BAB 4

1725 Kata
Hari ini gue menghabiskan waktu bersama dengan adik gue seharian di rumah, momen seperti ini hanya bisa dihitung dengan jari bagi kami, dalam sebulan mungkin kami bisa menikmati makan malam bersama berdua hanya dua sampai tiga kali karena kesibukan gue bekerja di rumah sakit dan toko bunga, ditambah Jeno yang sibuk dengan kelas tambahan dan lesnya. Ngomong-ngomong soal les, seharusnya bulan ini gue harus membayar sisa tunggakan les milik Jeno yang masih separuhnya. Sepertinya gue harus mengecek tabungan pribadi besok, kalau tidak cukup gue akan meminjam uang dari rekening yang Changmin berikan. Ya, Changmin selalu menyisihkan pendapatan bulanannya dan mengirimkannya ke rekening yang ia buat khusus untuk gue. Sampai saat ini gue masih menyimpan tabungan Changmin dan belum menggunakannya sepeser pun, karena gue takut tidak bisa mengembalikannya, terutama jika keluarganya tahu. Meskipun Changmin sudah bilang jika keluarganya sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini, tidak ada salahnya mengantisipasi segala kemungkinan terburuk bukan? "Kak?" tegur Jeno yang membuat gue meraih kesadaran kembali. "Kenapa Dek?" "Lusa Jeno bagi rapot, Kakak bisa dateng nggak? Ini kan pembagian rapot terakhir Jeno di sekolah," kata Jeno yang membuat kunyahan gue terhenti. Kehidupan kami berubah drastis saat kedua orangtua kami pergi meninggalkan gue dan Jeno dalam sebuah kecelakaan. Saat itu gue sedang berada di tahun terakhir di SMA, kejadian itu terjadi tepat saat seminggu setelah pengumuman beasiswa.  Meski pun dulu keluarga gue bukan termasuk dalam golongan kaya raya bahkan tergolong tidak mampu, tetapi gue dan Jeno tidak pernah kekurangan kasih sayang. Dulu Ayah dan Ibu pasti menyempatkan diri untuk mengantar Jeno mengambil nilai rapotnya, tetapi semenjak gue bekerja dan Jeno masuk SMA gue tidak lagi bisa menemaninya mengambil rapot. "Kakak besok jaga malem, Kakak usahain habis dari rumah sakit langsung ke sekolah, gimana?" "Sesempetnya Kakak aja," jawab Jeno sambil mengangguk. Jeno adalah adik yang sangat baik dan juga penurut. Ia jarang mengeluh meski orang-orang di sekitarnya sering memandangnya dengan sebelah mata karena keadaan ekonomi kami yang berantakan. Ia bahkan rela untuk menumpang bersama bibi kami selama tiga tahun saat SMP waktu gue kuliah dan hidup di asrama. Jeno tidak pernah mengeluh meski bibi kami memperlakukannya dengan semena-mena dan cenderung tidak adil dengan anak kandungnya yang seumuran dengan Jeno. Ia tidak pernah bercerita dengan alasan tidak ingin membuat gue khawatir. Gue bahkan baru mengetahui fakta mengenai itu akhir-akhir ini, di saat bibi gue meninggal dunia dan suaminya meminta maaf kepada Jeno akan perlakuan istrinya selama Jeno tinggal bersama mereka, di saat itu pula gue baru mengetahui fakta itu. "Acaranya jam berapa? Kakak usahain nggak telat." "Ada panggung di lapangan sih Kak, sambutan dari Kepsek sama pengumuman juara umum dan nilai ujian terbaik, ditambah motivator untuk wali murid tentang pemilihan jurusan dan universitasnya," jelas Jeno. "Doain aja semoga nggak ada pasien yang butuh penanganan ribet dan bikin Kakak jadi pulang telat ya," kata gue yang dijawab anggukkan oleh Jeno. "Oh iya, Kakak kayaknya belum bayar uang les kamu sampai ujian masuk universitas Jen, baru sampai semesteran doang. Besok tanya ya ke tempat lesnya sisa berapa, biar nanti Kakak kasih uangnya." "Jeno udah bayar pakai uang Jeno Kak," ucap Jeno yang membuat gue mengerutkan alis. "Kamu punya uang dari mana? Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan?" tanya gue sedikit menuntut. "Si Kakak suka berburuk sangka aja, Jeno kumpulin uang saku yang Kak Changmin suka kasih sama dapet komisi dari tempat les setiap masukin satu orang, pas kekumpul jadinya lumayan dan bisa bayar les. Kakak nggak usah khawatir," ucap Jeno yang membuat gue merasa sangat terharu sampai kehilangan kata-kata. Melihat gue yang terdiam, Jeno pun berinisiatif untuk membuka percakapan lain. "Kak, tahun ini beasiswa yang dari sekolah udah nggak ada, mungkin Jeno akan ngambil beasiswa yang ada di universitas nanti," kata Jeno yang membuat gue mengulum senyum miris. Jeno bahkan jarang bermain dengan teman sepantarannya dan lebih memilih untuk belajar di dalam kamar karena ingin meneruskan cita-cita gue yang terhenti untuk menjadi seorang dokter.  "Kakak nggak pernah maksa kamu untuk melanjutkan apa yang nggak bisa kakak raih dulu, kalau kamu mau masuk ke jurusan lainnya kakak sama sekali nggak melarang. Semua pilihan ada di tangan kamu. Kamu pasti tau yang mana yang terbaik buat kamu." "Mas Changmin juga bilang gitu, tapi Jeno nggak punya cita-cita lain selain nerusin cita-cita Kakak, anggap aja ini rasa terima kasih Jeno untuk Kakak," ucap Jeno yang membuat air mata gue hampir tumpah. "Kakak jangan nangis, kok melow banget sih?" ucap Jeno dengan nada meledek yang membuat gue mengusap kedua mata gue dengan sedikit kasar. "Kakak nggak nangis kok," kata gue yang ditimpali dengusan Jeno. "Mending nonton TV deh Kak, kalau ngobrol sama Kakak masalah serius bawaannya malah melow." Jeno mengambil remote dan mulai menyalakan televisi sehingga suara kontrakan kami menjadi lebih meriah dari sebelumnya. Semua berjalan lancar sampai sebuah iklan ponsel dengan orang yang sangat familiar berputar. "Kak Lay sekarang ganteng ya? Terakhir yang Jeno inget nggak gitu," kata Jeno dengan nada begitu kagum. "Namanya juga artis," jawab gue sedikit ketus. "Temen-temen Jeno juga banyak yang suka ngomongin Kak Lay tau, rasanya Jeno nggak percaya dulu bisa kenal sama Kak Lay, tergolong deket pula,” ucapnya dengan bangga. “Tapi Kak, kenapa Kak Lay udah gak pernah main lagi? Bukannya Kakak dulu deket banget sama Kak Lay ya?" Mengungkit soal Lay membuat nafsu makan gue menghilang. Dia pergi dari kehidupan gue, kemudian datang dengan tiba-tiba dan sekarang dia menghilang lagi setelah menghabiskan malam...  Gue menggelengkan kepala mencoba menepis bayangan malam itu yang masih membuat gue mengumpat setiap kali mengingatnya. Kenapa gue bisa sebodoh itu?! "Kak, Kakak kenapa?" tanya Jeno kebingungan. "Kakak udah kenyang, nggak enak badan juga," jawab gue tidak sepenuhnya berbohong. Karena memang akhir-akhir ini badan gue memang terasa tidak enak. "Kakak istirahat aja, biar Jeno yang beresin," kata Jeno yang gue jawab dengan anggukkan. Adik gue yang satu itu memang selalu dapat diandalkan. Gue pun memasuki kamar dan merenung kembali tentang kedua pria yang mengisi kehidupan gue, dan memutar kembali kejadian-kejadian menyesakkan d**a yang telah terjadi. Suara notifikasi aplikasi Line di ponsel membuat gue menghentikan renungan.   OSM SQUAD (4) Rara : Cabs kuy Iim : Gas Jojo : Kuy Jojo : kemana nih? Rara : tempat Chand aja kayak biasa Jojo : Sip Iim : Inggit mana? Inggit : sorry guys gue nggak ikut dulu, lagi nggak enak body Rara : Hamil? Changmin lupa pake k****m emang? Jojo : njayyyy asik dah restu sebentar lagi datang! Iim : Nggak biasanya lo ceroboh git, lo yang selalu ingetin kita untuk main aman padahal Rara: safety can be fun!!! Hahaha   Gue memang nggak pernah lupa pakai pengaman sama Changmin, tapi malam itu...    *** Gue melihat jam di tangan dengan gusar, pasalnya ini sudah pukul sepuluh. Dua jam lebih lambat dari waktu yang Jeno sebutkan untuk mengambil rapotnya. Berhubung rumah sakit tempat gue bekerja akan diakreditasi, teman-teman shift pagi sibuk untuk mengurus urusan administratif, sedangkan kami yang shift malam terpaksa memperpanjang jadwal jaga kami. Gue memilih untuk tidak naik taksi karena memang gaji bulan ini belum turun, busway adalah satu-satunya pilihan terakhir. Saat gue sampai ke sekolah Jeno, acara di lapangan sekolah telah berakhir, dan pembagian raport di kelas-kelas telah dimulai. Gue mencoba mengingat cerita-cerita Jeno tentang kelasnya, dan untungnya gue ingat kalau kelas Jeno berada di ujung paling dekat toilet. Gue mengetuk pintu kelas dan tersenyum canggung, wali kelas Jeno mempersilahkan masuk, dan gue bisa melihat Jeno melambaikan tangan dari tempat duduknya. Tidak banyak murid yang tersisa, sepertinya gue benar-benar terlambat.  "Maafin Kakak ya Jen, tadi ada pasien dan yang jaga pagi ngurusin akreditasi," ucap gue dengat tidak enak. "Gapapa kok Kak, Kakak udah dateng aja Jeno seneng," ucap Jeno yang membuat gue reflek mengusap kepala adik gue yang tumbuh dengan sangat baik ini. "Jenoardo Alexander!" Panggilan wali kelas Jeno membuat kami segera maju untuk mengambil hasil laporan belajar. Wali kelas Jeno memuji bagaimana prestasi dan kelakuan baik Jeno di kelas dan kami mendiskusikan universitas mana yang cocok untuk Jeno nantinya. Setelah diskusi yang cukup panjang, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum pulang ke rumah gue memutuskan untuk mentraktir Jeno makan pizza karena ia menjadi juara umum di sekolahnya, mengenai urusan bagaimana gue makan besok bisa dipikirkan nanti, kebahagiaan Jeno prioritas gue saat ini. "Kakak ngajak Jeno ke sini emang punya uang?" tanya Jeno dengan tidak yakin. "Kebetulan Kakak dapet rejeki, hal kayak gini harus dirayain bukan? Kamu jadi juara umum loh!" "Tapi Jeno bukan peraih nilai tertinggi ujian nasional Kak," ucap Jeno dengan menyesal. "Itu udah lebih dari cukup untuk Kakak, sekarang ayo makan," ajak gue yang dijawab anggukan oleh Jeno. Kami pun memilih untuk duduk di ujung ruangan, saat gue baru saja duduk, ponsel gue berbunyi dan ada panggilan dari Changmin. "Hallo?" "Kamu di mana?" "Restoran pizza dekat sekolah Jeno, kenapa Mas?" "Aku udah selesai dinas, aku ke sana ya?" tanya Changmin. "Boleh Mas, kita rayain Jeno yang dapet juara umum hari ini," ucap gue yang membuat antusiasme Changmin terdengar di seberang sana. "Wah! Adik kamu emang nggak diragukan lagi, aku ke sana ya. See you!" "Mas Changmin?" tanya Jeno setelah gue memutuskan sambungan telepon. "Iya Jen, Mas mu itu mau ke sini," ucap gue yang membuat Jeno tersenyum senang. Tidak lama kemudian Changmin pun datang dan bergabung dengan kami berdua. "Dek, kamu juara umum?" tanya Changmin yang dijawab anggukkan bangga oleh Jeno. Changmin pun mengulurkan tangannya untuk membuat gestur tos dengan kepalan tangannya yang langsung di sambut Jeno dengan gestur yang sama. Melihat Changmin dan Jeno yang begitu akur membuat gue lega. Tidak banyak orang yang dapat Jeno percaya untuk dekat dengan gue, salah satunya adalah Changmin. Dan sepertinya Changmin sudah mendapatkan hati Jeno sepenuhnya. Percakapan di antara kami mengalir dengan lancar seperti biasa. Changmin cenderung berperan sebagai Ayah sekaligus kakak untuk Jeno. Hal itu pula yang membuat gue bertahan dengannya. "Git, besok acaranya, jangan lupa ya?" ujar Changmin yang membuat gue menelan ludah gugup. Gue belum siap untuk kembali bertemu dengan keluarganya. "Emang mau ke mana Mas?" tanya Jeno ingin tahu. "Adik Mas mau tunangan besok, kamu mau ikut?" tanya Changmin spontan. "Jeno ada acara perpisahan kelas besok malem, mungkin enggak. Kakak bawa Kak Inggitsya aja tuh, besok dia libur kan," ucap Jeno sambil memakan pizza di tangannya dengan lahap. Gue baru saja akan menghindar dengan alasan bekerja, tapi sepertinya alasan itu sudah tidak dapat dipakai lagi. "Git?" tegur Changmin yang membuat gue meraih kesadaran kembali. "Iya Mas, nanti aku dateng." "Aku jemput ya!" kata Changmin dengan senyuman bahagia yang terukir di wajahnya.                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN