Chapter 05 - Pagi yang Baru, Dunia yang Berbeda

1964 Kata
Langit masih gelap saat Ryan bangkit dari tidurnya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 05.00 WIB. Pelan-pelan, ia melepaskan pelukannya dari tubuh mungil Nuraini Senja yang masih terlelap. Gadis itu tidur begitu damai, wajahnya terlihat tenang, dan sesekali senyum terbit dari bibirnya yang mungil. Ryan menatapnya beberapa saat, lalu mengusap lembut pipi Nu. "Tuhan, jagai dia... seperti Kau menjagai hatiku yang mulai kembali bernyawa karena dia," bisik Ryan lirih. Tanpa membangunkan Nu, Ryan bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian rapi dan mengambil rosario kecil dari laci meja. Ia menulis catatan kecil, melipatnya dengan rapi dan menyelipkannya di bawah ponsel Nu di nakas samping tempat tidur. "Sayangku Nu, aku ke gereja dulu ya, misa pagi pukul 05.30. Kalau kamu bangun, silakan mandi dan berbenah ya, pakai pakaian santai saja. Aku ingin ajak kamu jalan-jalan di Car Free Day, Tri Lomba Juang dan Simpang Lima. Nanti kita sarapan bareng. – Ryan" Setelah mencium kening Nu sekali lagi, Ryan pun melangkah pergi. Pukul 06.15 WIB. Nu menggeliat pelan, mencari hangat tubuh Ryan di sisi ranjang, namun mendapati tempat itu kosong. Matanya membuka perlahan, menangkap sinar matahari yang mulai menerobos masuk dari balik tirai. Pandangannya jatuh pada secarik kertas di bawah ponselnya. Ia membaca tulisan tangan Ryan dengan senyum tipis yang mengembang. Hatinya terasa hangat. Dalam hati ia bergumam, Mas itu romantis banget. Selalu tahu cara bikin aku merasa berarti. Ia bangkit dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi. Di dalam, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya acak-acakan, matanya sedikit bengkak karena tidur nyenyak. Namun ada cahaya baru di wajahnya, cahaya bahagia. Tanpa ragu, Nu melepaskan pakaian tidurnya. Kini tubuhnya polos, dan ia berdiri di bawah pancuran air yang belum dinyalakan. Pandangannya kosong sejenak, lalu tanpa sadar, bayangan Ryan menyusup ke dalam pikirannya—tatapan mata Ryan, pelukannya, dan sentuhan mesranya semalam. Gemuruh di dadanya membesar. Nafasnya tercekat. Tubuhnya bereaksi, dan ia merasa geli sendiri. Tanpa sadar tangannya menelusup di sela pahanya. Ada rasa geli dan gejolak yang luarbiasa hebatnya. Nu terus menggerakkan tangannya perlahan membelai bulu-bulu halus dan berlanjut di bibir k*********a. Rasa geli dan nikmat bergantian menghampirinya. hingga tanpa sadar dirinya mendesah...."Masss Ryannnn..." Gerakan yang perlahan berkembang menjadi liar, nafas Nu memburu dan tangan kanannya meremas payudaranya sendiri bergantian. Dalam bayangannya, Nu merasa remasan itu seperti gigitan mesra Ryan dan sedotan di kedua putingnya yang membuat pangkal pahanya mulai basah. “Ya Allah... Nu, kamu ini kenapa sih?” gumamnya malu-malu. Saat nafsunya nyaris membuat Nu memasukkan ujung jarinya ke lubang kenikmatannya, Nu tersentak mendengar damun dering alarm dari kamar sekaligus membuyarkan lamunannya. Nu tergelak, lalu segera memutar kran air dan membasuh tubuhnya yang mulai panas oleh imajinasi liar. Setelah selesai mandi, ia mengenakan pakaian santai—kaus putih longgar dan celana jeans pendek selutut. Rambutnya ia biarkan tergerai. Di wajahnya hanya bedak tipis dan sedikit lip balm. Ia mematut diri di depan cermin, lalu tersenyum puas. Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka. Ryan muncul dengan membawa dua kantong berisi air mineral dan buah-buahan. “Mas!” seru Nu ceria. “Wah, udah siap aja kamu?” “Udah dong! Aku kan nggak sabar pengen jalan-jalan bareng pacar gantengku.” Ryan tertawa kecil, “Ayo, berangkat sekarang aja, biar nggak terlalu panas.” Pagi di Semarang terasa begitu segar. Udara masih belum terlalu panas, dan jalanan menuju kawasan Simpang Lima mulai dipenuhi orang-orang yang berolahraga, berjalan kaki, atau sekadar duduk di trotoar. Ryan yang telah berganti celana pendek dan memakai sepatu Nike V2 K Run Biru Metalic kesayangannya dan Nu dengan celana lagging 3/4 nya dan kaos Adidas biru muda dengan sepatu running Puma, menyusuri kawasan Car Free Day di Tri Lomba Juang, melewati area lari yang ramai dan tenda-tenda jajanan pagi. Mereka bergandengan tangan, tertawa melihat orang-orang yang berjualan, anak-anak bermain sepatu roda, dan pasangan-pasangan lain yang tampak mesra. “Mas, lihat deh tuh, ada yang joget-joget lucu!” kata Nu sambil menunjuk ke sekumpulan orang yang mengikuti senam aerobik dengan penuh semangat. Ryan mengangguk. “Senam pagi bisa bikin hati gembira katanya.” “Yaudah, yuk ikut!” ajak Nu spontan. Ryan terbelalak. “Aku? Nggak ah, malu!” “Tapi aku pengen Mas joget!” “Joget depan umum gini? Waduh...” Nu cemberut, “Mas nggak sayang aku ya?” Ryan tertawa, “Iya sayang. Ya udah deh, sebentar aja.” Mereka pun ikut senam selama beberapa menit, hingga akhirnya terpingkal-pingkal sendiri karena gerakan Ryan yang kaku dan aneh. Namun itu membuat Nu bahagia, sangat bahagia. Setelah puas berkeliling, mereka memutuskan duduk di bawah pohon rindang di pinggiran Simpang Lima, sambil menikmati minuman dingin dan buah-buahan. Tiba-tiba, seseorang menyapa dari belakang. “Ryan? Wah, kamu masih hidup juga ternyata!” Ryan menoleh dan mendapati seorang pria berkacamata hitam, berambut tipis, dan berjaket olahraga menyapanya dengan senyum lebar. “Loh, Bro Darmo! Lama banget nggak ketemu!” Mereka saling berpelukan sebentar, lalu duduk berdampingan. “Eh, kenalin ini Nuraini Senja... Nu,” kata Ryan. Darmo menatap Nu beberapa detik, lalu menyeringai. “Wah... eh... halo. Salam kenal, Nu. Kamu... anaknya Ryan ya?” Nu dan Ryan spontan tertawa. “Bukan,” jawab Nu malu-malu. “Oh... ohh... jadi?” “Pacarku,” jawab Ryan santai. Darmo sempat terbatuk kecil, lalu terkekeh. “Buset... Ryan, lo mantap banget. Nggak salah gue dulu manggil lo Don Juan.” Ryan tertawa. “Bukan begitu, Mo. Panjang ceritanya. Tapi ya... aku bahagia sekarang.” Darmo menepuk pundaknya. “Kalau kamu bahagia, itu yang penting.” Setelah beberapa menit berbincang, Darmo pamit. Nu dan Ryan kembali berdua, menikmati pagi yang mulai menghangat. “Mas malu ya dikenalin sebagai pacarku?” tanya Nu tiba-tiba. Ryan menoleh cepat. “Enggak... sama sekali enggak. Aku justru bangga. Cuma ya, tadi kaget aja dia langsung mikir kamu anakku.” Nu tertawa. “Aku juga kaget.” Mereka duduk diam beberapa saat, menikmati suasana yang mulai padat. Tiba-tiba Nu berkata pelan, “Mas, soal agama kita yang beda... Mas masih risau?” Ryan menatapnya dalam. “Dulu iya. Tapi kamu sendiri yang bilang... kamu nggak masalah.” Nu mengangguk pelan, lalu berkata sambil memegang tangan Ryan, “Karena cinta itu, seperti yang Mas tulis di novel Mas... ‘Cinta itu tidak lahir dari keyakinan yang sama, tapi dari kepercayaan bahwa kita bisa saling menjaga keyakinan satu sama lain.’” Ryan terdiam, lalu tersenyum haru. “Kamu baca bagian itu?” “Seratus kali,” jawab Nu yakin. “Dan aku percaya, kita bisa.” Ryan menggenggam tangannya, dan dalam keheningan pagi yang mulai ramai, dua hati itu semakin menyatu, meski dunia di sekeliling mereka penuh perbedaan. ----- Setelah cukup lama duduk di bawah pohon rindang, Ryan mengajak Nu melanjutkan langkah ke arah Lapangan Pancasila. Di sana, suasana makin ramai. Nu terlihat sangat antusias melihat aneka pertunjukan jalanan, mulai dari pemain biola hingga komunitas cosplay yang sedang melakukan parade. Mereka sempat berhenti sejenak di salah satu tenda komunitas baca yang menyebarkan buku gratis. Nu begitu senang melihat anak-anak kecil yang membaca sambil duduk lesehan. Ia menggamit lengan Ryan. “Mas, nanti kalau kita punya anak, aku mau mereka kenal buku sejak kecil,” ucapnya penuh harap dan lirikan mata nakal yang menjadi kode pemberitahuan kenapa malam pertama hubungan cinta mereka, dirinya melarang Ryan untuk memakai pengaman maupun 'membuang' di luar. Ryan tersenyum, walau dalam hatinya tersentak. Kata-kata “kalau kita punya anak” begitu nyaring dalam benaknya. Sebuah harapan yang mungkin terlalu cepat, terlalu awal untuk mereka bicarakan, tapi tak bisa ia bantah bahwa hatinya meleleh mendengar ucapan itu dari Nu. “Iya, Nu... kita ajarkan cinta lewat buku, lewat cerita yang membesarkan hati,” jawab Ryan akhirnya. Mereka kemudian menyusuri deretan stan makanan ringan. Nu membeli satu cup es krim stroberi, dan Ryan mengambil segelas kopi s**u panas dari booth favoritnya. “Mas, tahu nggak? Ini hari paling menyenangkan dalam hidupku,” ucap Nu sambil menjilat es krimnya. “Bahkan lebih menyenangkan dari hari kelulusan?” Nu mengangguk cepat. “Jelas! Di sana cuma upacara dan foto-foto, tapi di sini... aku sama orang yang aku sayangi.” Ryan merasa dadanya hangat. Ia tak bisa menyangkal bahwa kebersamaan ini memang menenangkan. Sesuatu yang sempat hilang dari hidupnya. Sambil menyusuri trotoar yang mulai padat, mereka berbicara banyak hal—tentang tempat wisata yang ingin dikunjungi, makanan favorit, dan bahkan buku yang ingin mereka baca bersama. Nu sangat ingin membaca ulang novel “Karena Aku Memilihmu” bersama Ryan, dan mendiskusikan tiap babnya. Setelah dua jam di CFD, mereka memutuskan untuk kembali. Di sepanjang perjalanan, Nu bersandar di bahu Ryan di dalam mobil, bibirnya sesekali menggumamkan lagu-lagu dari playlist Spotify yang Ryan putar. Kali ini giliran Nu yang memilih lagu, dan ia memilih lagu-lagu mellow dari Kahitna. Saat mobil menanjak menuju Tembalang, Nu berkata pelan, “Mas... besok kamu kerja ya?” “Iya, Sayang. Tapi aku bisa pulang cepat. Kita masih punya waktu dua hari sampai liburanku habis.” Nu menatap Ryan lalu menggenggam tangannya di atas tuas persneling. “Aku seneng banget bisa deket kamu gini.” Ryan menoleh sebentar, membalas genggaman itu dengan senyum tipis. Sesampainya di apartemen, Ryan langsung menyimpan barang belanjaan dan buah-buahan yang tadi mereka beli. Nu membantunya, sambil sesekali mencuri pandang ke arah punggung Ryan yang sedang sibuk menyusun jeruk dan pisang di mangkuk meja makan. “Mas,” panggil Nu lirih. “Hmm?” “Kalau nanti aku kuliah, Mas bakal sering ke kampus aku nggak?” Ryan menoleh sambil tersenyum nakal. “Buat ngawasin kamu atau buat pamer ke dosen-dosen kalau pacarku anak kampus?” Nu meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Dua-duanya!” Tawa mereka pecah bersamaan. Setelah makan siang ringan, Nu merebahkan tubuh di sofa. Ryan menyeduh teh hangat untuk mereka berdua. Saat ia kembali ke ruang tengah, Nu sudah menyalakan televisi dan asyik menonton program musik. “Mas, duduk sini dong,” katanya sambil menepuk sisi sofa. Ryan menuruti. Nu lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ryan, kakinya diluruskan di atas sofa. “Kamu nggak ngantuk?” tanya Ryan sambil menyeruput tehnya. “Enggak... aku cuma pengen lama-lama deket kamu.” Beberapa menit berlalu dalam diam yang nyaman. Nu tiba-tiba membuka suara lagi. “Mas... boleh aku tinggal lebih lama di sini?” Ryan menoleh. “Maksudmu?” “Bukan seminggu atau sebulan... aku cuma... nggak pengen pulang cepat. Boleh kan?” Ryan menghela napas pelan. “Kalau soal kamu tinggal di sini, Nu... aku gak masalah. Tapi aku juga gak pengen kamu berbohong terus ke ibumu.” Nu terdiam beberapa saat, lalu menatap Ryan dalam. “Aku nggak bohong untuk yang jahat, Mas. Aku cuma lagi berjuang mempertahankan rasa. Toh nanti... kita akan bicara juga ke Mama. Tapi belum sekarang...” Ryan mengusap kepala Nu. Ia tahu ia tak bisa memaksa. Menjelang sore, Nu tertidur di sofa dengan pelukan selimut tipis. Ryan beranjak masuk ke kamar mandi untuk mandi sore. Kali ini ia memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat. Usai mandi, ia kembali mengenakan kaus dan celana santai. Saat kembali ke ruang tengah, Nu masih tidur, napasnya teratur. Ryan tak ingin membangunkannya. Ia mengambil jurnal kulit cokelat miliknya, membuka halaman kosong dan mulai menulis. “Hari ini, aku tahu bahwa Tuhan tak pernah mengambil seluruh bahagiaku. Dia hanya menundanya. Dan hari ini, Dia mengembalikannya lewat sosok seorang gadis muda, yang datang membawa warna baru dalam hidupku. Nu... kamu membuatku merasa hidup lagi.” Ia menutup jurnal itu, lalu menaruhnya di meja nakas. Kemudian ia menyalakan lampu kamar, menyelimuti Nu lebih hangat, dan ikut berbaring di sisi sofa, melingkarkan lengannya ke tubuh gadis yang kini telah menjadi pusat dunianya. Sebelum memejamkan mata, Ryan sempat berdoa lirih: “Tuhan... ajari aku mencintai dalam bimbingan-Mu. Kalau ini ujian, beri aku kekuatan. Tapi jika ini anugerah... ajari aku menjaganya.” Dan malam kembali menyelimuti kota Semarang dengan tenang, membawa dua hati dalam kedekatan yang makin erat, meski perbedaan dan rahasia masih tersimpan di antara mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN