Sinar matahari menyusup perlahan dari celah tirai di apartemen itu, membangunkan dunia dari tidurnya. Di dalam kamar, Nu menggeliat pelan, matanya masih berat, namun senyum mengembang di bibirnya. Aroma wangi roti panggang dan suara denting panci terdengar samar dari dapur. Ia mengerjap pelan, meraba sisi ranjang yang kosong. Tidak ada Ryan di sana.
Awalnya, ia sempat panik. Namun saat mendengar suara familiar dari dapur, wajahnya kembali cerah. Nu bangkit dari ranjang, merapikan rambutnya seadanya, lalu melangkah pelan keluar kamar.
Dari lorong sempit, ia melihat punggung Ryan yang berdiri di depan kompor. Pria itu mengenakan kaus putih dan celana pendek santai, sibuk membalik roti dan mengaduk telur orak-arik. Di meja makan kecil, dua piring sudah tertata rapi. Di sampingnya, segelas s**u dan satu mug kopi.
Nu berdiri mematung sejenak. Bukan karena aroma masakan atau kesibukan di dapur. Tapi karena pemandangan itu—seorang laki-laki yang menyiapkan sarapan untuknya dengan tulus—adalah sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama.
Sejak ayahnya pergi.
Sejak rumahnya hanya dipenuhi suara ibu dan bayang-bayang kesepian.
Dengan mata berbinar, Nu yang hanya memakai kaus polos bergambar logo klub bola kesukaan Ryan, Real Madrid, berjalan pelan ke arah Ryan. Tanpa suara, ia memeluknya dari belakang. Lengan mungilnya melingkar di perut Ryan, kepalanya bersandar pada punggung lebar pria itu.
"Mas..."
Ryan sempat terhentak kecil, lalu tersenyum. “Bangun juga akhirnya. Kukira kamu masih mimpi.”
Nu tak menjawab. Ia hanya mempererat pelukannya. Suara jantung Ryan yang stabil, hangat tubuhnya, semuanya membuat Nu merasa aman, seperti pulang.
“Mas masak apa?” tanyanya manja.
“Telur orak-arik, roti bakar, dan s**u. Aku nggak tahu kamu suka apa, jadi bikin yang paling aman.”
Nu mendongak. “Yang aku suka cuma satu.”
“Apa?”
“Mas.”
Ryan tertawa kecil, lalu mematikan kompor dan berbalik. Ia mengusap kepala Nu lembut.
“Nakal kamu pagi-pagi.”
“Biarin. Aku kan pacarnya Mas,” sahut Nu sambil nyengir.
Mereka duduk berdua di meja makan kecil itu. Nu menyendok telur sambil mengamati wajah Ryan yang tenang, penuh perhatian seperti biasanya. Namun kini, ada yang berbeda. Ada cahaya di matanya. Ada kehidupan yang mulai tumbuh kembali di dalam d**a pria itu.
“Mas...”
“Hm?”
“Semalam itu bukan mimpi, kan?”
Ryan menoleh, menatapnya dalam.
“Bukan. Itu nyata.”
Nu menggenggam tangannya di atas meja.
“Terima kasih, Mas. Udah mencintaiku... bahkan ketika aku tahu, aku masih sangat muda dan mungkin bodoh.”
“Kamu tidak bodoh, Nu. Kamu hanya jujur. Dan aku... akhirnya mengerti bahwa cinta itu datang bukan karena waktu, tapi karena kehadiran.”
Nu tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia lalu berdiri dan menghampiri Ryan, duduk di pangkuannya, dan memeluknya erat.
“Mas...”
“Ya?”
“Jadi, jadi nggak kita ke Jogja hari ini?”
Ryan tertawa pelan. “Ya jadi dong. Bukannya kamu yang paling semangat?”
“Aku semangat karena pengen jalan-jalan sama pacarku yang ganteng. Bukan karena Jogjanya.”
Ryan memeluknya kembali, menghirup aroma rambut Nu yang masih wangi sabun. Dadanya terasa penuh, bukan oleh beban, tapi oleh rasa yang sudah lama hilang: dicintai dan mencintai.
Setelah sarapan dan bersiap, mereka pun meluncur ke Jogja dengan mobil sedan Hyundai hitam yang dipoles bercorakkan Real Madrid milik Ryan. Di sepanjang perjalanan, gelak tawa dan canda memenuhi kabin mobil. Nu berkali-kali memotret langit, jalanan, dan diam-diam memotret Ryan dari samping, mengunggahnya ke close-friends Instagramnya dengan caption singkat: "Langit senja punya pesaing."
Namun kebersamaan itu bukan tanpa godaan. Di rest area, saat Ryan sedang mengisi bensin, Nu mendekat, merapikan kerah kemeja Ryan, lalu berbisik pelan, "Mas tahu nggak, yang pengen kulakukan sekarang?"
"Apa?"
"Cium bibir Mas. Tapi malu... banyak orang." Lalu dia nyengir, dan Ryan hanya tertawa sambil menepuk pelan kepalanya.
Setelah puas menikmati gudeg dan sejenak menyusuri Malioboro, mereka memutuskan untuk tidak menginap. Ryan sadar ia tidak nyaman tidur di hotel dengan Nu, dan Nu tak memaksa. Dalam perjalanan pulang ke Semarang, Nu tertidur dengan kepala bersandar di bahu Ryan. Di detik-detik itu, Ryan menyadari betapa damainya berada di sisi Nu.
Malam hari, mereka tiba di apartemen Tembalang. Nu yang masih mengantuk menolak diajak turun, “Gendong, dong...”
Ryan mengangkat alis, lalu tertawa, “Kamu pikir aku Superman?”
“Bukan. Tapi Mas kan kekasihku. Kekasih yang baik nggak nolak ceweknya.”
Ryan pun menuruti, walau sedikit mengomel. Sampai di dalam apartemen, Nu langsung rebah di sofa, melepas kausnya dan menyisakan tanktop putih yang membentuk lekuk tubuhnya.
"Mas, aku tidur dulu ya."
“Yaudah. Tapi tidur di kamar ya, jangan di sofa.”
Nu menatap Ryan lama. “Mas...”
“Ya?”
“Peluk aku, kayak semalam. Baru bisa tidur.”
Ryan hanya mengangguk pelan, duduk di samping Nu, menariknya ke dalam dekapan. Sambil membelai rambutnya, ia merasa... begitu hidup.
Sebelum terlelap, Nu berbisik, “Mas, aku sayang banget sama Mas. Jangan pernah ninggalin aku ya.”
Ryan mencium pelipisnya. “Aku nggak akan pergi. Kita jalanin ini sama-sama.”
Malam pun makin kelam. Nu yang masih mengantuk rebah di sofa sambil menggeliat manja. Ryan mengusap kepalanya lembut, lalu berkata, “Kamu rebahan sebentar ya, aku mau mandi.”
“Jangan lama-lama,” gumam Nu nyaris tak terdengar.
Ryan hanya tersenyum, lalu berjalan masuk ke kamar. Ia melepas bajunya satu per satu, lalu celana, hingga hanya tersisa dirinya yang polos. Karena yakin Nu sudah benar-benar terlelap, ia dengan santai berjalan menuju kamar mandi tanpa sehelai benang pun menempel di tubuhnya.
Namun diam-diam, Nu membuka matanya. Sejenak ia membelalak, tubuhnya tegang melihat pemandangan di depannya. Ryan yang polos, tanpa busana. Wajah Nu memerah, jantungnya berdetak tak beraturan.
Namun karena kelelahan, dan mungkin juga rasa nyaman yang menyelimuti, gemuruh di dadanya melemah. Ia akhirnya benar-benar tertidur.
Dalam tidurnya, Nu bermimpi. Dalam mimpi itu, Ryan menggendongnya dari sofa, membawanya ke kamar, merebahkannya dengan hati-hati di atas ranjang, lalu menyelimutinya.
Ia merasakan usapan lembut di rambutnya. Sebuah kecupan hangat di kening.
Dan senyuman.
Namun semua itu ternyata bukan mimpi.
Ryan benar-benar melakukannya. Ia tahu Nu kelelahan, dan dalam diam, ia ingin menjaganya. Menjadikan dirinya rumah tempat Nu bisa pulang, bisa merasa aman, dan bisa mencintai tanpa takut kehilangan.
Larut malam, di sela-sela suara detak jam dan angin malam yang membelai tirai, Ryan duduk di meja kecil samping tempat tidur. Di hadapannya, sebuah jurnal harian terbuka. Ia menulis dengan hati-hati:
"Hari ini... aku kembali merasa hidup. Karena Nu. Gadis kecil yang mengubah sepi jadi warna, dan luka jadi harapan."
Setelah menutup jurnalnya, Ryan memejamkan mata sejenak. Ia menangkupkan kedua tangannya, berdoa dalam hening:
"Tuhan Yesus, terima kasih... untuk hari ini. Untuk kehadiran dia yang Kau kirimkan. Jika ini bukan cinta, maka ajarkan aku... agar bisa mencintai dengan benar. Jika ini adalah jalan-Mu, tuntun aku agar tak menyakiti siapa pun dalam prosesnya."
Doa itu selesai, dan Ryan berdiri, lalu menyusul Nu yang telah tertidur lelap di ranjang. Ia merebahkan kepalanya di sisi gadis itu, memeluk tubuh mungil yang hangat dan damai.
Sebenarnya, hatinya menginginkan kemesraan seperti malam sebelumnya. Tapi ia tahu, Nu lelah. Dan cinta sejati bukan tentang memaksakan hasrat, melainkan menjaga yang dicinta.
Ryan hanya menggenggam jemari Nu. Hening. Lalu memejamkan mata. Bibirnya mengukir senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Senyum yang tak pernah hadir selama empat tahun terakhir.
Dan di dalam pelukannya, Nu bernafas lembut—tenang, bahagia, dan merasa dimiliki.
Di kamar yang remang dan hangat itu, keduanya tertidur—dengan pelukan waktu dan bisikan hati yang perlahan menyatu.
Dan malam pun menelan keduanya dalam keheningan yang hangat, di antara cinta yang tumbuh dari keberanian, dan harapan yang tumbuh dari kesepian