Chapter 03 - Nyanyian Jiwa yang Sepi

1799 Kata
Malam mulai merayap diam-diam ketika Ryan dan Nu sampai di unit apartemen yang hangat di kawasan Tembalang. Nu segera masuk ke kamar mandi, membawa tas kecilnya. Sementara itu, Ryan duduk di sofa ruang tengah, mencoba mencari udara dalam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Sudah hampir empat tahun ia tak pernah sedekat ini dengan seorang perempuan—apalagi dengan gadis yang usianya sebaya dengan putra bungsunya. Di layar televisi, Ryan menjelajahi menu Spotify. Ia mencari playlist favoritnya, memilih satu berjudul Sad Songs, seolah ingin menyelaraskan kekalutan dalam hatinya dengan suara-suara sendu yang akrab. Ketika lagu dari Kantata Takwa mulai terdengar—“Nyanyian Jiwa”—suara serak Iwan Fals mengisi ruangan, Ryan menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata. Bait demi bait menghunjam dalam: "Aku sering ditikam cinta, pernah dilemparkan badai... namun aku tetap berdiri..." Ia belum sempat menghela napas panjang saat suara langkah pelan terdengar dari balik kamar mandi. Nu keluar dengan rambut sedikit basah, mengenakan hoodie longgar dan celana pendek santai. Ryan membuka mata, hendak berkata sesuatu, namun terhenti saat Nu perlahan merunduk dan merebahkan kepalanya di pangkuan Ryan. “Nu?” Gadis itu hanya memejamkan mata, lalu menatap Ryan dari bawah. “Mas kaget?” “Ini... kamu nyaman begini?” Nu mengangguk. “Nyaman banget. Kayak lagi di pangkuan seseorang yang... aku percaya.” Jantung Ryan berdegup keras, ia mencoba fokus pada lirik lagu, tapi sentuhan lembut rambut Nu di pahanya membuat pikirannya justru melayang. Dalam kebingungan itu, ia merasakan jemari Nu menggenggam tangan kirinya. “Kamu sedih, Mas?” tanya Nu lirih, menatap wajah Ryan yang memang berubah sendu. Ryan hanya mengangguk kecil. Ia merasa tak punya banyak kata malam itu. Segala yang pernah kuat dalam dirinya terasa rapuh. Nu perlahan duduk, mendekat ke wajah Ryan. “Boleh aku peluk Mas?” Ryan belum sempat menjawab ketika lengan gadis itu melingkar di bahunya, kepala Nu bersandar pada dadanya. “Ada aku, Mas. Jangan sedih. Aku menyayangi Mas... sangat.” Ryan tak bergerak, tapi hatinya bergetar. Ia ingin menarik diri, tapi ada ketulusan di pelukan itu yang menahannya. Beberapa detik berlalu dalam hening, sebelum akhirnya Nu mengangkat wajahnya. Ia menatap Ryan lama, mengamati garis wajah yang disimpan waktu, melihat mata yang sembunyikan duka. Kemudian perlahan, Nu menyentuh pipi Ryan dengan kedua tangannya, dan mendekatkan wajahnya. Ryan belum sempat bereaksi, ketika bibir Nu sudah menyentuh bibirnya—pelan, penuh rasa. Itu adalah ciuman pertama mereka. Hangat. Lembut. Ragu. Namun nyata. Ryan terkejut. Ia ingin menjauh, namun tubuhnya tak bergerak. Lidahnya kelu, tetapi hatinya berdebar begitu cepat seolah menjawab bahwa perasaan itu memang ada. Ia membalas ciuman itu, perlahan, tak berlebihan. Hanya rasa yang ingin disampaikan dalam diam. Ketika ciuman itu terlepas, mereka saling menatap. “Mas pantas dicintai,” kata Nu dengan suara nyaris bergetar. “Dan aku... ingin jadi orang yang mencintai Mas, dengan semua luka yang Mas punya.” Ryan masih terdiam, napasnya tercekat. Namun ketika Nu kembali menyandarkan kepalanya di d**a Ryan, ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya mulai mencair. Pelan-pelan Ryan menarik Nu ke pelukannya, tubuh mereka bersandar di sofa yang nyaman itu. Dalam pelukan panjang dan ciuman-cintaan yang sederhana tapi hangat, keduanya mulai merasakan getar yang sama: perasaan yang selama ini disangkal. Nuraini Senja yang larut dalam kesenduan malam, enggan melepaskan pelukan itu. Bibirnya Kembali mencumbu Ryan yang kali ini membalas dengan mesra dan hangat. Sebagai lelaki normal yang hampir 4 tahun tak pernah bersentuhan dengan wanita, membuat kelaki-lakian Ryan bergejolak. Tanpa disadari, sesuatu di bawah pangkal pahanya mengeras. Kelaki-lakiannya berontak setelah sekian lama tidur panjang. “Mas…..” desah Nu diiringi hawa panas yang menyentuh telinga Ryan, hasratnya makin bergejolak. “Mas…pingin kah?” tanya Nu yang merasa ada sesuatu menonjol dari Ryan yang menghimpit dekat perutnya. Ryan hanya diam dan