BAB 9

1699 Kata
Changmin beranjak pergi, sementara gue tidak berani menoleh sedikitpun ke arah Lay saat ini, entah mengapa perasaan gue kini berubah menjadi tidak enak dan merasa terancam. Sebuah tangan tiba-tiba mencengkram lengan gue dengan kuat dan menyentak gue untuk berdiri. Tanpa sepatah kata, Lay menyeret gue keluar restoran dan memaksa gue untuk masuk ke dalam mobilnya, lalu ia membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gue merasa begitu takut sekarang. "Turunin gue," pinta gue pelan. Bukannya mengabulkannya, Lay malah menginjak pedalnya semakin dalam. Air mata gue mulai menggenang. Pasalnya Lay tidak membawa mobilnya untuk pulang ke arah rumah sakit, melainkan arah sebaliknya. "Turunin gue sekarang!" teriak gue pada akhirnya. Lay membelokan setirnya dengan tiba-tiba hingga mobil berhenti di bahu jalan dengan suara berdecit dan posisi sedikit miring. Kaki gue gemetar sampai tidak sanggup untuk bergerak. Gue terisak. b******n b******k ini selalu bisa memporak-porandakan segalanya. "Jangan nangis," ucap Lay dingin. Gue tidak menghiraukan perkataannya sampai Lay memegang kedua bahu gue hingga menghadap ke arahnya, lalu bibirnya yang tebal dan lembut memagut bibir gue dengan perlahan. Kenapa semua malah terasa lebih menyakitkan? Lay melepaskan pagutannya setelah mengetahui gue tidak membalasnya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata gue yang mengalir di pipi. "b******k! Lo bener-bener b******k!" ucap gue sambil memukul dadanya berkali-kali. Lay menahan kedua tangan gue dan membawa gue ke dalam pelukannya. "Gue memang b******k," balas Lay. Tidak ada arogansi yang terselip dari kalimatnya barusan, hanya kalimat sederhana dengan penyesalan tersirat.    *** Lay membawa gue ke apartemennya, apartemen di mana gue dan dia kembali melakukan hal yang tidak seharusnya kami lakukan sejak dulu. Sebagian dari diri gue mengatakan untuk pergi, sedangkan bagian yang lain mengatakan untuk tetap tinggal dan mencari tahu lebih jauh tentang kepergiannya yang begitu tiba-tiba dari kehidupan gue. Lay membuatkan secangkir teh hijau hangat dan memberikannya untuk gue. "Biar lo lebih rileks," ucapnya. Bau teh hijau yang menyeruak membuat gue merasa mual dan segera berlari ke arah wastafel. Lay kemudian membantu gue untuk memijat tengkuk dan mengelap wajah gue yang basah dengan tisu. "Gue alergi teh hijau." Alis Lay berkerut mendengar perkataan gue. "Sejak kapan?" Gue menggendikkan bahu. "Nggak tau pasti, nggak ingat kapan terakhir kali minum. Yang jelas sekarang nggak suka semua hal berbau green tea." Gue beranjak untuk duduk kembali ke sofa yang berada sedikit jauh dari counter dapur dan meminta Lay untuk membuang tehnya. "Buang aja tehnya, kalau enggak lo minum—" Ucapan gue terhenti saat Lay menahan tangan gue untuk melangkah menjauh. "Lo udah pernah tes kehamilan?" Pertanyaan Lay membuat gue seperti terserang petir di siang bolong. Tubuh gue mengkaku. Lidah gue terasa kelu untuk menjawab pertanyaan yang sebetulnya bisa dijawab hanya dengan dua kata, sudah atau belum. Gue memilih melepaskan tangan Lay dan duduk di sofa, mencoba menetralkan suasana hati dan ekspresi. "Buat apa?" tanya gue dengan tawa getir. Lay mengambil tempat di samping gue. Tangannya terjulur untuk meraih wajah gue untuk menatap ke arahnya. "Malam itu—" Gue melepaskan tangan Lay dengan paksa dan melihat ke arah lain, asal tidak ke arahnya, tapi Lay kembali menahan wajah gue, kini dengan sedikit paksaan. "Jawab pertanyaan gue, udah pernah atau belum?" tanyanya dengan penuh penekanan. Gue memilih menggeleng sebagai jawaban. Nyatanya gue belum pernah melakukannya, gue terlalu takut untuk mengetahui hasilnya. Lay melepaskan wajah gue dan pergi ke dalam kamarnya. Setelah beberapa saat ia keluar dengan sebuah jaket di tangannya dan memakaikannya di tubuh gue. "Ikut gue sekarang," ucapnya sambil menggenggam tangan gue. Gue bergeming. "Gue mau pulang," ucap gue pelan. "Gue anter, tapi lo harus ikut gue dulu sekarang." "Gue nggak mau!" Gue mencoba bersikukuh. "Gue nggak akan membiarkan lo pulang sebelum lo tes darah." Cengkraman tangan gue pada baju menguat. Lay memang tergolong cerdas dalam menganalisa situasi. Ia juga tidak memilih testpack yang hanya bisa mendeteksi ada tidaknya kadar hCG, hormon yang hanya muncul saat seorang wanita sedang hamil di dalam tubuh yang bisa disebabkan oleh banyak faktor. Melainkan tes darah yang bisa mengukur kadar hCG tersebut. Dengan kata lain, lebih akurat dari tes urin. "Changmin nungguin gue," kilah gue. "Ikut gue, atau video malam itu akan sampai ke Changmin saat ini juga," ancam Lay. Lay membuka layar ponselnya dan menyetel sebuah video yang membuat gue keringat dingin, di mana Lay sedang melucuti pakaian gue satu persatu. "Cukup!" teriak gue sambil menjauhkan ponsel itu. "Jadi?" "Gue ikut."   ***  Lay membawa gue ke salah satu klinik swasta milik Dokter Jackson. Melihat keakrabannya dengan sang pemilik, sepertinya mereka saling mengenal dengan baik. "Jadi? Ada keperluan apa seorang pewaris rumah sakit besar kayak lo dateng ke gubuk gue?" sapa dr. Jackson ramah. "Jangan berlebihan dalam merendah," balas Lay. Dokter Jackson melirik gue dengan pandangan penuh tanda tanya dan juga antusias. "Who is she?" "Gue cuma perlu cek lab," ucap Lay mengabaikan pertanyaan Dokter Jackson sebelumnya. "Ah, i see. Cek darah?" Lay mengangguk. "Ya, gue butuh kadar hemoglobin dan hCG." Wajah Dokter Jackson sedikit terkejut, namun kemudian ia mengubah ekspresinya. "Ah, oke. Sepertinya ini merujuk ke ranah privasi. Jadi, mau gue atau lo yang ambil sampelnya?" "Biar gue aja," timpal Lay. Dokter Jackson keluar dari dalam ruangan, dan tidak lama setelahnya muncul seorang perawat yang membawa baki berisi perlatan mengambil darah. Setelah memasang torniquet, Lay membersihkan area lengan gue dengan kapas alkohol, ia lalu menusuk vena gue dengan vacum dan memasang vacum tube. Setelah sampel cukup, Lay melepaskan vacum itu dan memplester lengan gue. "Gue akan kasih ini ke lab. Kita tunggu sampai hasilnya keluar dan lo baru boleh pulang."   ***   Gue merasa waktu berjalan dengan begitu lambat. Detik jarum jam di ruang tunggu membuat perasaan gelisah gue semakin menjadi. Gue tidak tau harus berbuat apa bila hasilnya memang benar-benar positif. "Nona Inggitsya Pouran Alain!" Suara petugas laboratorium membuat jantung gue terasa terhenti. Ingin rasanya gue kabur dan pergi dari sini, tapi bila gue melakukannya mungkin saat itu juga Lay akan mengirim video laknat itu ke Changmin. Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Lay memegang amplop hasil lab di tangannya. Tangan gue menjadi dingin dan gugup. "Mau buka hasilnya di mana?" tanya Lay. Gue melihat sekeliling, ada beberapa pasien di sini yang melihat ke arah kami dengan rasa penasaran yang begitu besar. Seorang public figure seperti dirinya tentu selalu menjadi sorotan. "Di mobil aja," jawab gue pada akhirnya. Lay menggenggam tangan gue dan mengetuk pintu ruangan Dokter Jackson lalu membukanya. "Jack, thank you. Nanti gue transfer aja ya?" "Santai, nggak perlu gue bacain hasilnya kan?" tanyanya dengan tawa. Lay mengulum senyum dan menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu." Setelah proses basa-basi yang singkat, kami kembali ke dalam mobil, dan Lay membuka amplop itu lalu membaca hasilnya. Jantung gue bekerja dua kali lipat, dan hampir berhenti saat Lay mengatakan, "Lo hamil." Dengan reflek gue mengambil hasil lab yang ada di tangannya dan melihat dengan mata kepala gue sendiri akan hasil pemeriksaan tadi. Genggaman gue pada kertas menguat hingga kertas itu berubah menjadi lecek. "Congratulation," ucapnya dengan senyuman separuh. Entah ucapan itu dilayangkan untuk gue atau dirinya sendiri, karena dia sama sekali tidak menoleh ke arah gue saat mengucapkannya. Air mata gue mengalir begitu saja tanpa bisa gue cegah. Terlalu terkejut dengan kabar yang baru saja gue dapatkan. Bagaimana dengan pekerjaan gue? Bagaimana dengan Changmin? Bagaimana dengan masa depan Jeno nanti? Jeno baru saja ingin kuliah, bagaimana kalau Jeno tau tentang ini semua? Dan yang paling membingungkan adalah, ini anak siapa? "If Changmin doesn't want to be responsible for you, i will. I'm his father anyway." "Lo salah..." ucap gue pelan. Saat pulang dari pesta Joy dan Sugi gue dan Changmin tidak memakai pengaman. Begitu pula dengan Lay malam itu. Tuhan... bagaimana ini? "Bagian mana yang salah?" "Ada kemungkinan bahwa anak ini juga anak Changmin, dan Changmin tidak akan ragu untuk bertanggung jawab." Bila ini anak Changmin, tentunya itu akan menjadi berita membahagiakan baginya. Lalu bagaimana bila ini adalah anak Lay? Kami pun larut dalam keheningan sampai suara ponsel yang berbunyi dengan nama Changmin di layar membuat gue segera mengangkatnya. "Sayang, aku lagi jalan ke rumah kamu. Sampai ketemu." Gue hanya membalas perkataan Changmin dengan gumaman singkat. Lalu mematikan panggilannya. Gue menoleh dan menatap Lay yang kini sedang memandang kosong ke depan. "Bisa anter gue pulang sekarang?"    *** Sesampainya di rumah, gue langsung keluar dari mobil Lay tanpa mengatakan apapun, begitupun dengan Lay, ia tidak mengeluarkan suaranya setelah gue memintanya untuk mengantarkan gue pulang. Jeno menyambut gue di depan pintu dengan wajah yang begitu penasaran. "Mobil Mas Changmin ganti?" Gue hanya mengulum senyum. "Itu bukan Masmu, Mbak masuk dulu ya, nanti kalau Masmu ke sini suruh tunggu, Mbak mau siap-siap." Jeno mengangguk mengiyakan sementara gue memilih untuk masuk ke dalam kamar dan membersihkan diri. Entah sudah berapa lama gue berada di kamar mandi sampai Jeno mengetuk pintu dan menegur kalau Changmin sudah menunggu lama, akhirnya gue memutuskan untuk keluar dan bersiap. "Kamu kok pucet hari ini?" tanya Changmin. Gue hanya tersenyum getir. "Aku lagi males dandan, kira-kira kamu masalah nggak dengan penampilanku yang begini?" Changmin tersenyum seraya mengambil jemari gue dengan tangan kirinya yang terbebas untuk memegang setir, lalu mengecupnya pelan. "Ya enggak lah! Mau penampilan kamu kayak apa juga, itulah yang aku pengen liat setiap hari di sisa umur aku." Aku harap jawaban kamu masih sama setelah mengetahui semuanya, Changmin... "Gimana Riana?" Changmin mengerutkan alis dan menolehkan kepala. "Untuk apa kamu nanyain dia?" "Mama kamu nelpon kamu tadi siang pasti ada hubungannya sama dia bukan?" tebak gue yang sepertinya tepat sasaran. Ekspresi Changmin mendadak berubah. Changmin melepaskan tangannya dari jemari gue dan kembali sepenuhnya fokus pada kemudi. "Kamu cenayang ya?" Guraunya dengan kaku. Sepertinya topik Riana sangat sensitif untuk diangkat bagi Changmin. Gue tertawa pelan, mencoba mencairkan keadaan. "Mungkin," balas gue. Setelahnya keadaan menjadi hening, gue menunggu Changmin untuk menjelaskan lebih jauh mengenai Riana. "Mama nyuruh aku untuk jagain Riana di rumah sakit sampai Riana dinyatakan boleh pulang sama dokter." "Lalu?" "Aku jelas nolak. Cukup kemarin Mama ngerjain aku, aku nggak mau terus disetir sama Mama." "Kalau seandainya kamu harus memilih, kamu akan memilih aku atau Riana?" "Kamu ngomong apa sih? Ya jelas kamu lah!" jawab Changmin penuh keyakinan. "Meski aku udah melakukan kesalahan?" tanya gue sangsi. Changmin tersenyum. "I love you, no matter what." Jawaban Changmin membuat gue merasa semakin bersalah. Kesalahan yang sudah gue lakukan adalah sebuah kesalahan fatal meski sesungguhnya gue tidak pernah menginginkannya sekalipun. Maafin aku Changmin…  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN