Semenjak Lay mengetahui tentang kehamilan gue, ia berubah. Tidak ada tarikan paksa secara mendadak, ataupun sentakan kasar. Ia memperlakukan gue dengan normal seperti karyawan lainnya, atau mungkin, terlalu 'normal'.
"Dua orang ikut saya untuk visit," ucap Lay tiba-tiba saat menghampiri nurse station. Ini masih setengah delapan pagi, terlalu pagi untuk dokter jaga pagi melakukan 'visit', biasanya di rumah sakit kami dokter akan memulai visitnya pada pukul sembilan atau sepuluh.
Gue dan Victoria terperangah, kami segera berdiri untuk mengikuti titahnya. Tapi Lay tiba-tiba menoleh ke arah gue. "Bukan kamu, yang lain." Ucapan Lay sontak membuat Victoria menoleh ke arah gue dengan pandangan penuh tanya yang hanya gue balas dengan gendikkan gugup. Sepertinya dokter yang satu ini tidak bisa bersikap profesional.
"Dua perawat lain sedang memberikan obat, dok,” jelas gue. Lay menatap gue dengan tatapan tajamnya, sementara Victoria segera berlari ke ruangan terdekat untuk mencari dua rekan gue yang lain.
"Udah sarapan?" tanya Lay yang membuat mata gue membola.
Untuk apa dia menanyakannya?
"Jadi kapan mulai visit-nya, dokter?" tanya gue penuh penekanan. Gue tidak ingin mencampuradukan masalah pribadi dengan masalah kerja.
"Jangan bertanya di saat saya sedang mengajukan pertanyaan," balasnya yang membuat gue berdecih pelan. Laynard dengan formalitasnya merupakan hal yang harus dihindari, jika ia sudah bersikap seperti itu berarti ia sedang berstatus sebagai bos di sini.
Gue memilih mengabaikannya dan pergi dari nurse station untuk menyusul Victoria, tetapi tangan gue sudah lebih dulu dicengkram oleh Lay. Ia mengeluarkan sebuah kotak s**u ibu hamil siap minum dari saku jasnya dan menaruhnya di kantung seragam milik gue.
"Diminum. Jangan sampai nggak."
Di saat yang bersamaan Victoria menarik Luna keluar dari dalam ruang perawatan yang membuat gue segera melepaskan cengkraman tangan Lay tanpa sempat mengembalikan susunya.
"Kami siap untuk visit, dok," ucap Victoria.
"Ah, saya dapat telepon dari bangsal VIP, mungkin nanti dr. Ilham yang akan menggantikan saya untuk visit," ucap Lay sambil menunjukkan pesan bahwa ia harus ke bangsal VIP yang dikirim sepuluh menit yang lalu. "Kalian bisa teruskan kegiatan kalian," lanjutnya yang membuat gue mendelik. Setelahnya Lay meninggalkan kami bertiga yang masih terpaku.
Victoria dan Luna saling berpandangan dan menggelengkan kepala mereka. "Gila ya bikin orang jantungan aja pagi-pagi, Munculnya kayak setan!" sungut Victoria kesal.
Laynard Abraham memang seperti setan yang selalu menghantui hidup gue!
***
Kehamilan gue membuat semuanya runyam. Gue bingung bagaimana harus menyembunyikan ini semua, terutama dari Jeno yang tinggal satu atap dengan gue yang pastinya akan menyadari segala perubahan yang ada dari hari ke hari. Belum lagi gue belum menemukan bagaimana cara untuk menyampaikan ini semua kepada Changmin.
Dengan harap-harap cemas, gue menunggu pengumuman ujian masuk universitas Jeno. "Gimana pengumumannya Jen?"
"Jeno lolos Mbak!" ucap Jeno riang. Gue menghela napas lega. Sepertinya ini berita baik untuk Jeno sekaligus gue. Gue bisa 'mengasingkan' Jeno dengan alasan studinya. "Kapan mulai ngurus administrasi dan lain-lain Jen?"
"Dua minggu lagi kayaknya, Mbak. Kenapa? Mbak mau ikut?"
Gue menggeleng. "Kamu tau kakak tingkat kamu yang kuliah di sana juga?"
Jeno mengangguk. "Kak Tanjung Erwan Ilham tahun lalu masuk sana."
"Tanya-tanya ke dia soal kampus, tempat tinggal, ospek dan segala macamnya. Mbak usahain buat ngumpulin uang administrasinya."
Jeno mengangguk antusias dan memeluk gue. "Makasih Mbak, Jeno selangkah lebih maju untuk menggapai impian Mbak."
Air mata gue tumpah ruah. Gue tidak bisa membendung perasaan menyesakkan yang timbul.
"Mbak kok nangis sih? Pasti sedih ya mau Jeno tinggal?" ledek Jeno yang membuat gue semakin terisak. Ekspresi riangnya berubah menjadi sendu saat menyadari bahwa gue sedang tidak bercanda. Jeno memeluk gue dan berbisik, "Mbak, tolong jaga diri selama Jeno nggak ada. Kalau ada apa-apa bilang, Jeno akan langsung pulang kalau Mbak pinta." Tidak ada nada meledek, Jeno kini memberikan nasihat sebagai seorang adik kecil yang telah tumbuh dewasa dan ingin melindungi kakaknya.
Gue melepaskan pelukan Jeno dan mengelap air mata dengan kasar. "Jen, Mbak mau tanya satu hal sama kamu."
"Apa Mbak?"
"Kamu beneran mau jadi dokter?"
"Yaiyalah Mbak! Itu semua kan—"
"Impian Mbak?" potong gue yang membuat Jeno terdiam.
"Jen, kalau kamu memang mau jadi dokter, jadilah dokter karena itu impian kamu, bukan impian, Mbak. Mbak nggak pernah memaksa kamu sedikitpun, Mbak cuma nggak mau kamu berhenti di tengah jalan, Mbak belum tentu sanggup biayain kamu kuliah lagi."
Jeno melengkungkan bibirnya, meski hanya gerakan kecil hal itu membuatnya seperti tersenyum, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Mbak," ucap Jeno sambil mengambil kedua tangan dan menggenggam jemari gue. "Impian Mbak, adalah impian Jeno juga. Nggak usah khawatir kalau Jeno akan berhenti di tengah jalan, Jeno udah janji buat banggain dan bahagiain Mbak bukan?"
Gue tidak bisa membalas apa pun selain memeluk adik gue yang sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa dan bijak.
"Pacar kamu nanti pasti beruntung, Mbak iri."
"Apaan sih Mbak! Jeno mau kuliah kok, bukan pacaran."
"Pokoknya kalau kamu punya pacar, Mbak harus jadi orang pertama yang dikenalin ya! Janji?" ucap gue sambil menyodorkan jari kelingking.
Jeno tertawa dan menautkan jari kelingkingnya. "Janji. Siapa pun orangnya yang akan jadi pacar Jeno nanti, Mbak tetep nomor satu buat Jeno."
"Belajar gombal dari mana kamu?!" ledek gue.
"Mas Changmin," jawab Jeno yang membuat kami tergelak.
***
Lay benar-benar membuat gue sakit kepala, tingkah polanya semenjak mengetahui berita kehamilan gue semakin aneh saja setiap harinya. Entah dia sering menyuruh rekan-rekan untuk mendampinginya visit tanpa melibatkan gue, menarik gue ke tangga darurat hanya untuk memberikan sekotak s**u ibu hamil siap minum, menitipkan hadiah dan makanan melalui para pasien, dan kejutan-kejutan kecil lainnya yang tidak pernah gue pikirkan sebelumnya.
Setelah melakukan ritual memuntahkan segala isi sarapan pagi ini, tangan gue kembali ditarik ke arah tangga darurat untuk ke sekian kalinya.
"Ini," ucap Lay sambil menyodorkan sebuah s**u ibu hamil.
Gue pun mengeluarkan produk yang sama dari dalam saku untuk menyambut momen ini. "Gue udah beli sendiri, lo nggak perlu beliin gue lagi," timpal gue yang membuat wajah Lay terlihat terkejut.
Gue langsung meninggalkan Lay yang masih terpaku di tangga darurat dengan senyum penuh kemenangan. Rasanya senang bisa membuatnya mati kutu seperti tadi.
Saat mencapai nurse station gue melihat kalender, mencoba menebak kapan masa subur gue datang, siklus haid gue yang tidak teratur memperparah situasi, gue tidak tahu kapan masa subur gue datang, apakah saat gue melakukannya dengan Changmin atau Lay, karena gue tidak pernah menghitungnya. Hal itu membuat gue semakin frustasi.
Apa yang harus gue lakukan?