wajahnya memerah karena jengah. ----- Nu melepas pelukannya, berdiri dari sofa dan menarik tangan Ryan menuju ruang tidur yang tadi dilewati saat meminta ijin untuk mandi. Seperti anak kecil yang dibimbing orang tuanya, Ryan mengikuti tarikan Nu dan setelah berada di pembaringan, Nu yang berada di atas Ryan mulai membelai wajah Ryan yang makin memerah dan berkeringat. Terlebih dia merasakan tonjolan empuk dari d**a Nu menghimpit dadanya. Rupanya usai mandi, gadis itu tak lagi memakai bra dan membiarkan dua tonjolan dadanya tanpa pembatas dan hanya ditutup hodie. “Apa yang aku jaga selama ini biarlah kuberikan untukmu Mas,” bisik Nu yang makin tak jelas nada suara. Ryan terbelalak dan sebelum mampu menjawab, Nu telah melepaskan hodie nya, hingga nampak jelas tonjolan indah yang menggantung di d**a. Nu yang telah bertelanjang d**a dan hanya memakai celana dalam tipis polos berwarna abu-abu itu, kini terbaring pasrah di samping Ryan yang masih terkesima. Rasa jengah, malu dan berdebar membuatnya seperti laki-laki bodoh yang baru pertama kali melihat makhluk Tuhan polos tanpa busana. “Sayang…..Nu memiringkan tubuhnya, mengecup mesra daun telinga Ryan yang makin membuat kelakian nya mengeras maksimal. ‘May I??” katanya lirih yang dijawab anggukan kepala oleh Nu. Perlahan Ryan berpindah di atas tubuh Nu, mencium keningnya, pipinya dan akhirnya mencumbu tonjolan kecil berwarna coklat kemerahan. Ryan memainkan bergantian kanan-kiri-kanan-kiri yang dibarengi desahan panjang Nu yang makin tak bisa menguasai gerak tubuhnya sendiri. Entah kekuatan apa yang merasuki gadis 20 tahun ini, kedua tangannya bukannya melepas kancing baju milik Ryan satu persatu, namun malah merobek paksa, hingga tampaklah d**a bidang Ryan yang bersih tanpa bulu. “Mas….lanjutkan sayangggg.” Ryan melepas bajunya yang telah koyak kancing-kancingnya itu dan mengambil posisi makin turun ke bawah perut Nu yang terlihat begitu mungil dan menampakkan fenomena belum pernah tersentuh siapapun. Tanpa melepas selembar kain berbentuk segitiga yang masih menutupi organ utama milik Nu, Ryan dengan kemesraan yang memang menjadi kelihaiannya sebagai lelaki, mengecup, menjilat, mengigit mesra benda yang tersembunyi di balik kain itu. "Masss Ryannnn, lepasin aja sayanggggg...." Erangan Nu membuat Ryan membulatkan hati untuk menurunkan kain segitiga tadi dengan ujung-ujung giginya yang seakan enggan lepas dari setiap lekuk tubuh Nu. Meski tak lepas dengan sempurna dan masih lepas satu kaki saja, namun desahan Nu yang membuka lebar paha mulusnya serta gerakan tangan yang membenamkan kepala Ryan tepat di lubang k*********a, membuat Ryan tergagap. Bau harum yang keluar dari cairan yang telah membasahi bulu-bulu tipis dan bibir kemaluan Nu, makin membuat ketegangan pada batang milik Ryan. "Oughhh," teriak kecil Ryan karena celana jeans nya terasa sangat sempit akibat k*********a mengeras maksimal, mengagetkan Nu yang masih dikuasai kenikmatan. "Kenapa Mas?" Dan setelah tahu kenapa, Nu tertawa nakal dan mendesah...."Makanya dilepas sayang." desahan itu dibarengi dengan kesigapan Ryan memelorotkan celananya hingga akhirnya batang sepanjang 14,5 cm itu menyembul keluar dan ini membuat Nu yang sedari tadi memperhatikan terbelalak. "Mas Ryan.....gak akan robek kan punya aku? Punya Mas mengerikan, berotot lagi," bayang Nu dengan senyum geli. "Sayang kamu ini ada-ada saja. Punyamu biarpun mungil tapi siap menampung berapapun besarnya. Mau dibuktikan sayang?" Nu mengangguk perlahan dan makin melebarkan kedua paha kakinya, sehingga lubang kecil yang mulai memerah terlihat jelas. "Sayang tahan ya....." kata Ryan sambil mencumbu Nu saat membimbing barang pribadinya perlahan merobek keperawanan Nu. "Oughhh Mas....sakitttt," jerit Nu "Mau berhenti sayang? Gak apa-apa kalau kamu gak sanggup," kata Ryan menghentikan desakannya yang baru memasuki beberapa milimeter lubang mungil Nu. "Jangannn Mas, teruskan tapi pelan. Enak banget tapi nyeri...."kata Nu memaksakan tersenyum meski kesakitan. "Serius sayang?" Anggukan manja Nu, membuat Ryan kembali menggerakkan pantatnya perlahan, berusaha membuka jalan di lubang sempit yang sudah terlihat membengkak karena