Gue tidak ingin mempermalukan diri sendiri, jadi gue meminta saran Rara sebagai queen of fashion di antara kami berempat. Gue bersikeras untuk meminjam baju bermereknya yang sudah tidak terpakai, tetapi Rara tentu saja menolak dan membelikan gue semua barang baru.
Gue di-make over habis-habisan oleh Rara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gue rasa parfum yang dipakai malam ini pun harga gaji gue selama tiga bulan penuh.
"Fashion is armor to face reality!" tukas Rara sambil memperhatikan beberapa detail di tubuh gue seperti gelang dan juga anting, bahkan jam tangan.
"Kalau mereka merendahkan lo lagi biar gue bilang Abang gue untuk bangkrutin perusahaan keluarga Changmin!"
"Keluarga Changmin keluarga penegak hukum Ra, rata-rata polisi dan pengacara, bukan pengusaha kayak keluarga lo," ucap gue yang membuat Rara menepuk jidatnya. Sepertinya ia lupa mengenai hal ini.
"Seenggaknya mereka nggak ngerendahin penampilan lo saat ini! Lo sih batu nggak mau kerja di perusahaan abang gue!" kata Rara dengan kesal.
"Ijazah gue apaan Ra, masuk kantor abang lo yang ada gue di cibir habis-habisan, udah ah, Changmin bilang udah di depan. By the way makasih buat semuanya ya! Kalau gue dapet restu malem ini lo orang yang pertama gue kasih tau!" ucap gue yang di jawab senyuman bahagia Rara.
"Hati-hati Git! Semangat!" ucap Rara memberi semangat.
Sepanjang perjalanan gue mendadak gelisah, tangan gue berubah menjadi dingin karena rasa panik yang melanda. Hal itu disadari Changmin yang menggenggam tangan gue begitu kami turun dari dalam mobil. "Jangan gugup, aku ada di sini," ucapnya yang gue jawab dengan anggukkan.
Gue pun mengeratkan tautan lengan saat memasuki Ballroom yang cukup luas itu. "Kita samperin Joy dulu ya?" ajak Changmin yang gue jawab dengan anggukkan. Setelah perjalanan yang cukup panjang, untuk pertamakali gue bisa melepaskan tangan Changmin saat berhadapan dengan Joy.
"Aaa! Joy seneng banget Kakak dateng malem ini!" ucap Joy dengan sumringah, dan di sampingnya ada seorang pria yang sepertinya kini berstatus sebagai tunangannya.
"Kenalin Kak, ini Sugi tunangan aku. Sugi ini Kak Inggitsya pacarnya Kak Changmin."
"Salam kenal Kak," ucap Sugi.
Gue pun mengulurkan tangan gue sebagai bentuk perkenalan yang disambut oleh Sugi dengan hangat. Sepertinya gue mempunyai satu orang lagi yang menerima gue di sini.
"Kak tadi dicariin Mama tuh, sana samperin!" titah Joy yang membuat gue mendadak kaku. Gue belum siap bertemu dengan Ibu Changmin sekarang.
"Ayo kita ke Mama," ajak Changmin sambil kembali menautkan lengan gue ke lengannya.
Gue menunduk dan hanya terfokus kepada sepatu karena merasa takut. Memori akan penolakan ibu Changmin saat itu sangat membekas, bahkan sampai saat ini. Perasaan gue tidak keruan, rasanya ingin kabur tanpa menemuinya.
Langkah Changmin yang terhenti membuat gue ikut menghentikan langkah, dan di saat gue menegakkan wajah, pemandangan di depan membuat gue syok, Laynard Abraham kini berdiri dengan angkuh di depan kami.
"Hai Changmin, apa kabar?" sapanya dengan ramah.
Mereka saling kenal?!
"Baik Lay, oh iya kenalin ini cewek gue," ujar Changmin sambil memeluk pinggang gue.
"Git, kenalin ini Laynard, Kakak Sugi tunangan adik aku. Lay, ini Inggitsya cewek gue."
Tuhan… kenapa dunia begitu sempit?!
Genggaman gue pada clucth bag menguat, gue bahkan tidak bisa merasakan tangan Changmin yang memeluk pinggang secara posesif saat melihat sosok laki-laki di depan gue ini. Melihat gue yang masih membeku, Changmin pun sedikit mengerutkan alisnya. "Kalian udah kenal?"
Gue menggelengkan kepala secara spontan, dan mengulurkan tangan yang berubah menjadi beku. Lay melihat gue dengan sebelah alis yang terangkat sebelum menyambut uluran tangan gue dengan senyum separuh miliknya yang membuat jantung gue semakin berdetak tidak normal.
"Ah, dia kan artis Git, kamu pasti nggak nyangka ya calon ipar kita seorang model dan bintang iklan kayak dia?" Perkataan Changmin membuat gue menelan ludah gugup.
Gue menganggukkan kepala dengan kaku sebagai respon, dan mencengkram jas yang Changmin pakai. Entah mengapa keberadaan Changmin saat ini seperti tidak melindungi gue sama sekali, yang ada gue semakin merasa terancam. Apalagi pandangan tajam Lay sama sekali tidak terlepas dari gue.
"Lay, gue duluan ya, gue harus ketemu sama nyokap," ucap Changmin yang dijawab anggukkan oleh Lay. Sunggingan senyum yang Lay berikan saat gue beranjak pergi bukanlah sebuah pertanda baik.
Pikiran gue melayang, membiarkan diri gue dibawa oleh Changmin setelah mengaitkan tangan gue ke lengannya, meninggalkan Lay yang masih terdiam menatap gue dengan pandangan yang tidak dapat didefinisikan.
Banyak pertanyaan yang melayang dalam benak, seperti sejak kapan Lay memiliki adik sedangkan ia dulu hanya tinggal bersama ibunya, dan kenapa dia muncul lagi di kehidupan gue setelah menghilang sekian lama.
Selain kehidupan ekonomi kami yang memang kurang, Lay dulu juga berperan sebagai tulang punggung karena ia tidak memiliki ayah. Tapi melihat Sugi yang sepertinya berasal dari keluarga berada membuat gue harus berpikir ulang dan kembali merangkai banyak pertanyaan.
Gue hampir saja menubruk seseorang jika Changmin tidak menolong gue tepat waktu, hal itu menimbulkan sedikit kericuhan karena minuman seseorang tersenggol oleh siku Changmin yang menarik tubuh gue, sehingga jas pada bagian tangannya basah akibat tumpahan air tersebut.
"Kamu gapapa?" tanya gue spontan yang dijawab gelengan oleh Changmin. Dengan sigap gue mengambil sapu tangan yang dijadikan aksesoris pada saku jasnya dan membersihkan bagian tangan jas Changmin yang basah.
Changmin menghentikan pergerakan tangan gue dengan tangannya yang membuat gue langsung menatap ke arahnya, "seharusnya aku yang nanya, kamu gapapa?" tanya Changmin yang membuat gue merasa berdosa, ia selalu memprioritaskan gue di atas dirinya.
Suara dehaman yang cukup kencang membuat perhatian kami teralihkan, Ibu Changmin melihat ke arah jas Changmin yang basah dengan pandangan tidak mengenakkan. Hal itu membuat gue menggenggam sapu tangan Changmin dengan kuat. Berada di posisi ini setelah bertemu dengan Lay membuat gue benar-benar tidak siap.
"Ma..." sapa Changmin sambil memeluk ibunya.
Setelah selesai memeluk ibunya, Changmin menarik gue untuk berdiri di sampingnya dan membisikkan gue untuk mengucapkan salam ke ibunya. Dengan kikuk, gue pun menghampiri ibu Changmin bermaksud untuk menyapa, tetapi Ibu Changmin mengalihkan pandangannya dari gue di saat jarak kami tinggal dua langkah. Ibu Changmin malah menghampiri Changmin dan mengusap pipi anaknya yang membuat ia melemparkan senyum tidak enaknya ke arah gue.
"Mama mau ngomong sama kamu," ucap ibu Changmin kepada Changmin. "Berdua," sela ibu Changmin di saat melihat gelagat Changmin yang ingin mengajak gue untuk ikut ke dalam pembicaraan.
"Changmin izin dulu ke Inggitsya sebentar ya Ma," ucap Changmin sesopan mungkin. Setelahnya Changmin menghampiri gue, bermaksud menjelaskan.
"Aku tunggu di sini aja, kamu bisa pergi sama Mama," ucap gue dengan kikuk karena ibu Changmin sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya. Tanpa Changmin jelaskan gue pun mengerti bahwa kehadiran gue tidak diinginkan oleh ibunya.
"Aku cuma sebentar, oke? Kamu tunggu sini," ucap Changmin sambil mengelus pipi gue dengan lembut yang gue jawab dengan anggukkan dan juga senyuman. Senyuman gue perlahan menghilang saat Changmin pergi dengan ibunya yang bahkan menolak untuk gue sapa.
Gue memilih untuk meninggalkan tempat tadi dan menuju tempat yang lebih sepi di sudut ballroom hotel yang cukup luas hanya untuk sebuah pesta pertunangan ini.
Changmin sudah cukup berumur, hal itu juga yang membuat ibunya mendesak agar ia segera menikah. Namun di saat Changmin membawa dan memperkenalkan gue sebagai wanita pilihannya, ibunya malah menolak secara mentah-mentah.
