BAB 1
Malam mulai menjelang dan gemerlap Ibu Kota mulai menunjukkan eksitensinya. Semakin larut, semakin ramai pula orang-orang yang datang ke dalam sebuah klub atau pun bar hanya untuk melepaskan rasa penat dan lelah mereka selepas bekerja di bawah tekanan. Terkadang mereka melakukannya sebagai sebuah pelarian, tapi bagi sebagian lainnya itu merupakan sebuah kebutuhan.
Sedangkan untuk gue, hal itu merupakan sebuah pelarian dari rasa frustasi yang belum bisa diredakan selama bertahun-tahun akibat kenangan buruk dengan seorang b******k yang gue haramkan untuk sebut namanya. Seseorang yang seperti sedang tersenyum remeh ke arah gue di salah satu billboard banner yang berada di tengah-tengah kota ini, laki-laki itu adalah Laynard Abraham.
Gue mengepalkan tangan sampai buku-buku jari memutih. Melihat wajahnya yang selalu bertebaran di billboard, iklan di televisi dan juga majalah membuat gue merasa muak. Rasa kesal itu kian menumpuk dan membesar setiap harinya.
Suara dering ponsel membuat gue mengalihkan pandangan dari orang yang telah membuat gue terluka bertahun-tahun yang lalu itu.
"Git, di mana?" Suara khas Iim di seberang sana membuat gue menyeritkan alis heran, pasalnya nomor pemanggil yang digunakan adalah milik Rara, sahabat gue yang lain.
"Di jalan."
"Jalan ke kamar mandi?" balasnya sedikit sarkas.
"Lain kali video call sekalian biar lo ngelihat gue di mana," timpal gue ketus.
"Wess, sensi bener, santai dong, gue udah di bar punya Chand, lo ikut ke sini kan?"
Gue bisa mendengar suara cukup ramai di belakang sambungan telepon Iim, setahu gue bar milik Chand sedikit eksklusif dan berkelas, tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya, sehingga biasanya tidak ribut dan penuh keramaian layaknya klub milik Kris, pacar Joana.
"Kok rame banget sih, Im?"
"Chand ngundang angkatan kita buat reunian, sekalian dia ulang tahun kan."
Gue, Chand dan juga Iim memang satu sekolah saat kami SMA, bersama Rara, Joana, dan juga orang b******k yang gue haramkan untuk sebut namanya itu. Bertemu dengannya adalah hal terakhir yang gue inginkan saat ini.
"Dia nggak akan dateng kan Im? Gue nggak akan mau ke sana kalau dia dateng."
"Ini udah tujuh tahun, Git."
"Mau tujuh tahun, sepuluh tahun atau pun dua puluh tahun gue nggak akan bisa ngelupain apa yang udah dia lakuin sama gue!" seru gue dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
"Dia publik figur, jadwalnya padet, nggak mungkin dateng juga. Lagian kita semua udah kehilangan kontak dia bukan?" balas Iim dengan nada yang menenangkan yang membuat gue tersadar kalau tak ada gunanya untuk marah saat ini.
Gue menghela napas, mencoba mengontrol emosi sebelum kembali bertanya, "Rara sama Joana udah ada?"
"Karena hape Rara di gue dan dia pacar yang punya hajat, jelas dia udah dateng."
"Joana?"
"Masih di jalan, cepetan ke sini!"
"Setengah jam lagi gue sampai!"
***
Bar milik Chand adalah salah satu bar terkenal di kota ini dengan desain yang sedikit unik dan mewah, seperti pemiliknya yang memliki kepribadian cukup unik. Harga minuman di sini pun tidak bisa dibilang murah. Kalau gue tidak berteman dengan Rara yang punya keluarga super kaya, gue tak akan berani menginjakkan kaki di tempat ini, gue cukup sadar dengan keadaan yang serba pas-pasan.
Gue melihat Iim yang sudah duduk manis bersama Kaisar, kekasihnya, dan juga Joana yang kini sudah datang bersama Kris, sedangkan Rara dan Chand menghilang entah ke mana.
Iim melambaikan tangannya dan gue menghampiri mereka ke tempat duduk VIP yang berada cukup jauh dengan meja yang lainnya, yang sepertinya sudah Chand sediakan khusus untuk kami. "Sendirian aja? Mana Changmin?" tanya Joana sebagai ganti sapaan yang membuat gue mengulum senyum sedikit miris.
"Hari ini dia tugas."
Changmin adalah pacar gue yang berprofesi sebagai seorang polisi, terkadang dia bergabung bersama kami ke tempat ini kalau sedang bebas tugas.
"Lo berdua bisa tahan ya, padahal kan dari rumah sakit lo liburnya tergantung shift, dan dia juga sama," komentar Kris. Ya, karena profesi masing-masing intensitas kami bertemu memang tidak sebanyak pasangan pada umumnya, namun kualitas hubungan kami cukup baik hingga sekarang.
"Tapi sekalinya libur bareng ngabisin waktunya di kamar ya?" tanya Joana sambil menaik turunkan alisnya yang membuat gue hanya mengulum senyum tanpa membalasnya, mengerti ke arah mana tujuan pertanyaan itu.
Malam ini Chand membebaskan kami berlima untuk memesan minuman tanpa tagihan, selain karena hari ini merupakan perayaan ulang tahunnya, itu juga karena hari ini adalah perayaan hari jadinya dengan Rara, sahabat kami.
Kami masih terlarut dalam obrolan masing-masing sampai suara bar yang tadinya riuh tiba-tiba berubah menjadi hening, hal itu membuat perhatian gue dan teman-teman beralih ke pusat perhatian orang-orang saat ini. Di depan pintu bar, kini berdiri sosok yang sangat tidak ingin gue temui dan begitu dihindari, Laynard Abraham. Meskipun ia menggunakan sebuah masker, gue masih dapat mengingat sorot matanya dengan jelas.
Gelas yang berada di tangan gue terjatuh hingga menimbulkan kegaduhan, membuat gue menjadi pusat perhatian baru semua orang, termasuk orang yang tadi sempat mencuri perhatian orang-orang yang berada di sini.
Seorang pelayan segera mendekat dan memberishkan gelas yang telah hancur menjadi kepingan kecil. Dengan sedikit gelagapan gue membantu pelayan itu untuk membersihkan pecahan gelas, tapi hal itu malah membuat kaki gue terluka.
"Git, lo gapapa?" tanya Kris dan Joana yang kompak menghampiri dan membantu gue untuk kembali berdiri.
Gue nggak baik-baik aja...
Gue menggeleng pelan. “Nggak apa,” jawab gue dengan tercekat. Sial, hanya dengan melihat sosoknya saja gue bisa kehilangan fokus seperti ini.
Suara langkah kaki yang mendekat membuat degup jantung gue terasa semakin cepat, perasaan menyesakkan itu kembali datang, dan mata gue mulai berkaca-kaca karena kekesalan yang memuncah.
Orang yang gue benci kini berlutut di depan gue dan membersihkan kaki gue yang terluka dengan sapu tangannya sebelum mengambil sebuah plester dari dalam dompetnya dan memakaikannya. Gue bahkan tak bisa berkutik karena pertemuan yang sama sekali tidak terduga dan tidak gue harapkan sebelumnya.
"Apa kabar?" tanyanya seolah kami hanya teman lama yang baru saja berjumpa.
Tujuh tahun yang lalu adalah titik balik dalam hidup gue, karena untuk pertamakalinya gue merasa begitu dibuang dan juga dikhianati oleh seseorang, dan orang itu adalah orang yang sedang berdiri di depan gue dengan raut wajah tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Gue sudah berjanji dengan diri gue sendiri untuk menamparnya saat kami bertemu. Namun kini di saat sosoknya terlihat begitu nyata, tubuh gue kaku, bahkan lidah gue terasa kelu untuk sekadar membalas sapaannya. d**a gue bergemuruh, gue tidak bisa mendeskripsikan perasaan yang berkecamuk di benak.
"Kita baik kok Lay," jawab Iim dengan sedikit canggung, mewakili jawaban yang seharusnya gue utarakan.
Sosoknya benar-benar tidak berubah, hanya gurat kedewasaan dan aura mengintimidasinya yang kini terasa begitu kuat.
Perlahan, gue pun melangkahkan kaki untuk mundur dan mengambil tas, bermaksud untuk pergi, di saat yang bersamaan pula Lay melangkahkan tubuhnya semakin mendekat, lalu ia menahan tangan gue yang ingin meraih tas yang tergeletak di kursi.
"Bisa kita ngobrol sebentar?" tanyanya sambil menoleh ke arah Iim dan Joana yang kini melihat gue dengan pandangan khawatir.