bereaksi dengan kenikmatan yang dirasakan oleh pemiliknya. Dan Ryan merasakan sudah 3/4 panjang milik pribadinya memenuhi area kedalaman lubang milik Nu, sementara itu Nu mendesah tak karuan dengan bola mata yang membalik tak beraturan. "Massss masukkan semuanyaaaaa," Nu mendesah hebat dan berusaha menekan p****t Ryan dengan kedua tangannya. "Sayang tahan ya...." bisik Ryan. Dan......."Aaarghhhhh Mas....sakittttt," teriak Nu saat Ryan menghentak tiba-tiba dan menjebol pertahanan akhir di dalam lubang rahasia milik Nu. Terasa benar di seluruh batang milik Ryan, tekanan berdenyut cepat yang menggigit 'barang'nya datang dari milik Nu yang baru kali ini berhubungan badan. "Mass kenapa berhenti, aku pingin pipis jadi agak berhenti..." Nu sedikit manyun karena merasakan kenikmatannya terputus gara-gara Ryan menghentikan gerakannya setelah dia berteriak. Ryan yang paham bahwa Nu akan segera mencapai puncak kenikmatannya, mulai rakus melahap tonjolan d**a memerah Nu yang telah mengeras dan menghitam kecoklatan. Pantatnya dimaju mundurkan berirama sangat pelan, saat gerakannya dipercepat...mendadak Nu menjambak rambutnya dan berteriak...."Masss aku pipisss....oughhhh arghhhh...." Ryan merasakan lahar panas membasahi batang perkasa dan sebenarnya Ryan merasakan hal yang sama, sambil berbisik dia bertertanya,"Nu....Mas juga mau pipis.....nanti Mas lepas ya, kalau nanti kamu hamil kan bahaya...." "Biarin aja Mas......" Nu mencegah Ryan melepas barang pribadinya karena miliknya telah bereaksi dengan tekanan-tekanan Ryan sedari tadi. Tak lama setelah bisikan Nu tersebut seluruh otot tubuh Ryan mengencang dan gerakan pantatnya makin cepat, membuat Nu merasakan kembali kenikmatan yang tadi dia dapatkan." "Nuuu...Mas keluarrrr." "Sayanggg....bentarrr aku juga mau pipis lagi....terus yank.....oughhhh Massssss!!!!" untuk kedua kalinya Nu memuntahkan cairan kenikmatannya terpaut sepersekian detik dari muntahan lahar panas milik Ryan. Keduanya banjir keringat namun bibir mereka tertap terpaut satu sama lain, bahkan Nu enggan melepaskan jepitan kakinya dari punggung Ryan. Sampai akhirnya keduanya berhenti berciuman dan Nu menyandarkan kepalanya di d**a Ryan. “Mas…” bisik Nu. “Bolehkah aku… menjadi rumah untuk hati Mas?” Ryan tak langsung menjawab. Ia menatap mata Nu dalam-dalam. Ada kejujuran di sana. Ada keyakinan. Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Ryan membiarkan hatinya bicara lebih dulu ketimbang pikirannya. Ia mengangguk. Jemarinya membelai pipi Nu, lalu menyentuh bibirnya dengan lembut. “Nu…” ucap Ryan dengan suara parau. “Aku… mencintaimu.” Nu terdiam. Napasnya tercekat, lalu perlahan matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah membayangkan akan mendengar kata itu malam ini. Kata yang selama ini ia nantikan. Kata yang membuat seluruh semesta di dadanya berbunga-bunga. “Mas…” lirih Nu, hampir tak bersuara. “Terima kasih… Terima kasih…” "Biarkan aku menulis takdirku, dengan tinta luka yang sembuh..." Ryan memejamkan mata. Dalam genggaman tangan Nu dan gesekan tubuh mereka yang masih hangat karena hubungan badan tadi, Ryan tahu, malam ini... jiwanya tak lagi sendiri. Dan malam di apartemen itu, menjadi titik awal dari kisah yang tidak bisa mereka batalkan. Entah itu luka... atau cinta. Pelukan mereka kembali erat. Tak ada kalimat yang bisa menggambarkan rasa syukur dan bahagia yang kini menyelimuti Nu. Ia tak butuh puisi, tak butuh janji—cukup satu kata: mencintaimu. Ryan maupun Nu tak memperdulikan sprei yang basah oleh keringat dan tetesan cairan pribadi yang bercampur dengan darah keperawanan itu mengenai tubuh mereka. Karena cinta yang membara sedang menyelimuti keduanya. Malam itu sebelum dentang jam menggantikan hari, keduanya mengulang percintaan yang dashyat itu sampai 3 kali dan diakhiri dengan terlelapnya Nu di atas tubuh Ryan dengan tangan masih mengenggam erat tangan Ryan. Dan malam itu, di bawah lampu temaram apartemen di Tembalang, keduanya mulai berjalan bersama dalam kisah yang baru. Sebuah kisah cinta yang sederhana. Namun tak akan mudah. Namun mereka sudah memilih: untuk saling menggenggam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN