BAB 8

3403 Kata
Semua telah berubah, mengetahui bahwa Lay merupakan anak dari pemilik rumah sakit tempat gue bekerja membuat gue merasa begitu frustasi. Sungguh ironis mengingat bagaimana kebencian ini sudah menggerogoti hati, namun kenyataannya ia adalah sosok yang masih membuat gue bertahan hingga kini. "Mbak, kok bengong?" tegur Jeno saat kami menonton televisi. "Hm? Kenapa Jen?" "Jeno tadi cerita soal univ mana yang kira-kira akan Jeno ambil Mbak, yang passing grade nya nggak terlalu tinggi tapi nggak terlalu jauh juga dari sini. Seenggaknya bisa Jeno tempuh naik bis atau kereta lah. Jadi kalau Mbak sakit atau kenapa-napa Jeno bisa pulang," "Kok kamu jadi ngedoain Mbak sakit atau kenapa-napa sih Jen?" "Jeno nggak doain, itu namanya antisipasi. Gimana sih Mbak, katanya dulu pinter!" ledek Jeno yang membuat gue berpura-pura menendang tubuhnya. "Awas ya kamu Jeno!" Gerakan gue terhenti saat Jeno menahan kaki gue dan malah menidurkan kepalanya di paha gue, Jeno kemudian menyamankan dirinya di pangkuan gue. "Mbak, Mbak itu keluarga Jeno satu-satunya..." "Jeno cuma pengen ngeliat Mbak bahagia... selama ini Jeno cuma ngerasa jadi beban buat Mbak yang harus banting tulang buat sekolahin dan menghidupi Jeno. Kalau Mbak mulai ngerasa lelah dan berat, Jeno mau kerja aja bantu Mbak dan nggak usah kuliah," ucap Jeno yang membuat gue terpaku. "Jen, pendidikan itu penting. Sekarang sarjana pun banyak yang nganggur. Mbak nggak capek kok untuk sekolahin dan menghidupi kamu. Itu kewajiban Mbak sebagai pengganti Ayah sama Ibu." Cukup Mbak yang diinjek-injek karena status sosial kita Jen, Mbak nggak mau kamu ngalamin hal yang sama kayak Mbak... "Jeno lihat Mbak akhir-akhir ini kayak banyak beban," kata Jeno dengan pandangan menerawang. Ya, kehadiran Lay memang menjadi beban tersendiri untuk gue. Sempat terbersit untuk pindah kerja ke tempat lain sehingga gue tidak akan bersinggungan lagi dengannya, tetapi gue kembali ingat tentang Ibu Changmin yang bisa berbuat apa saja di tempat kerja baru gue nanti. Jeno sedang banyak memerlukan biaya, uang masuk, uang kostan, uang perlengkapan kuliahnya. Gue nggak akan bisa memenuhi itu semua kalau hanya luntang-lantung kerja di tempat lain dan dikeluarkan dalam waktu singkat. Bekerja di toko bunga milik Mami Rara pun tidak akan mencukupi itu semua. Lagipula, gue hanya bekerja paruh waktu di sana. "Namanya juga orang kerja Jen, ada saat-saat suntuknya," kilah gue yang membuat Jeno langsung berdiri dari pangkuan dan menatap ke arah gue. "Kayaknya Jeno baru lega kalau Mbak udah nikah sama Mas Changmin deh," ucap Jeno yang membuat batin gue merasa miris. Hubungan Changmin dan gue bukanlah hal yang mudah, keluarganya merupakan rintangan besar yang perlu kami lewati sebelum kami mengimpikan jenjang pernikahan. "Anak kecil nggak usah ngomong-ngomongin nikah! Itu urusan orang gede!" ucap gue dengan nada becanda yang membuat Jeno tergelak. "Iya Mbakku, kesayanganku, panutanku," balas Jeno dengan nada meledek yang sukses membuat gue mengulum senyum. Jeno masih terlalu naif untuk kenal dunia luar yang penuh polemik. Bahkan ia masih menganggap gue adalah sosok panutan baginya di saat gue sama sekali tidak patut untuk dijadikan panutan olehnya.    *** Setelah pertemuan gue dengan Lay di rumah sakit, ia tidak pernah lagi menunjukan batang hidungnya di hadapan gue. Hal itu membuat gue merasa sedikit lega. Tetapi seminggu terakhir ini Changmin juga menghilang entah ke mana. Biasanya Changmin tidak pernah melewatkan hari liburnya untuk sekadar menemui gue atau Jeno dan kami akan menghabiskan waktu untuk menonton televisi atau makan malam bersama. Kegiatan sederhana itu kami lakukan untuk merekatkan hubungan Changmin dan juga Jeno yang sejak dulu selalu menjadi adik yang super posesif untuk gue. Changmin tidak pernah seperti ini sebelumnya, bahkan hanyak untuk sekadar memberi gue kabar pun tidak. "Bengong aja lo!" ucap Rara seraya menyikut bahu gue yang sedang melamun. Gue mengulum senyum dan kembali menyiapkan kotak es krim di tangan untuk dituangkan ke dalam gelas yang sudah Rara sediakan untuk kami berempat. Sore ini kami sedang berkumpul di tempat Joana yang sedang merayakan promosi jabatannya.  "Gue curiga beneran deh sama lo Git, malam itu lo beneran nggak ada apa-apa sama Lay kan?" tanya Iim dengan mata memicing. Di antara ketiganya, Iim lah yang mempunyai feeling yang paling kuat jika ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi, sedikit merepotkan untuk menyembunyikan sesuatu darinya. Gue menggelengkan kepala dan buru-buru menuangkan scoop es krim ke dalam gelas. "Nggak ada apa-apa kok," timpal gue dengan senormal mungkin. “Kan paginya gue udah nelpon kalian buat ngejelasin,” lanjut gue meyakinkan. Pagi setelah kejadian malam itu, gue menelepon ketiganya untuk menjelaskan bahwa gue memang dibawa oleh Lay, tetapi tidak ada yang terjadi dan semua baik-baik saja. “Nggak pernah ada hal biasa-biasa aja yang terjadi antara seorang Laynard dan Inggitsya, semua orang tahu itu.” Iim masih bersikukuh membahas topik itu. “Udah deh Im, kalau Inggitsya udah bilang enggak ada apa-apa ya enggak ada, lagipula lo tau sendiri dia benci Lay sampai ke ubun-ubun.” Joana mencoba membantu mengalihkan. Rara mengambil dua gelas yang sudah terisi es krim coklat dan membawanya untuk diberikan kepada Iim dan Joana. Sementara gue masih berkutat dengan dua es krim vanila sisanya. Iim yang sepertinya ingin membahas topik ini lebih jauh mulai teralihkan karena kehadiran es krim di tangannya. Setelah memasukan es krim sisanya ke dalam kulkas, gue pun menghampiri mereka dan memberikan salah satu gelas es krim vanila di tangan gue untuk Rara.  "Tumben rasa vanila Git? Biasanya lo nggak suka karena rasanya kayak s**u," tanya Joana dengan heran.  "Lagi pengen," jawab gue singkat. Segala hal sepertinya tidak ada yang kelihatan normal semenjak Lay datang ke kehidupan gue. "Oh iya, gimana kemarin tunangan adeknya Changmin? Udah ngantongin restu kan?" tanya Rara antusias yang membuat gue mengulum senyum miris. "Menurut lo nyokap Changmin bisa diluluhkan hanya dengan penampilan gue yang terlihat 'wah' di pesta kemarin?" Iim dan Joana kompak menggeleng, sementara Rara menghela napas. "Nyokapnya Changmin tuh maunya apa sih? Changmin cinta mati sama lo, lo baik, cantik, rajin, nggak neko-neko juga. Kalau emang dia takut Changmin diporotin, gila aja kali!" "Gue juga nggak ngerti sama otak Ibunya Changmin," sahut Joana menyetujui perkataan Rara. Gue memilih untuk melanjutkan memakan es krim karena gue tau topik ibunya Changmin akan menjadi topik pembicaraan yang cukup panjang.  "Changmin anak emas keluarganya, adik dia dua perempuan semua, keluarganya berharap banget sama dia. Mereka jelas menginginkan pendamping yang sepadan untuk Changmin," jelas gue. "Anak emas sekalipun, dia udah nentuin pilihannya di lo. Nyokapnya bisa apa?" kata Rara dengan menggebu. Joana menyetujui ucapan Rara dengan gestur menujuk ke arah gue menggunakan sendok yang ada di tangannya sementara Iim masih menyimak percakapan kami. "Nyokap Changmin bisa melakukan apa pun," sahut gue yang membuat Iim mengerutkan alisnya. "Apa pun," ulang gue dengan penuh penekanan. "Nyokap Changmin udah ngapain lo emang?" tanya Iim curiga. "Dia bisa memindahkan gue dari tiga Rumah Sakit yang berbeda dalam kurun waktu enam bulan," ungkap gue jujur. "Hell! Jahat banget jadi orang!" umpat Rara spontan. "Jangan bilang yang bikin lo pindah-pindah Rumah Sakit dulu itu dia?" Tanpa menjawab teman-teman gue rasanya sudah bisa menyimpulkan. Joana menatap gue dengan pandangan penuh simpati. "Tapi sekarang lo udah aman kan? Buktinya lo udah nggak pindah-pindah rumah sakit lagi." Gue menghela napas cukup dalam, cukup sulit mengungkapkan kebenarannya, dengan getir gue berkata, "Semua karena Lay. Gue rasa alasan gue bisa bertahan di Rumah Sakit yang sekarang itu karena Lay adalah anak pemilik Rumah Sakit tempat gue bekerja." Ketiga sahabat gue membeku. Mereka berpandangan satu sama lain dengan tatapan dan ekspresi tidak percaya. "Adakah kabar yang lebih mengejutkan dari ini Inggitsya Pouran Alain?" tanya Iim dengan sarkas dengan menyebut nama panjang gue. "Adik tiri Lay adalah tunangan Joy, adik Changmin." Suara gelas yang pecah membuat gue memejamkan mata. Gelas di tangan Rara sepertinya jatuh karena rasa keterkejutannya. Gue tau reaksi sahabat gue akan seperti ini bila gue memberitahu mereka tentang kenyataannya. “Hell! Dunia lo sempit banget!” ***  Setelah menceritakan hal yang cukup mengejutkan kepada tiga sahabat gue, gue pergi ke Rumah Sakit untuk bekerja. Tidak ada kabar dari Changmin membuat diri gue merasa kosong. Changmin adalah sosok yang selalu ada dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, tanpa kehadirannya gue merasa sepi. "Git, jangan lupa ganti balut pasien di kamar 305 ya, orangnya ngeluh kasanya udah basah," titah Dokter Kuyanu yang gue iyakan. "Pasien post operasi dok?" "Bukan, pasien DM (Diabetes Melitus)." Penderita Diabetes Melitus bisa memiliki luka yang disertai dengan invansi kuman yang meyebabkan luka tersebut cukup parah. Beberapa bahkan bisa mengeluarkan nanah dengan bau yang sangat tidak sedap. Mendengar harus membersihkan pasien penyakit itu hari ini entah mengapa gue menjadi tidak semangat. "Baik dok, akan saya kerjakan." Gue pun mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk melakukan ganti balut. Sementara Nana sedang mengecek status pasien satu persatu. Gue baru saja memasuki ruang perawatan 305 saat hidung ini mencium bau tidak sedap yang berasal dari balutan yang ada di kaki pasien penghuni kamar tersebut. Masker yang digunakan seakan tidak berguna karena indera penciuman gue yang cukup tajam. Gue baru saja membuka balutan yang sudah basah itu dan bau yang dihasilkan semakin menguar hingga gue merasa