Bertanya pada orang lain? Tch. Pengecut.
Dia pasti tahu dengan pasti jawaban apa yang diberi jika bertanya ke gue, jelas gue akan menjawab dengan kata tidak.
Tanpa menunggu jawaban dari bibir Iim maupun Joana, ia mendudukan dirinya di kursi tempat kami mengobrol tadi, dan menarik tangan gue untuk duduk di sampingnya. Gue ingin marah dan memaki, tapi rasa yang menyesakkan d**a ini terlalu mendominasi.
Joana, Kris, Iim dan Kaisar kembali menempati tempat mereka dan menatap kami berdua dengan pandangan penuh antisipasi. "Gimana kabar lo Lay?" tanya Joana mencoba untuk berbasa-basi.
"Seperti yang lo lihat," jawab Lay santai namun lugas.
"Gimana rasanya jadi orang terkenal, dokter?" lanjut Joana sedikit sarkas di akhir kalimat.
Gelar yang ada di namanya saat ini merupakan akar permasalahan yang terjadi tujuh tahun yang lalu. Permasalahan yang membuat gue membencinya dan mengharamkan orang-orang sekitar untuk menyebutkan namanya saat berada di sekitar gue.
Gue dan Lay sangat dekat, lebih dekat dari hubungan seorang teman biasa, karena tentunya tidak ada teman yang meniduri temannya bukan? tetapi kami juga tidak menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Dia selalu ada untuk gue, dan gue sangat bergantung padanya.
Lay selalu memotivasi gue untuk meraih cita-cita sebagai dokter dengan selalu menemani gue belajar di perpustakaan sekolah, dengan keadaan ekonomi keluarga yang tidak terlalu bagus, satu-satunya cara gue untuk meraih impiam adalah dengan mengikuti program beasiswa yang ditawarkan oleh pihak sekolah. Lay selalu bersikap seperti biasa saat di samping gue tanpa menunjukan keanehan apa pun, sampai suatu hari gue menemukan namanya di papan pengumuman sekolah sebagai penerima beasiswa studi kedokteran yang gue idam-idamkan.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai keikutsertaannya di program beasiswa itu, setelah hasil itu diumumkan, Lay menghilang tanpa jejak, tanpa kabar dan penjelasan sedikit pun. Meninggalkan gue dengan hati penuh kekecewaan.
Hanya satu orang yang terpilih untuk mendapatkan beasiswa, dan orang itu adalah orang yang selama ini selalu memotivasi gue untuk meraihnya. Rasanya sangat tidak adil bukan?
Tiga tahun kemudian setelah menyelesaikan studi di salah satu sekolah keperawatan yang untungnya menerima gue dengan program beasiswa penuh, gue mulai melihat wajahnya menghiasi majalah yang dijual di minimarket dan tepi jalan, lama-kelamaan wajahnya mulai menghiasi iklan di layar televisi dan juga video klip musik yang sedang hits.
Gue tidak tahu apa dia menyelesaikan pendidikan yang gue impi-impikan atau tidak, yang jelas gue merasa begitu kecewa. Dia sudah mengambil segala yang gue punya dan impian yang gue inginkan, tetapi terkesan menyia-nyiakan hal itu dengan beralih profesi di tengah jalan. Mengingat hal itu membuat gue merasa frustasi.
Gue tidak memungkiri kalau pernah mencintai dia dengan rasa cinta yang begitu besar hingga gue menyerahkan tubuh gue saat itu, tetapi kini rasa benci yang gue rasa mungkin sama besarnya dengan rasa cinta itu. Dilukai dan dikhianati oleh orang yang paling kau percayai rasanya begitu menyakitkan bukan?
Obrolan penuh kecanggungan antara Iim, Joana, Kaisar dan Kris pun terus berlanjut, sementara gue hanya membasahi kerongkongan gue dengan minuman yang ada. Entah sudah beberapa gelas yang gue teguk saat ini, rasa kekesalan gue yang memuncah membuat gue tidak bisa berpikir jernih.
"Git, jangan minum terlalu banyak," cegah Iim sambil menarik gelas yang ada di tangan gue.
Gue tidak mempedulikan hal tersebut, lalu mengambil gelas yang berada di depan Joana dan meminumnya dalam sekali teguk.
Gue tidak memperhatikan Kaisar, Kris dan Lay yang sedang membicarakan tentang bisnis properti milik Kaisar yang baru saja ia rintis. Dari penguasaan materi yang Lay punya, sepertinya dia juga terjun dalam bidang yang sama. Sepertinya ia telah memiliki segalanya saat ini. Hal itu membuat gue tersenyum miris dalam hati. Mungkinkah ini yang namanya habis manis sepah dibuang?
Dulu Lay hanya tinggal bersama ibunya dengan keadaan ekonomi yang tidak jauh berbeda dari keluarga gue, bahkan cenderung lebih sulit. Di saat dia mulai sukses dengan karir sebagai publik figur dan juga bisnisnya, kini ia menunjukkan wajah tidak bersalahnya di hadapan gue akan perbuatannya di masa lalu. Hal itu membuat gue benar-benar muak.
Perlahan kesadaran gue semakin menipis, tapi gue masih bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan mereka. Gue mendengar jika Joana harus pergi ke bandara untuk menjemput kakaknya yang memang menetap di China, dan kemudian ia pamit untuk pergi.
Setidaknya selama masih ada Iim, gue akan tetap aman.
"Git? Hey?" tegur Iim sambil menepuk pipi gue yang masih berusaha untuk minum.
"Jeno bakal ngomong apa kalau ngeliat lo pulang begini?" Iim kebingungan, sementara gue hanya mengibaskan tangan di depan wajah, mengabaikan ocehan Iim yang semakin terdengar samar. Setelahnya gue kehilangan kesadaran dan tidak mendengar apa pun lagi.
***
"Yang, gimana dong?" tanya Iim kepada Kaisar dengan bingung.
"Rara Chand kemana sih? Suruh dia nginep di apartemen Rara aja, nggak mungkin dia nginep di rumah kamu, apa kata Mama kamu nanti? apalagi kalau nginep di tempat aku," ucap Kaisar sama bingungnya.
"Kalau Jeno atau Changmin sampai tahu kakak dan pacarnya teler begini, kita juga yang kena," imbuh Iim bimbang. Keduanya mengabaikan Lay yang sedang mengobservasi keadaan.
"Yang, aku harus ngejar penerbangan pagi besok!" Kaisar frustasi.
"Aku nggak mungkin ninggalin dia sendiri!" timpal Iim sambil melihat ke arah Lay dengan sedikit sinis. Mengingat masa lalu sahabatnya, tentu saja ia harus berhati-hati dengan orang ini.
"Aku juga nggak mungkin ninggalin kamu untuk pulang sendirian, apalagi udah malam gini, bisa-bisa kakak kamu ngulitin aku!" Kaisar mengusap wajah dengan kasar. "Dia nggak biasanya sampai teler gini, lagian tumben-tumbennya minum alkohol kayak minum sirup begitu," kata Kaisar heran.
Iim bergerak gelisah, melihat jarum jam di tangannya yang terasa bergerak lebih cepat dari yang seharusnya."Lo mau sampai kapan di sini?" tanya Iim dengan ketus ke Lay.
"Sampai manajer gue jemput," jawab Lay santai.
"Kenapa nggak sekarang aja?" gerutu Iim. Ia muak melihat wajah orang yang sudah melukai sahabatnya itu.
"Fans gue banyak yang lagi nyari gue di luar, makanya gue masuk ke dalem sini," jelas Lay dengan santai yang membuat Iim bertambah kesal.
"Semuanya gara-gara lo!" maki Iim sambil menunjuk Lay yang hanya menatap Iim dengan pandangan menilai.
"Yang, kenapa sih? Udah yuk pulang, hape Rara juga masih di sini, pasti dia nanti ke sini," ucap Kaisar sambil menarik Iim untuk menjauh. Ia sama sekali tidak mengerti dengan situasi yang dihadapi saat ini.
Iim menghela napas dan melihat sekitaran, suasana bar masih cukup ramai. Lay tidak mungkin melakukan hal yang aneh pada sahabatnya saat ini, hingga ia memutuskan untuk pergi. "Pokoknya telepon Chand, dia harus ke sini," tegas Iim yang dijawab anggukan Kaisar.
"Ayo Yang, pesawatku yang paling pagi soalnya."
***
Sementara itu di tempat lain…
"Chand kalau temen-temen aku nungguin di sana gimana?!"
"Ya udah mereka kan nggak sendirian, Rara Sayang."
"Tapi hape aku?"
"Jangan kayak orang susah, beli lagi juga bisa kan? Ayo lanjut lagi ..."