“Yun…kamu di mana?”
“Masyallah, Nu?! Gila kamu ya! Kemarin mamamu nelpon, katanya HP-mu gak aktif. Dia panik!”
Yuni Ndaru, sahabat Nuraini Senja sejak sekolah dasar, nyaris kehilangan kesabaran. Rumah mereka yang masih satu kelurahan membuat hubungan mereka begitu dekat, dan kedekatan itu terus bertahan sampai hari ini.
“Kamu ke mana, Nu? Bohongin mamamu katanya ikut kemah perpisahan, eh gak bilang ke aku. Giliran mamamu nanya ke aku, aku gak tahu apa-apa. Kita gelagapan nyari alasan. Kamu diculik om-om ya?”
Nu menghela napas lalu terkekeh pelan. “Hoiii Yun, sabar dong. Enak aja diculik om-om. Akunya yang nyulik om-om…hihihi.”
“What the hell?!” teriak Yuni.
“Diem dulu napa, aku mau cerita.”
Nu pun menceritakan hubungannya dengan Ryan. Lelaki dewasa, duda, dan penulis terkenal yang diam-diam sudah mengisi relung hatinya. Tapi tentu saja, Nu menyimpan sebagian cerita yang tak layak dibagikan. Hubungan fisik mereka tidak ia ceritakan.
“Yun? Haloo?”
Yuni di seberang sana terdiam cukup lama, mungkin berusaha mencerna kenyataan bahwa sahabatnya yang selama ini begitu ‘kalem’, ternyata diam-diam menjalani hubungan sedekat itu dengan seorang pria yang usianya jauh lebih tua.
“Eh, iya. Terus, kamu mau aku bantu apa, Nu?”
“Aku minta tolong ya, kalau mamaku tanya, bilang aku ke Solo sama kamu.”
“Nu...dua hari? Gila kamu. Oke deh. Tapi pulang nanti kita harus ketemu, dan kamu WAJIB ngenalin aku ke yayangmu itu.”
“Deal. Muaaachhh. Udah ya, aku mau pacaran lagi…”
“Nu tunggu—”
Tut… tut…
Nu menutup telepon, tersenyum penuh kemenangan. Baru saja ia menyimpan ponsel ke meja, suara Ryan memanggil dari dapur.
“Sayang, kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Telepon cowok ya?”
“Cowokku ya kamu doooong…” jawab Nu sambil nyosor ke bibir Ryan, mencium sekilas lalu kabur sambil tertawa.
“Dasar kamu ya…” Ryan mengejar dan berhasil mendekapnya dari belakang, memeluk erat sambil menghujani ciuman di leher Nu hingga gadis itu menjerit geli.
“Mas, ahhh! Udah dong! Kita nonton bioskop yuk!”
Ryan tampak berpikir sejenak lalu tersenyum. “Oke, pas banget aku memang mau buat resensi film baru. Judulnya Tak Ingin Usai di Sini. Adaptasi film Korea More Than Blue.”
“Bryan Domani dan Vanesha Prescilla, kan? Mau! Sekarang?”
“Gak, tahun depan,” jawab Ryan dengan canda, membuat Nu mencubit perutnya.
Malam itu, bioskop di Mall Queen City, Semarang, menyisakan senyap selepas film “Tak Ingin Usai Di Sini” menutup layar dengan adegan pamungkas yang menguras emosi. Nu menggenggam erat tangan Rian Aditya saat lampu kembali menyala. Matanya masih sembab, dan Rian hanya bisa menatapnya dengan senyum penuh pengertian.
“Duh, aku nangis banget,” bisik Nu sambil mengusap sudut matanya.
“Kamu cantik banget walau habis nangis,” goda Rian sambil menyelipkan helai rambut Nu ke balik telinga.
Saat itu hujan baru saja reda ketika Rian Aditya dan Nuraini Senja melangkah keluar dari Mall yang dulunya dikenal sebagai Sri Ratu ini. Mereka masih dalam keheningan panjang, seolah keduanya enggan mengucapkan kata-kata karena takut mengusik suasana yang masih menggantung di hati.
Nu menggenggam jemari Rian lebih erat, dan pria itu menoleh padanya, menangkap binar sendu yang masih tinggal di matanya.
“Mas… filmnya bikin sesak, ya,” lirih Nu.
Rian mengangguk, lalu mengusap rambut Nu yang basah sedikit karena gerimis. “Kadang kisah paling menyentuh adalah yang tak selesai dengan bahagia.”
Di bawah rintik hujan yang baru saja reda, mereka keluar dari mall dan melanjutkan malam dengan makan soto di Pecinan. Di sana, senyuman dan tawa mereka kembali mengalir.
Nu menatap Ryan usai menyuapkan sendok terakhir soto ke mulutnya.
“Mas, kita jadi ke Jogja lagi kan besok?”
Ryan mengangguk. “Aku udah siapin semua. Kali ini nginep di Gunung Kidul.”
Nu menelpon ibunya, beralasan akan menginap dengan Yuni dan Endar di rumah temannya di Solo. Persis seperti yang dia rencanakan pagi tadi saat menghubungi sahabatnya. Dan Ryan hanya menggelengkan kepalanya karena tahu Nu berbohong.
-----
Di apartemen malam itu, Nu bersandar di bahu Ryan. “Mas…”
“Hm?”
“Boleh aku nginep di sini selamanya?”
Ryan tertawa pelan. “Bisa-bisa aku dikira bawa lari anak orang.”
Nu mengerucutkan bibir, “Koq gitu mas? Kan aku bisa beralasan ke saudara atau gimana. Aku mau tidur di sini, dekat kamu...udah gak mau tidur sendirian.”
Rian diam tak mengangguk atau menggeleng, tak perlu berkata apa-apa lagi. Ia tahu hubungan mereka sudah melewati sekat-sekat canggung, dirinya juga merasa ‘hidup’ dengan kehadiran Nu, namun dia tahu ada yang harus tetap dijaga oleh batasan tak kasat mata yang mereka pahami bersama—bukan karena ketakutan, tapi karena etika.
Sesungguhnya dalam diam, Ryan bimbang. Dalam hatinya ia tahu bahwa Nu adalah kekuatan baru dalam hidupnya. Tapi batas tetap batas.
Rian menggeser posisi duduknya ke arah Nu lalu meraih jemari dan menariknya hingga Nu duduk di pangkuannya. "Besok saja ya, Sayang. Kita bahas soal ini. Sekarang kita bobo aja!" Rian menyisir rambut Nu dengan jemarinya lalu menyelipkannya di telinga Nu
Nu menatap matanya berbinar. “Bener ya besok, besok, besok dan selamanya? ucap Nu dengan antusias seperti anak kecil yang dibujuk akan dibelikan permen.
Di tengah kehangatan itu, Nu menatap Ryan dalam-dalam. “Mas…”
“Hm?”
“Kalau besok aku gak bisa lagi bareng kamu… boleh gak malam ini aku minta satu kenangan lagi?”
Ryan menatap matanya yang jernih. Ia tahu apa maksud Nu. Tapi kali ini ia tidak menjawab dengan kata-kata. Ia membelai pipi Nu dan mendekat, lalu mencium bibir gadis itu dengan lembut. Tidak terburu-buru, tidak membakar. Tapi penuh rasa.
Di sofa itu dengan televisi yang menyala, seakan menjadi penonton, keduanya larut dalam kehangatan yang tak perlu dijelaskan.
Satu jam kemudian.....
Nu duduk tenang di sisi sofa, mengenakan kaus longgar milik Ryan yang kebesaran di tubuh mungilnya. Rambutnya terurai seadanya, pipinya masih merona kemerahan karena kebahagiaan dan kenikmatan yang baru saja dilalui bersama kekasihnya, tapi senyum lembut tak pernah lepas dari wajahnya.
Sementara Ryan baru saja selesai merapikan meja makan kecil di pojok ruangan. Ia menatap Nu dari kejauhan, dan hatinya kembali menghangat seperti sore yang sunyi saat pertama kali mereka makan soto di pecinan.
Ketika ia berjalan pelan mendekati sofa, Nu berdiri dan menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu menatapnya lekat-lekat—seakan ingin memastikan bahwa pria ini nyata, bukan hanya tokoh fiksi seperti dalam novel-novel yang sering ia baca.
Dan tiba-tiba, Nu berdiri berjinjit lalu mengecup kening Ryan dengan pelan. Lama.
"Aku bersyukur ketemu kamu, Mas," bisiknya, suara lirih yang membuat jantung Ryan berdetak lebih pelan tapi dalam. “Terima kasih karena sudah mengizinkan aku masuk ke dunia kamu. Dunia yang selama ini kupikir hanya ada di cerita-cerita...”
Ryan terdiam. Kepalanya menunduk sedikit, seolah menahan riuh emosi yang menyeruak di dadanya.
Nu menarik tangan Ryan, menggandengnya ke sofa, dan menyandarkan kepalanya ke d**a pria itu. “Aku cuma pengen di sini malam ini. Gak perlu ke mana-mana. Gak harus ngomong apa-apa. Cuma... bareng aja.”
Ryan menyentuh rambut Nu, mengelusnya pelan.
“Senja,” gumam Ryan lirih.
“Hmm?” sahut Nu sambil mendongak menatap wajahnya.
“Aku belum pernah segini damai... selama empat tahun terakhir ini.”
Nu tersenyum kecil. “Damai karena aku?”
“Karena kamu... dan karena Tuhan yang ngirim kamu ke hidupku.”
Mereka duduk lama seperti itu. Hanya suara televisi di depan mereka yang masih menyala tanpa volume, menayangkan tayangan malam yang tidak mereka pedulikan.
Saat Nu mulai memejamkan matanya di d**a Ryan, pria itu menatap wajahnya—wajah seorang gadis yang begitu muda, namun menyimpan kelembutan, keberanian, dan cinta yang tulus. Perlahan, ia menyentuh pipi Nu dan membelainya.
Mata Nu terbuka kembali, jernih dan penuh rasa. Ia tahu Ryan sedang memikirkan banyak hal. Tentang usia. Tentang masa lalu. Tentang kemungkinan yang bisa—atau tidak bisa—terjadi. Tapi di balik semua itu, Nu hanya ingin mengatakan satu hal.
"Aku sayang kamu," ucapnya lembut.
Dalam diam, pelukan, dan ciuman yang penuh rasa, mereka tahu…
mereka sedang membangun rumah baru—rumah tanpa tembok dan atap,
tapi dipenuhi oleh harapan dan kepercayaan.
Beberapa menit berlalu. Nu tertidur di d**a Ryan, napasnya mulai berat dan teratur. Ryan menarik selimut tipis, menyelimuti tubuh mereka berdua. Tangannya tetap menggenggam jemari Nu yang hangat. Ia menatap gadis itu sesaat—menyimpan senyum kecil di ujung bibirnya.
Ryan memejamkan mata. Dalam dekapannya, dunia tak lagi gelap. Dan untuk pertama kalinya dalam empat tahun, Ryan tertidur…dengan senyum yang benar-benar tulus di wajahnya.