Ya, gue yang tidak lagi memiliki orangtua dan berasal dari kalangan bawah tentu saja tidak pantas bersanding dengan anak sulung dari salah satu pejabat tinggi kepolisian seperti Changmin. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan karena Changmin masih mempertahankan gue di saat keluarganya begitu menentang.
"Nggak direstuin?" Suara Lay membuat gue kembali meraih kesadaran. Kini sosoknya telah berada di samping dengan sebuah gelas yang berisi minuman berwarna biru di tangannya. Meskipun ia tidak sedang menghadap gue, gue yakin jika ia sedang berbicara dengan gue.
Gue memilih untuk pergi menjauh, tetapi Lay menjegal langkah gue lebih jauh dengan tangannya. "Lepasin," desis gue tajam yang membuat Lay tersenyum simpul.
"Gue akan melepaskan kalau lo tetap di sini dan nggak beranjak sedikitpun dari pandangan gue," ucap Lay yang membuat gue mendengus.
"Jangan bercanda," ucap gue dengan sinis.
"Gue nggak bercanda, di saat gue melepaskan tangan lo dan lo pergi, di saat itu juga bibir gue akan mendarat di bibir lo. Bisa lo bayangin bagaimana reaksi orang-orang bukan? Calon adik ipar lo, calon mertua lo, bahkan reaksi pacar lo," ucap Lay yang membuat gue merasa terpojok. Entah mengapa gue merasa ancamannya kali ini tidak main-main.
"Lepasin," ucap gue yang membuat dia melepaskan cengkramannya. Kini di bibirnya tercetak seringai yang sangat menyebalkan.
"Udah lama pacaran dan masih belum di restuin juga?" tanya Lay yang terdengar begitu sarkas di telinga gue.
"Bukan urusan lo," desis gue tajam.
"Bukannya itu sekarang jadi urusan gue juga? calon saudara ipar…" sindir Lay dengan halus. Penekanan pada kalimat 'calon saudara ipar' membuat gue meremang.
Topik calon saudara ipar yang dilayangkan oleh Lay membuat gue teringat akan pertanyaan di benak tadi. "Sejak kapan lo punya adik?"
Gue bisa melihat dia menyunggingkan senyum separuh sebelum wajahnya berubah menjadi serius. "Sugi adik tiri gue."
Fakta yang baru saja di ucapkan oleh Lay tentu saja membuat gue terkejut. "Gue nggak pernah tau kalau lo punya saudara tiri.”
"I have two," ucap Lay yang lagi-lagi membuat gue terkejut.
Dua saudara tiri? Bagaimana bisa?
Kedatangan Changmin dari kejauhan dengan langkah yang terburu-buru dan wajah yang kesal membuat gue menelan kembali pertanyaan-pertanyaan yang ingin gue ajukan kepada Lay mengenai kedua adik tirinya, perasaan gue kini berubah menjadi tidak enak saat melihat ekspresi muram yang Changmin tunjukkan. Lay yang melihat kepanikan gue kini tersenyum pongah. Gue mencoba beranjak, tetapi lagi-lagi ia mencegah gue menjauh.
"Lay! Tolong lepasin…" ucap gue dengan sedikit memohon.
Gue bisa melihat Changmin yang sedang mencari-cari keberadaan gue semakin mendekat. Sementara Lay belum melepaskan tangannya dari tangan gue. Semakin gue mencoba melepaskannya, semakin kencang genggaman tangan Lay pada lengan gue.
"Lay!"
Suara gue yang cukup kencang sepertinya mengundang perhatian Changmin, dan ia lalu menuju ke arah kami berdua. Kaki gue terasa semakin lemas dan air mata gue menggenang. Gue sama sekali tidak siap dengan kondisi ini. Bagaimana kalau Lay mengungkapkan kejadian malam itu kepada Changmin? Kenapa gue harus terlibat di dalam situasi sesulit ini?
"For your information, that night, i record everything..." bisik Lay yang membuat tubuh gue mengkaku.
Gue menatap Lay dengan tidak percaya. Kini di saat tangan Lay sudah tidak lagi menahan lengan gue, gue tetap tidak bisa bergerak karena ucapannya barusan.
Merekam semuanya?
Rengkuhan tangan Changmin di pinggang membuat gue mengatupkan kembali bibir yang baru saja akan bertanya perihal kalimat yang Lay ucapkan tadi. Gue masih cukup waras untuk tidak membahas hal itu di depan Changmin.
"Sorry Lay, kita duluan," ucap Changmin sambil menarik tangan gue untuk pergi.
Ya Tuhan...