Bab 1. Kabar Gembira?
“Kalau kerja tuh yang bener! Nggak usah sok kasih pilihan kayak gini! Udah berkhianat, kerjaan nggak ada yang beres. Fatal semua! Kamu pikir kamu bakal diterima di sana apa?!” teriak Arya sambil melemparkan berkas yang baru saja diberikan Melani–sekretarisnya.
Arya bahkan belum mengecek satu pun berkas tersebut, dan malah mengamuk tak jelas.
Sejujurnya, pria tinggi, bertubuh gagah ini hanya mencari-cari kesalahan sekretarisnya.
Siapa yang tak emosi? Sekretaris yang sudah biasa mengurus segala urusannya kini tiba-tiba saja memutuskan pindah bekerja dengan Panduga Pratama, ayah sekaligus orang yang dianggap Arya sebagai pesaingnya.
Hal inilah yang membuat Arya jadi tantrum, merasa belum siap menerima kenyataan yang terjadi.
“Yang berkhianat itu siapa, sih, Pak? Kan saya cuma mengikuti perintah dari pemilik tahta tertinggi. Lagian saya itu sudah disuruh ke kantor utama hari ini, tapi Pak Arya masih aja marah-marah gak jelas. Saya juga sudah berusaha mencarikan pengganti yang Pak Arya butuhkan, tapi kenapa Pak Arya masih saja nggak mau terima?” Melani jadi ikut terbawa emosi.
Arya menyipitkan matanya, memandang sinis ke arah Melani. “Ngomong apa kamu barusan? Apanya yang saya butuhin? Kamu ngasih saya kandidat sekretaris aja nggak ada yang bener!”
“Nggak bener gimana, sih, Pak?” Makin geregetan si Melani.
“Ya nggak bener lah! Ngapain juga kamu masukin cewek-cewek gila yang dandanannya norak? Lipstik merah ngejreng kayak abis makan orok! Rok sama bajunya pada ketat-ketat, mini-mini kurang bahan! Mana mereka pada suka cari-cari perhatian lagi! Dikira kantor ini tempat penampungan LC apa?”
Lagi-lagi Arya mengoceh penuh penghinaan. Pria ini memang suka sekali memberikan label buruk kepada sembarang orang.
“Pak Arya! Nggak sopan banget ngatain orang! Mulutnya itu lho, hih!” Melani naik pitam. “Lagian sebelumnya, kan, saya juga udah pernah pilihin kandidat cowok! Tapi apa? Belum juga sehari selesai training, eh, Bapak udah usir dia. Main pecat seenaknya,” lanjutnya sambil mendengus kesal.
“Ya jelas harus dipecat lah! Orang ngondek gitu! Bisa-bisanya dia sok perhatian nanya saya mau makan apa, mau ditemenin apa nggak? Terus dia sok-sokan mau ngerapiin kerah baju sama dasiku segala. Itu kan modus! Kebaca banget kalau dia itu pengen grepe-grepe tubuhku yang sudah kujaga dengan baik ini.”
Sengaja Arya melebih-lebihkan ceritanya supaya dirinya terlihat sebagai korban akibat pilihan Melani. Sikap Arya saat ini benar-benar membuat Melani lelah bukan main. Entah apa lagi yang harus diperbuat untuk bos antiknya itu supaya berhenti menyiksanya.
Berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak, Melani sengaja menutup matanya sejenak sambil mengatur nafas. Lalu ia kembali menatap Arya sambil mengeluarkan jurus terakhirnya.
“Jadi Bapak maunya gimana? Bapak mau saya bilang ke Paduka Panduga, kalau saya tidak diijinkan pindah ke perusahaan utama oleh Pak Arya? Gitu? Ya nggak apa-apa. Saya, sih oke-oke aja, asal Pak Arya mau tanggung jawab. Tau sendiri, kan, Paduka itu nggak suka kalau keinginannya nggak dituruti. Sebelas dua belas lah sama Pak Arya. Pokoknya, kalau Paduka sampe marah, Pak Arya tanggung sendiri akibatnya!” ancam Melani dengan tegas.
Paduka yang merupakan sebutan pemimpin tertinggi perusahaan utama bisnis Panduga, jelas memiliki kuasa paling tinggi dibanding Arya yang saat ini hanya menjabat sebagai pemimpin anak perusahaan.
Meski Arya selalu menganggap ayahnya itu sebagai rival, tetap saja tidak akan berani melawan.
Jika Arya berani melawan, itu artinya Arya harus siap kehilangan segala fasilitas yang dimilikinya saat ini, dimiskinkan, hingga tak punya punya apa-apa lagi. Jelas Arya tidak siap untuk menerima hal tersebut.
“Hish! Nyebelin banget, sih, kamu Mel!” ujarnya sambil duduk kesal di kursi singgasana. Kakinya pun kini nampak menendang-nendang ke sembarang arah. Persis seperti bocah.
Sejujurnya Arya menyangka jika sekretarisnya akan mengancamnya seperti ini. Padahal saat ini dia hanya butuh dukungan, tapi sayang Melani malah tidak berpihak padanya. Arya jadi semakin mengerutkan kening dan memanyunkan bibirnya.
“Dih, orang Pak Arya yang nyebelin,” sahut Melani pelan.
Merasa perlu menenangkan bosnya yang banyak drama, akhirnya Melani memunguti kertas-kertas yang dihamburkan bosnya dan berniat untuk membujuknya.
“Jadi gimana? Pak Arya mau sekretaris yang kayak gimana, sih? Sebutkan yang jelas, dong, kriterianya. Biar saya nggak salah pilih lagi buat Pak Arya,” lanjutnya sambil mendekatkan diri ke arah Arya dan meletakan berkas-berkas yang sudah dikumpulkan ke atas meja.
“Ya pokoknya cariin yang nggak neko-neko, deh! Yang nggak banyak omong, pendiem, pokoknya nggak bawel. Cari yang tahan banting. Nurut. Dan yang pasti gampang disuruh-suruh. Pokoknya saya nggak butuh sekretaris pengkhianat kayak kamu!”
Melani cuek saja, dia fokus memikirkan orang yang tepat untuk bosnya Sampai akhirnya ia teringat dengan satu orang.
“Ah! Ada, Pak! Kriterianya, sama persis kayak yang Pak Arya bilang barusan! Tunggu, ya, Pak. Saya langsung telpon aja orangnya.”
“Eh, enak aja main telpon-telpon! Nggak bisa gitu, dong! Dia harus kirim CV dulu, lamar kerja yang bener! Sembarangan aja kamu, tuh!” oceh Arya yang kembali menyanggah Melani.
“Udah, Pak. Percaya aja. Kebetulan itu saudara saya sendiri, jadi Pak Arya nggak usah khawatir. Saya yakin kali ini sesuai dengan yang Pak Arya inginkan. Pokoknya, Pak Arya harus mau, gak boleh cari gara-gara lagi! Kalau Pak Arya masih rewel, saya nggak akan segan-segan buat lapor ke Paduka. Titik,” ujar Melani kembali mengancam, sambil pergi keluar dari ruangan bosnya.
Arya yang ditinggal begitu saja jelas merasa kian kesal ketika tidak bisa menyanggah ucapaan Melani lagi. Malas baginya jika harus mengejar sekretarisnya.
Sedangkan Melani yang merasa mendapatkan jalan keluar, kini segera meraih ponsel dan menelpon sepupunya–Tiara. Gadis berusia 22 tahun yang baru saja lulus, tapi masih menganggur.
Dia berharap Tiara segera menjawab panggilannya, dan membebaskannya dari belenggu si Arya.
***
Saat ini Tiara sedang kedatangan tamu. Dia adalah Pak Jamal sang pemilik kontrakan, tempatnya tinggal merantau selama kuliah.
“Ba-bapak, mau apa?” tanya Tiara dengan wajah ketakutan.
Kakinya terus melangkah mundur, memberikan jarak demi menghindari Pak Jamal.
Memang, Tiara sangatlah pemalu dan tak biasa untuk berinteraksi banyak dengan orang lain, terutama pria.
“Saya itu mau bahas tentang uang sewa rumah. Kamu jangan takut-takut seperti itu, ih. Saya ini nggak gigit, kok. Boleh masuk, kan?”
Tiara terdiam sejenak, berusaha memproses kalimat sang pemilik rumah.
Paham jika hal yang ingin dibahas itu memang perlu dibicarakan, Tiara yang tadinya ragu pun akhirnya menganggukan kepala.
Dengan penuh percaya diri, Pak Jamal langsung memasuki rumah tersebut. Bahkan dia sengaja menutup pintu yang sebelumnya telah dia buka paksa.
“Biar nggak ada yang nguping. Saya nggak enak kalau lagi ngomongin duit, terus ada yang lewat, eh denger. Malu aja gitu,” ucapnya basa-basi, sambil senyam-senyum tak jelas.
Tiara merasa bingung. Dia merasa canggung. Namun karena ingin segera menyelesaikan urusannya dengan sang pemilik rumah, ia pun memberikan kode dengan tangannya untuk mempersilahkan tamunya duduk.
Pak Jamal duduk di kursi sofa, lalu ia pun memulai percakapannya kembali ketika Tiara ikut duduk.
“Gini Tiara. Saya tau kamu baru lulus dan belum dapet kerja. Tapi gimana ya, istri saya itu, nanyain tentang uang sewa terus. Jadi, kedatangan saya ke sini, mau nagih uang sewa. Kamu, ada uangnya, kan?” tanya Pak Jamal memastikan.
Jujur saja mendengar pertanyaan Pak Jamal barusan, jantung Tiara langsung berdetak lebih kencang tak karuan. Bukan karena jatuh cinta sama si bapak itu, bukan. Ini karena Tiara tidak punya uang sama sekali. Dia masih pengangguran dan tak punya pemasukan.
Tiara berpikir keras, di kepalanya sudah gemuruh ingin bernegosiasi untuk mendapatkan keringanan uang sewa, tapi nyatanya Tiara tetap diam, tak tahu harus menjawab apa. Dia bingung menjelaskan pada Pak Jamal.
Tak mungkin dia meminta orang tuanya di desa, karena dia sudah berjanji akan hidup mandiri jika sudah lulus. Lagi pula orang tuanya sudah sakit-sakitan, Tiara jelas tidak mau membebani kedua orang tuanya.
“Tiara? Kok diem?” Pak Jamal yang menunggu jawaban, kini kembali bertanya. Dia memperhatikan Tiara yang sedang menundukan kepala, sambil memilin-milin ujung kaos.
Melihat sikap wanita ini, Pak Jamal yakin, jika Tiara sedang kebingungan.
Merasa menemukan celah untuk melancarkan tujuan utamanya. Pria yang duduk berseberangan dari Tiara ini segera pindah duduk di samping wanita tersebut.
“Udah, jangan takut gitu, dong. Kalau kamu nggak ada uang sekarang, gimana kalau… temenin saya ihik-ihik aja?” ucap pria berkumis ini dengan suara genit, sambil meletakkan tangannya ke atas paha Tiara.
Hal ini jelas membuat Tiara ketakutan. Dia gemetar, tapi tubuhnya tak dapat digerakan.
"Gimana ini? Kenapa kayak gini?" batin Tiara panik.
Di tengah rasa kalut yang berlebih, ponsel Tiara tiba-tiba berbunyi. Tiara langsung berdiri, menghindari Pak Jamal secepat mungkin.
“Permisi, Pak, ada telpon,” ucapnya dan langsung buru-buru masuk ke kamar sambil mengunci pintu.
Tiara menarik nafas dalam, berusaha untuk menenangkan diri sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Melani.
“Halo, Kak?”
“Halo, Ra! Kamu di mana?” tanya Melani dengan suara menggelegar, membuat Tiara harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.
“Mm … di rumah, Kak.” Tiara berusaha menekan suaranya supaya tidak ketahuan kalau sedang ketakutan. Tapi sepertinya Melani menyadari hal itu.
“Kamu kenapa? Kok suara kamu gitu, sih? Abis nangis, ya? Ada yang ganggu kamu?” Melani jadi penasaran.
“E-enggak, kok, Kak,” ujar Tiara bohong, karena tak ingin membuat saudaranya khawatir.
“Hish! Udah! Ditunda dulu aja sedihnya. Kamu mau kerja nggak? Kebetulan ini ada lowongan kerja. Pokoknya kamu besok langsung ke kantorku. Langsung kerja. Jadi pastiin kamu pakai pakaian sopan yang terbaik. Pokoknya gak usah make-up an kayak biasanya, jadi dirimu aja. Tapi yang paling penting, kamu harus nurut sama si Bos.”
Bagai pucuk ulam pun tiba. Tiara yang sebelumnya begitu sedih dan bingung dengan kehidupannya, kini mendapatkan angin segar mendapati kabar dari Melani. Jelas hal ini tidak akan mungkin dia sia-siakan.
“Mauuu! Ok, Kak! Makasih banyak!” serunya menyetujui hal tersebut.
Tiara belum tahu saja, jika bos Melani itu lebih merepotkan dan akan membuat hari-harinya lebih tersiksa.
Bersambung….