Malam sebelum acara lamaran berlangsung Detik demi detik, menit yang berubah menjadi jam, sangatlah menyiksa bagi Dewi Kurniasih. Bahkan ketika subuh datang, udara di kawasan Mranggen masih dibalut kabut tipis, udara terasa seperti bara api. Saat itu dari jendela kamarnya, Dewi Kurniasih memandang kosong ke arah langit yang perlahan berubah warna, dari abu-abu pucat menjadi semburat jingga. Matanya sembab. Semalam ia hampir tak tidur, hanya duduk memeluk lutut di pojok ranjang, mencoba mengatur napas setiap kali pikirannya kembali pada keputusan keluarganya yang begitu kejam—setidaknya, begitu yang ia rasa. Hari itu akan menjadi hari yang menentukan, bukan karena ia siap, melainkan karena tak ada lagi ruang untuk mundur. Kakaknya sudah mengabarkan bahwa sore nanti, lelaki itu—teman lama

