ara terbangun dari tidur nyenyaknya karena suara ponsel milik Chand yang memekakan telinga. Ia mencoba menyingkirkan lengan Chand yang masih melingkupi tubuhnya. "Yang, angkat teleponnya tuh," tegur Rara yang dijawab gumaman tidak jelas oleh Chand yang memilih untuk kembali tidur. Chand masih terlalu lelah hanya untuk membuka mata.
Rara berdecak pelan sebelum memutuskan mengangkat panggilan di ponsel milik kekasihnya itu karena begitu familiar dengan nama yang berada di layar telepon.
Incoming call from Imelda Dewinta...
"Halo, kenapa pagi-pagi nelepon Im?" tanya Rara dengan suara yang serak khas orang bangun tidur.
"Di mana lo sekarang?" tanya Iim di seberang telepon dengan nada khawatir.
"Tempat Chand, kenapa emang?"
"Lo nggak balik ke bar?! Bukannya hape lo masih di sana?! Terus Inggitsya gimana?!"
"Enggak, lo kenal gue sama Chand kan? kalau udah khilaf ya mana bisa berhenti. Lagian hape gue juga masih banyak, abang gue punya saham di pabriknya malah. Apa hubungannya sama Inggitsya sih?" tanya Rara sambil menguap. Chand tidak banyak memberikannya waktu istirahat semalam.
"Gue sama Joana balik duluan ninggalin dia yang teler di bar lo! Gue pikir lo bakal balik lagi ke sana!" ucap Iim dengan sedikit histeris.
"Santai aja, paling Taufik ngamanin dia di ruangan Chand," timpal Rara santai.
"Lo musti tau kalau Laynard semalem dateng ke sana! Dan gue ninggalin Inggitsya sama dia!"
Seketika mata Rara membola mendengar penuturan dari Iim. Jika seperti itu, tentu saja banyak kemungkinan yang terjadi. "Kok pada g****k sih ninggalin dia gitu aja sama Lay?!"
"Kita nggak tau kalau lo nggak balik lagi, Nyet!" tegur Iim yang membuat Rara membisu.
"Terus gimana sekarang?!"
"Telepon adeknya lah! Tanya kakaknya ada apa enggak! Kalau nggak, tanya Changmin!" usul Rara.
"Yang, pagi-pagi jangan teriak-teriak," tegur Chand saat mendengar suara kekasihnya sudah melengking di pagi hari seperti ini.
"Diem kamu! Ini genting!" semprot Rara yang membuat Chand terbangun sepenuhnya.
"Jeno nggak tau kelakuan kakaknya yang suka keluar masuk bar, dan ngeliat sifat protektifnya Changmin, kalau kita salah ambil langkah bisa-bisa kena double marah dari mereka berdua! Lo nggak inget temen lo yang satu itu kalau marah udah kayak setan?!"
"Sialan! Tuh manusia kenapa nongol sih!" sungut Rara dengan kesal.
"Kenapa sih Yang?" tanya Chand penasaran.
"Inggitsya teler semalem dan ditinggalin sama Jojo dan iim di bar, dan di sana ada Lay," jawab Rara yang mebuat mata Chand yang sudah besar itu semakin membola.
"Kita cek cctvnya sekarang," usul Chand yang diangguki oleh Rara.
"Im, kumpul di bar ya, kita liat cctvnya," kata Rara sambil beranjak pergi.
"Yang! Pakai baju dulu!" tegur Chand yang membuat Iim menghela napas di seberang sambungan telepon.
***
Satu jam kemudian Rara, Chand, Iim, Joana dan Kris berkumpul di bar milik Chand. Chand sudah menanyakan kepada Taufik, seorang bartender tetap di sana. Namun Taufik bilang ia tidak melihat sosok Inggitsya semalam. Chand pun segera meminta petugas keamanan bar miliknya untuk memutar rekaman cctv. "Di mana dia telernya?" tanya Chand.
"Meja VIP nomor lima, kayak biasa," sahut Joana.
"Gue balik jam setengah dua belas, mungkin setelah itu," jelas Iim.
Sang penjaga keamanan pun memutar video di waktu yang Iim maksudkan, dan di saat video itu dipercepat, mereka melihat satu pria datang, lalu Lay membopong tubuh Inggitsya keluar dari dalam bar.
"Stop, Pak!" titah Joana saat melihat rekaman satu pria lainnya datang, "cowok itu siapa?" tanyanya kemudian.
"Gue rasa itu manajernya Lay," Iim berkonklusi.
"Banyu..." gumam Chand dengan jelas sehingga yang lain dapat mendengarnya.
"Banyu?" tanya Rara heran, dari nada suara yang Chand gunakan sepertinya ia mengenal pria itu.
"Dia temen kuliah gue, sama Luge juga," jelas Chand.
"Luge sepupu kamu yang sekarang tinggal di LA?" tanya Rara memastikan yang dijawab anggukan oleh Chand.
"Kita harus cari dia sebelum Jeno sama Changmin tau," kata Iim yang diangguki oleh yang lainnya.
***
Cahaya matahari yang menelisik dari balik gorden membuat gue membuka sebelah mata dan menyipitkan pandangan untuk melihat sekitar, dilihat dari interiornya, gue tahu kalau ini bukanlah di kamar gue atau pun sahabat-sahabat gue. Rasa sakit kepala dan mual yang amat sangat menyiksa membuat gue kembali memejamkan mata, mengabaikan rasa penasaran akan di mana keberadaan gue saat ini.
Suara pintu yang terbuka dan langkah kaki yang mendekat membuat gue kembali membuka mata meski dengan rasa sakit yang masih menyerang.
Laynard ada di depan gue dengan air jeruk hangat di tangannya, hanya menggunakan celana tidur tanpa atasan yang memamerkan otot tubuhnya. Dulu mungkin gue akan tersipu malu saat kami dalam keadaan seperti ini, tapi tidak dengan sekarang.
"Lo hangover, ini diminum dulu biar enakan," ucap Lay dengan santai sambil menaruh air jeruk hangat itu di meja nakas. Gue hanya berdecih pelan dan mengalihkan pandangan ke objek lain selain dia yang masih berdiri memperhatikan.
Lama kelamaan rasa dingin yang menerpa membuat gue mengecek keadaan diri di balik selimut yang kini tidak memakai sehelai benang pun.
"Lo apain gue cowok b******k?!"
Meskipun gue pusing, entah mengapa u*****n dari dasar hati gue yang paling dalam itu bisa dikeluarkan dengan begitu lancar dan lugas.
"Lo lupa?" tanya Lay dengan santainya yang membuat gue berpikir lebih jauh. Gue tidak mengingat apa pun selain mabuk di bar kemarin. Kekesalan gue terlalu memuncah kepada laki-laki yang ada di hadapan gue ini, hal itu membuat gue kehilangan kendali.
Melihat beberapa bercak merah keunguan di tubuh membuat gue bisa menebak apa yang terjadi semalam, dan gue kembali merutuk di dalam hati. Kenapa gue harus jatuh di lubang yang sama?
"Lo bener-bener b******n ya! ngambil kesempatan di saat gue mabuk!" bentak gue dengan suara yang cukup tinggi, mengabaikan rasa nyeri di kepala yang semakin menjadi.
Lay semakin berjalan mendekat ke arah ranjang yang membuat gue memberingsut mundur dengan mempertahankan satu-satunya pelindung, yaitu selimut. Gerakannya yang begitu cepat membuat pergerakan gue sama sekali terlihat tidak berarti.
Dia beranjak ke arah kasur dan membuat gue kini berada di bawahnya, dengan posisi dia yang setengah duduk di atas tubuh gue.
"Lo nggak lihat apa yang ada di badan gue?" tanya Lay dengan senyum separuh miliknya. Entah sejak kapan ia bisa menggunakan ekspresi semenggoda ini. Dia bukanlah Laynard Abraham yang gue kenal dulu!
Gue mengalihkan pandangan dari bercak keunguan yang berada di sekitar pundak dan juga lehernya yang sebelumnya tidak gue sadari keberadaannya, logika gue mengatakan tanda itu tidak bisa dibuat oleh dirinya sendiri, tetapi hati gue menjerit mencoba menampik semua yang logika gue katakan.
Rasa mual yang semakin menjadi membuat gue memuntahkan isi perut ke tubuh Lay yang masih berada di depan gue. Selimut yang berwarna putih itu pun kini telah berubah warna.
Lay hanya memejamkan matanya sebelum membuka selimut yang menyelimuti tubuh gue dan menggendong gue ke kamar mandi miliknya. Memberontak pun percuma, tubuh gue masih terasa begitu lemas, tetapi rasa sakit kepala gue sudah lebih baik.
"Sejak kapan lo berubah jadi pemabuk?" tanya Lay sambil menurunkan tubuh gue di bathtube, setelahnya ia menyalakan keran dan mengatur suhunya sehingga air hangat kini perlahan mengguyur tubuh gue yang membuat gue merasa sedikit lebih rileks. Gue memilih untuk bungkam dan mengabaikan pertanyaannya.
"Jawab gue," ucap Lay sambil menangkup wajah gue dan memaksa gue untuk menatap ke arahnya.
"Itu bukan urusan lo," balas gue dingin.
Lay menghela napas frustasi sebelum membalikan tubuhnya. Gue bisa melihat luka cakar di punggungnya yang terlihat masih baru. Tanpa bertanya pun gue jelas tahu siapa pelakunya. Setelahnya, ia melepaskan celana yang digunakannya begitu saja, hal itu membuat gue memalingkan wajah.
"Gue udah mandi tadi, lo bikin kerjaan aja," ucapnya sambil menyalakan shower tanpa menutup pintu buram yang menjadi pembatas antara bathtube dan juga kamar mandi.
"Bisa tutup pintunya?" tanya gue sedikit ketus.
"Lo udah liat semuanya dari dulu bukan? buat apa gue tutup pintu," jawabnya enteng.
