Rara dan ketiga temannya sedang duduk di melingkar, Mereka sedang bergosip ria, Menggosipi Fanny kakak kelasnya.
"Gila ya, si Fanny nggk tau malu banget tadi. Nggk habis pikir deh gue." ucap Mimin memulai pembicaraan.
"Lo kayak nggk tau si Fanny aja. Dulukan waktu si Oliv masih pacaran sama Rama dia masih tetep aja deketin si Rama," Indut menambahkan.
"Btw. Vi lo pernah pacaran sama Rama?" tanya Rara sembari menatap Oliv.
"Ya gitu deh, Dia yang paksa gue buat jadi pacarnya. Sementara gue nggk pernah ada rasa sama dia," Oliv mejelaskan.
"Berapa lama?" Rara bertaya lagi.
"Emm, Sekitar 2 bulanan dan gue yang putusin dia," jawab Oliv apa adanya.
"Kenapa?" tanya Rara kepo.
"Jujur ya, gue nggk pernah cinta sama Rama," Oliv berkata sembari memasukan keripik kentang ke dalam mulutnya.
Rara hanya mengangguk mengerti pikirannya, menerawang saat dimana ia mempergoki Oliv sedang menelpon seseorag yang menurut Rara itu adalah Pacar Oliv. Jika bukan Rama, lantai siapa pacara Oliv? Ah, sungguh Rara rasa kepo Rara benar-benar menggebu-gebu.
Bel masuk berbunyi, mrmbuat lamunan Rara buyar.
****
Siang ini Rara berjalan menuju halte bus yang tidak jauh dari sekolahnya. Rara hanya sendiri, karna Oliv sudah pulang terlebih dahulu. Mengapa? Entah lah Rara juga tidak tau. Panas matahari membakar kulitnya. Ia berteduh di halte duduk di kursi yang di sediakan.
"Uh..udah jam 3 lagi masih ada bus nggk ya?" Rara bergumam sembari mengipasi wajahnya yang terasa panas.
Beberapa menit kemudian, tidak ada satu pun bus atau pun, angkot yang melewati jalan tersebut. Rara lelah sungguh ia sangat lelah. Rambutnya sudah lepek, dan badannya sangat lengket.
"Nih supir bus pada kemana sih?" kesal Rara masih mengomel sendiri.
Kerna lelah, perempuan itu meyandarkan tubuhnya salah satu, tiang halte. Matanya sedikit terpejam menikmati hembusan Angin. Terdengar suara mesin motor yang berhenti. Membuat Rara terpaksa membuka matanya. Sebenarnya Rara malas membuka matanya. Apa lagi, ketika megetahui siapa yang berada di depannya.
"Ngapain lo disini?" ketus Rara dengan nada tidak sukanya.
"Ini tempat umum," balas seseorang itu menarik ujung bibinya.
Rara menatap malas seseorang itu, sebelum akhirnya membuang muka, malas sekali jika harus menatap sosok lelaki berhoodie hitam di depannya.
"Nungguin gue? Hm?" ucap lelaki itu lalu duduk di sebalah Rara, Rara melebarkan matanya. Mendorong lelaki itu agar jauh-jauh darinya.
"Jauh-jauh dari gue!" seru Rara.
Lelaki itu tersenyum culas. "Sepi nih."
Rara melebarkan matanya. "Mau macam-macam lo? Mau gue teriak?" ucap Rara panik. Rama hanya tertawa menanggapinya.
Rama memandang Rara menilai, dari atas sampai bawah. "Body aja tepos," cibir Rama. "Nggk nafsu gue!" sambung Rama lalu tertawa.
"Aww.." teriak Rama mengusap pinggangnya. "Sakit b**o!" seru Rama menatap Rara.
"Mulut lo emang perlu di kasih sianida tau nggk! Ngatain gue tepos!" seru Rara melipat tangannya di depan d**a.
"Lo emang tepos. Depan belakang rata," sahut Rama.
"Terserah lo, kardus indomie!" ejek Rara lalu membuang mukanya.
"Muka gans gini di bilang kayak kardus," ucap Rama menatap Rara, mereka beradu pandang. Saling menatap dalam diam.
Rara menatap Rama lekat, hidung mancung, alis tebal yang hampir menyatu, bibir merah muda serta mata yang tajam. Tidak munafik, Rara mengakui ketampanan wajah Rama.
"Gantengan juga kak Lian," ucap Rara tersenyum mengejek kearah Rama.
Rama memutar bola matanya kesal. "Pokonya ganteng gue titik!"
"Dih, percaya dirinya sekali anda." balas Rara menatap malas Rama.
Karna kesal, Rama menarik dagu Rara untuk menatap kearahnya. Pandangan keduanya bertemu. Mereka sangat dekat, bahkan Rara dapat merasakan hembusan nafas Rama di pipinya. "Gue ganteng kan? Lebih ganteng dari si Lian itu?" tanya Rama masih mengunci pandangan mata Rara.
Jantung Rara berdetak lebih kencang, ketika di tanya Seperti itu oleh Rama, entah mengapa membuat Rara menganggukan kepalanya. Rama tersenyum puas melihat jawaban dari Rara. Perlahan, Rama melepaskan tangannya dari dagu Rara.
"Gitu dong, jujur lebih baik." ucap Rama tersenyum manis.
Rara memutar bola matanya sebal, "itu bukan jujur ya, tapi terpaksa. Inget itu terpaksa." ucap Rara menekan kata terpaksa.
"Hilih, nanti juga lo akan suka sama gue." ujar Rama, menarik sudut bibirnya.
Rara diam, malas berdebat dengan Rama, Rama melihat jam tangan di pergelangan tangannya. "Lo nggk mau pulang?" tanya Rama, Rara masih diam.
"Woy! Saodah! Lo mau pulang nggk?" tanya Rama sekali lagi.
"Bukan urusan lo!" seru Rara sewot.
"Padahal gue mau nawarin tumpangan loh," Rama menjeda perkataannya. "Tapi kalau lo nggk mau nggk pa-pa, nggk maksa juga." sambungnya lalu pergi dari hadapan Rara.
"Dasar kardus indomie! Nawarin apaan begitu." sungut Rara kesal.
Rama mendengarnya, "jadi mau pulang bareng?"
*****