Gue sampai rumah kontrakan saat matahari sudah meninggi. Jam di ruang tengah menunjukkan pukul setengah sebelas siang, dan adik gue keluar dari kamar dengan wajah juteknya. "Kak kemana aja semalem? Mas Changmin juga nyariin Kakak," interogasi Jeno ke gue yang gue jawab dengan senyuman selembut mungkin.
"Kakak nginep di tempat temen karena kemaleman," bohong gue. Gue tidak ingin Jeno mengetahui bahwa kakaknya sering minum minuman beralkohol, apalagi sampai mabuk.
"Kenapa nggak ngabarin?" tanya Jeno dengan nada kesal yang cukup kentara. Kalau Rara punya dua satpam yaitu Abang Suho dan Papihnya, gue punya Jeno dan juga Changmin yang selalu bertingkah posesif.
"Kakak lupa nge-charge, udah nanya-nanyanya?" jawab gue ogah-ogahan.
"Kak, berhenti keluar malem, kenapa Kakak nggak nikah aja sih sama Mas Changmin?" tanya Jeno yang membuat gue mengulum senyum getir.
"Tau apa kamu soal pernikahan?" timpal gue dengan dengusan geli seraya mengusak rambut adik gue yang kini bahkan sudah jauh lebih tinggi.
"Jeno nggak usah pusing sama urusan Kakak, Jeno cuma perlu belajar dan bikin Kakak bangga, oke?" ucap gue menasihati sambil beranjak pergi meninggalkan Jeno yang masih terpaku di ruang tengah.
"Jeno akan buat semua uang yang Kakak hasilkan dari kerja keras Kakak nggak sia-sia, tapi tolong perhatiin kondisi Kakak juga."
Kata-kata Jeno menghentikan langkah kaki gue lebih jauh. Adik kecil gue kini telah tumbuh besar menjadi seorang laki-laki yang bisa melindungi kakaknya.
"Jen? Gimana Kakak kamu sudah pulang?" tanya sebuah suara yang membuat gue mengalihkan atensi ke arah pintu. Di sana pacar gue kini tengah berdiri dengan seragam khas profesinya. Melihat dari seragam yang dikenakannya, gue yakin pacar gue bahkan belum sempat pulang ke rumahnya dan langsung menuju ke sini.
Tanpa banyak basa-basi Changmin menghampiri dan memeluk gue. "Lain kali jangan ngilang tanpa kabar, kamu gatau apa aku sama Jeno kepusingan nyari kamu semaleman?"
Changmin sudah berkorban banyak untuk gue dan juga Jeno yang membuat gue terkadang merasa berhutang budi kepadanya meski dia adalah pacar gue sendiri.
Changmin orang yang bisa memberi gue kenyamanan dan kehangatan, tapi kenapa hati gue masih terpaut dengan b******n b******k bernama Laynard?
***
Saat ini gue dan Changmin sedang menikmati quality time yang jarang kami dapatkan akibat kesibukan pekerjaan masing-masing di sebuah restoran yang berada di rooftop salah satu hotel ternama.
Changmin selalu tahu bagaimana cara memperlakukan seorang wanita, ia sosok yang baik dan juga sempurna untuk dijadikan pendamping hidup. Hanya saja...
"Kamu dateng ya ke pesta pertunangan Joy?" pinta Changmin yang membuat gue menghentikan suapan.
Satu-satunya penghalang bagi gue dan Changmin untuk melangkah ke jenjang yang lebih lanjut adalah keluarganya.
Pihak keluarga, terutama ibunya menentang keras hubungan kami karena kehidupan gue yang bisa dibilang tidak jelas ini. Hanya Joy, adik perempuan Changmin satu-satunya yang masih menerima gue di keluarganya.
"Joy minta kamu untuk dateng," ujar Changmin mencoba membujuk.
"Akan banyak keluarga kamu yang akan dateng nanti, aku nggak mau ngambil resiko untuk merusak acara yang penting untuk adik kamu," jelas gue ke Changmin, mencoba menolak dengan halus.
"Nggak akan ada yang rusak Git, percaya sama aku," ucap Changmin sambil menggenggam tangan gue, mencoba meyakinkan.
Gue pernah ditolak di acara makan malam, saat arisan keluarga besar Changmin pun gue mendapatkan perlakuan yang sama. Gue tidak mau semua itu terulang, jadi gue memilih menjaga jarak.
"Kamu jauh lebih mengenal keluarga kamu dibandingkan aku," ucap gue untuk mengakhiri perdebatan tiada akhir ini. Jika menyangkut keluarga Changmin terutama ibunya, kami tidak pernah menemukan jalan keluar, yang ada hubungan kami akan mengkeruh setelahnya.
Changmin menghela napas dan menatap gue dengan penuh keseriusan. "Ayo kita lakuin cara terakhir, let's stop using condom."
Changmin sudah pernah bilang akan hal ini berkali-kali. Menurut dia dengan kehamilan gue keluarganya mau tidak mau akan memberi restu. Tapi menurut gue semua itu salah. Kalau bukannya mendapatkan restu melainkan ultimatum untuk menggugurkan kandungan bagaimana?
"Aku nggak mau dicap perempuan murahan sama keluarga kamu Changmin," ucap gue dengan nada yang tidak ingin diganggu gugat.
"Tapi Git, ayolah... Aku pengen jadi tempat bergantung untuk kamu, Jeno sebentar lagi kuliah, pasti butuh biaya yang lebih besar lagi. Kamu udah kerja banting tulang di rumah sakit dan toko bunga punya Maminya Rara. Aku nggak mau ngeliat kamu kerja terlalu keras, Git."
Changmin memang sosok pengertian dan perhatian, gue merasa beruntung memiliki dia di sisi. Dia banyak membantu gue dan bahkan memberi perhatian lebih kepada Jeno dan memperlakukannya selayaknya adiknya sendiri.
"Aku sangat menghargai semua perhatian kamu untuk aku Changmin, tapi aku nggak mau terlihat memanfaatkan kamu di depan keluarga kamu."
"Persetan dengan omongan orang lain, Git!" ucap Changmin dengan sedikit kesal.
"Setidak peduli apapun kita terhadap omongan orang lain, tetapi itulah sosok kita yang terlihat di mata orang banyak, Changmin."
"Inggitsya..."
"Changmin please stop, kita nggak punya banyak waktu berduaan kayak gini, dan aku nggak mau quality time kita cuma diisi dengan perdebatan."
***
Semenjak gue bertemu dengan Lay, semua terasa aneh. Dua hari ini dunia gue seolah selalu berporos padanya. Entah gue melihat billboard iklan miliknya di tengah kota, video klip di mana dia yang berperan sebagai modelnya terputar di dalam restoran tempat gue makan, bertemu para fansnya di jalan yang sedang histeris mengobrol segala tentangnya, bahkan di saat Changmin mencumbu gue saat ini pun gue masih kepikiran manusia b******k itu!
Sayup-sayup gue masih mengingat kilasan-kilasan apa saja yang kami lakukan malam itu, dan hal itu bukanlah hal yang baik untuk diingat.
"Changmin, please..." mohon gue dengan parau kepada Changmin.
Dalam menyentuh gue Changmin selalu sebisa mungkin membuat gue nyaman dengan tempo permainannya, dan ia juga mempertimbangkan segala permintaan gue meski ia tetap memegang kendali sebagai pihak dominan. Berbeda dengan Lay yang selalu bisa mengeksplor sisi lain dari dalam diri gue dalam setiap sentuhannya.
Gue bahkan tidak pernah memberikan 'tanda' pada tubuh atletis milik Changmin. Tapi dengan Lay...
But, they're both good in their own way.
Suara panggilan telepon di ponsel Changmin membuat kegiatan panas kami terhenti.
"s**t!" umpat Changmin dengan kesal.
Ia melihat panggilan tersebut tanpa melepas penyatuan kami.
"Siapa?"
"Mama," jawab Changmin sambil berdecak malas. Ia kemudian melepaskan baterai ponsel miliknya dengan paksa sehingga suara panggilan yang cukup memekakkan telinga itu terhenti.
"Kalau itu penting gimana?" tanya gue ke Changmin yang sama sekali tidak dia gubris, ia kembali melanjutkan kegiatannya untuk menyentuh tubuh gue.
"kita nggak punya banyak waktu berduaan kayak gini, dan aku nggak mau quality time kita terganggu," ucap Changmin yang langsung membungkam bibir gue dengan ciuman panasnya.
"Relax, and keep scream my name tonight."