Gue mencoba mengalihkam pandangan gue kemana pun, asal bukan ke arahnya. Tapi mata dan hati mengkhianati logika gue, gue pun memandang bagian belakang tubuh polosnya sambil menelan ludah gugup. Terakhir kali gue melihat dia dalam keadaan seperti ini, otot tubuhnya belum seperti itu. Sekarang ia menjadi jauh lebih seksi dan juga menggoda.
Gue menggelengkan kepala untuk menjernihkan kembali otak gue yang mulai tercemar. Sejak dulu Lay selalu bisa membuat dunia gue jungkir balik hanya dalam waktu singkat.
Gue memilih untuk menenggelamkan diri ke dalam bathtube setelah mengambil napas cukup panjang. Gue yakin hidup gue tidak akan mudah lagi setelah ini. Bagaimana dengan Changmin? Bagaimana dengan Jeno?
Semakin lama gue merasa jika paru-paru terasa semakin sakit dan menyesakkan. Gue tersenyum miris dalam hati. Inikah jalan tercepat untuk mengatasi masalah?
Sebuah sentakan kasar membuat tubuh gue keluar dari dalam air. Gue pun terbatuk hebat dan mengambil udara sebanyak-banyaknya.
Lay ada di depan gue dengan wajah paniknya, ia membersihkan wajah gue dengan handuk kecil yang berada di kamar mandi dan membantu gue untuk bersandar di bathtube. "Lo apa-apaan sih?!" bentak Lay dengan murka.
Gue hanya menatapnya sambil tersenyum miris. "Lo udah ngancurin hidup gue, kenapa nggak sekalian biarin gue mati aja?"
Setelah mendengar perkataan menusuk yang gue lontarkan, Lay hanya pergi keluar dari dalam kamar mandi, meninggalkan gue sendirian dengan perasaan marah dan juga terluka.
Gue masih terus terisak di dalam kamar mandi sampai mendengar suara pintu terbuka, dan Lay menaruh satu setel pakaian yang bisa gue gunakan dekat wastafel. Lalu dia kembali pergi keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Setelah menenangkan diri dan berpikir realistis jika menangisi keadaan yang ada hanya akan membuat gue terlihat lemah di depan laki-laki b******k bernama Laynard Abraham, gue memutuskan untuk keluar dari dalam bathtube dan memakai pakaian yang sudah dia sediakan.
Lay hanya duduk di tepian ranjang, sementara di meja nakas ada air dan juga aspirin yang sebelumnya tidak gue lihat, sepertinya Lay menyiapkannya selama gue berada di kamar mandi. Selimut yang terkena muntahan gue pun sudah tidak ada. Karena kepala gue masih terasa sakit, gue pun memilih untuk meminum pil tersebut.
Setelahnya gue membereskan pakaian gue yang tercecer di lantai dan juga mengambil tas sebelum beranjak ke arah pintu bermaksud untuk pergi. Tetapi Lay menjegal langkah gue dengan cengkraman tangannya yang begitu kuat di lengan.
"Mau ke mana?" tanyanya dengan dingin.
Mau ke mana? Rasanya gue ingin tertawa mendengar pertanyaannya.
"Yang jelas keluar dari sini," desis gue tajam.
Lay menarik tangan gue dengan sedikit kasar sehingga tubuh gue terhuyung dan terduduk di pinggiran ranjang.
Gue berdecak pelan sebelum menatapnya dengan tatapan menantang. "Apa mau lo sialan?!" teriak gue penuh amarah.
"Gue belum selesai, kita harus ngomong," kata Lay sambil memegang kedua bahu yang membuat gue mendengus.
"Nggak ada yang harus diomongin, gue harus pulang sekarang," ucap gue dingin sambil melepaskan pegangan tangannya pada bahu.
Gue memilih untuk pergi ke arah pintu keluar, dan Lay selangkah lebih cepat untuk menutup satu-satunya akses keluar dari dalam ruangan. "Urusan kita belum selesai," desisnya tajam. Matanya menatap gue dengan pandangan kesal.
"Tinggal lempar uang lo ke gue, dan urusan kita selesai!" ucap gue tidak kalah tajam.
"Lo bukan p*****r!" bentak Lay dengan murka.
"Tetapi lo memperlakukan gue seperti itu!" balas gue dengan berteriak.
Entah mengapa gue merasa lemah ketika berhadapan dengannya. Dinding pertahanan yang gue bangun selama bertahun-tahun seolah lenyap tak berbekas dalam satu malam. Gue tidak bisa menampik kalau jauh di dalam lubuk hati, gue masih mendambakannya.
Air mata gue turun tanpa bisa dicegah, dengan terisak gue pun memohon kepada Lay. "Tolong lepasin gue, kita udah berakhir tanpa memulai apa pun..."
Tubuh Lay yang pada awalnya tegap menghalau gue kini perlahan sedikit melonggarkan pertahanannya. Hal itu membuat gue menggunakan kesempatan itu untuk keluar dari dalam ruangan.
Cukup. Gue tidak mau tersakiti lagi.