu?" gumam Cecil. "Jangan- jangan dia cemburu karena Pak Anggara dekat dengan mu." "Aku tidak tahu." Sinta tidak mau kehilangan rasa hormat dari mereka jadi masih bertingkah jika dirinya adalah selingkuhan Anggara yang baru. Lagi pula tidak ada ruginya berpura - pura memiliki hubungan dengan Anggara. Dirinya juga tidak punya pacar dan keluarganya ada di luar kota. Bisa dikatakan ia bebas. "Wah, jika Miss Jennifer saja bisa sampai cemburu, bearti Pak Anggara benar - benar suka sama kamu." "Masa sich? kan ada Nila. Jangan bicara aneh aneh." "Jangan ngomongin dia. Dia kan barang bekas." Dalam hati Sinta sangat senang dengan semua sanjungan dari Cecil dan temannya. Kepercayaan dirinya pun timbul. Ia mulai terbuai dengan ucapan Cecil dan mengira jika Anggara benar- benar menganggapnya istimewa. Di mobil, Jennifer menghubungi Marquist sang pemimpin organisasi. Ia yang sudah terbakar cemburu, menghasut atasannya untuk menghabisi Nila. "Jangan salahkan aku, Anggara. Jika kau tidak bisa aku miliki, maka tidak boleh seorang pun boleh memiliki mu." [Halo?] "Marquist, ada kabar buruk. Ini tentang Anggara. " [Ada apa? Kurasa dia melakukan pekerjaan dengan baik.] Jennifer meremas tangannya, "Dia sudah dipengaruhi oleh wanita bernama Nila. Karena gadis itu, Anggara tidak lagi fokus pada tugasnya." [Itu tidak bisa dibiarkan. ] Wajah Jennifer langsung cerah ketika Marquist nampak tidak suka. "Benar, kita harus menyingkirkan gadis itu agar Anggara kembali seperti dulu," kata Jennifer. [Kalau begitu eksekusi segera. ] "Baik, hanya saja tolong pinjamkan aku Jacko. Anggara sangat melindunginya, jadi hanya Jacko yang bisa menghabisi Nila tanpa diketahui Anggara." [Aku akan mengirimnya ke sana.] Jennifer ingin sekali melompat karena bahagia. Ia tidak menyangka kalau rencananya akan lancar. Apalagi Marquist sama sekali tidak mempertanyakan atau meragukan informasi darinya. "Bagus, akhirnya aku bisa menyingkirkan gadis itu." .... Di sisi lain, Nila yang mendapatkan uang dari Anggara segera menuju ke rumah sakit. Ia segera berlari ke ruang administrasi dan mengurus pembayaran. Devan kebetulan datang, dan ia menunggu gadis itu menyelesaikan pembayaran. "Nila," panggil Devan setelah Nila keluar dari ruangan administrasi. Gadis itu sedang mendesah karena mahalnya ruang ICU jika tidak menggunakan asuransi kesehatan. "Nila," panggil Devan lagi, barulah Nila sadar jika Devan memanggil. "Ah Devan, maaf aku tidak mendengar mu." Devan tersenyum tipis. "Kebetulan aku akan ke ruangan ayahmu. " Nila tahu maksud Devan. Mereka pun berjalan beriringan menuju ke ruangan Amir. "Sayang sekali ayahmu masih belum siuman. Padahal kau sudah habis banyak. " Nila tidak berbicara, satu hal yang ingin ia tanyakan pada Devan tapi tidak berani ia tanyakan. "Devan, apa..." Apakah ayahku ada peluang untuk sembuh? tapi Nila hanya bisa mengatakan dalam hati. Ia tidak mampu menerima jawaban Devan. Ia takut kalau Devan mengatakan tidak. "Kenapa? apa yang ingin kamu tanyakan Nila?" "Aku... ah sudahlah. Aku hanya ingin tahu kondisi ayahku." Devan menatap lembut pada gadis di sampingnya ini. Dia nampak lelah. Devan tahu jika kondisi ayahnya adalah beban yang ada pada Nila. Apalagi sekarang Anggara muncul dalam hidup gadis itu dan menjelma menjadi musuhnya. "Kondisinya masih sama. Ia belum ada peningkatan..." Nila sudah menebaknya. Mereka pun tiba di ruangan ICU. Nila dan Devan mengenakan pakaian steril. Pintu besar yang biasanya tertutup, mulai terbuka kala Devan mengeluarkan kartu pengenalnya. Hawa dingin merasuk ke kulit Nila ketika berada di ruangan ICU. Ia menuju ke arah ayahnya yang matanya tertutup. Lagi - lagi ia tidak bisa menahan air matanya. "Ayah... cepat sembuh." Nila tidak memiliki keberanian untuk merayu Anggara lagi. Jika ayahnya pulih, ia akan mengajaknya pergi dari kota ini. Menghindar dari Anggara adalah langkah terbaik. Devan memeriksa laporan dari perawat. "Maaf Nila, kondisi ayahmu semakin menurun. " Nila memejamkan mata. Devan sebenarnya menyarankan Nila untuk mencabut alat penunjang hidup Amir agar pria itu pergi dengan tenang. Akan tetapi Nila masih percaya ayahnya akan bisa sembuh seperti sedia kala. "Sudahlah, hari ini aku hanya ingin bersama ayah." Nila merasa bersalah karena melanggar ucapan ayahnya. Jadi ia tidak berniat untuk kembali ke rumah di mana ada Anggara di sana. "Kau begitu aku akan ke ruangan lain." Nila mengangguk lalu keluar. Ia berniat akan tidur di ruangan khusus keluarga pasien ICU. Gadis itu tertidur karena kelelahan. Ia terbangun di saat waktu menunjukkan pukul 12 malam. Nila pun memutuskan untuk pulang. Akan tetapi sebuah mobil van berhenti di sisinya. Pintu mobil itu terbuka dan dua orang menyeretnya ke dalam pintu. Nila hendak berteriak tapi hidung dan mulutnya dibungkam sampai ia tak sadarkan diri. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN