Di kamar, Nu tiba-tiba menggeliat. Tubuhnya berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi. Ryan terperanjat. “Nu? Sayang… apa kau mimpi buruk?” tanyanya, menyeka peluh di dahi Nu dengan saputangan. Nu menggenggam lengan Ryan erat-erat. “Mas… aku lihat ibu. Dia berdiri di ujung ranjang, matanya merah… dia berbisik… dia ingin mengambilmu dariku. Mas… aku takut.” Ryan terdiam. Dadanya serasa diremas. Ia tahu, ini bukan sekadar mimpi. Ia bisa merasakan hawa dingin yang tiba-tiba merayap di kamar itu, seperti ada bayangan yang menonton mereka. Ryan menarik Nu ke pelukannya. “Sayang, dengarkan aku. Aku di sini. Aku tidak akan pergi. Kau dengar? Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Nu mengangguk lemah, tapi air matanya jatuh. “Jangan biarkan ibu memisahkan kita, Mas. Aku lebih baik mati daripada k