mual dan ingin muntah. Gue mencoba bertahan dengan menahan napas sampai mata gue berair. Sebuah tangan mencegah gue untuk membuka luka itu lebih jauh, dan gue melihat sosok Lay yang kini berdiri di samping dengan jas dokternya. Tanpa mengatakan apa pun ia mengambil alih seluruh peralatan di tangan gue dan mulai mengganti balutan itu. Gue yang sudah tidak tahan dengan baunya pun melangkah keluar ruangan tanpa pikir panjang. Gue menunggu Lay menyelesaikan perawatannya di depan kamar perawatan, begitu ia keluar dari kamar perawatan gue langsung mengambil alih semua peralatan yang ada di tangannya dan segera membuang peralatan yang sudah terpakai ke tempat sampah khusus yang sudah disediakan. Gue sedang mencuci tangan saat Lay menghampiri dan ikut berdiri di belakang. Gue memejamkan mata sesaat dan segera membalikan tubuh ke arah Lay. "Mau apa lagi?" tanya gue dengan ketus. "Udah lupa cara mengucapkan terima kasih yang baik kayak gimana?" tanyanya sarkas. Gue akui gue sudah banyak berhutang budi padanya, terutama hari ini, tetapi ego gue terlalu tinggi untuk sekadar mengucapkan rasa terima kasih hingga gue memilih bungkam. Tubuh Lay tiba-tiba menghimpit tubuh gue dengan wastafel yang membuat gue memekik pelan, tangannya lalu bergerak ke belakang tubuh gue dan mematikan keran air yang masih menyala. "Lain kali matiin kerannya kalau sudah selesai cuci tangan," ucapnya dengan wajah yang tepat berada di depan wajah gue. Setelahnya ia meninggalkan gue begitu saja yang masih syok dengan sikapnya barusan. "Git!" panggil Nana yang membuat gue segera menghampirinya sambil menenenangkan degupan jantung yang bekerja lebih cepat akibat perbuatan Lay barusan. Nana terlihat sibuk dengan banyaknya rekam medik pasien yang harus dicek dan diisi. Sedangkan Lay tengah berada di ujung lorong sedang berdiskusi dengan dokter Kuyanu yang baru saja keluar dari ruang 320. "Kenapa Kak?" "Tolong tanya ke lab mana hasil cek darah Ny. Sinta di kamar 312, saya tadi udah coba telepon tapi nggak diangkat. Kamu ke sana ya coba tanya? Harusnya udah keluar dari tadi sore." "Baik Kak," ucap gue mengiyakan. Lebih baik gue pergi dari sini dibandingkan harus menghadapi Lay lagi. Setelah selesai mengambil hasil cek darah Ny. Sinta, gue melewati ruangan IGD yang cukup ramai. Suara pintu ruang IGD yang dibuka membuat perhatian gue teralihkan, dan gue melihat Changmin sedang bersama seorang perempuan yang terkulai lemah di gendongannya. Changmin... siapa perempuan itu? Melihat ekspresi wajah Changmin yang begitu panik saat ini membuat gue merasa sedikit terganggu. Amplop hasil pemeriksaan darah di tangan gue menjadi lecek akibat genggaman gue yang menguat. Rasanya gue ingin menghampiri Changmin detik ini juga dan bertanya siapa perempuan itu.  Menyadari bahwa ini masih jam kerja, gue memilih untuk menghirup napas panjang untuk menenangkan diri dan beranjak untuk pergi kembali ke ruangan gue. "Git!" Suara Changmin yang terdengar dari kejauhan membuat langkah gue terhenti. Sebuah tangan menggenggam tangan gue dan menariknya untuk pergi ke arah lorong yang lebih sepi. Di sana, Changmin ─si pelaku yang menggenggam tangan gue─ memeluk gue dengan erat. "I miss you," bisik Changmin di telinga. Gue melepaskan pelukan Changmin dan menatap wajahnya yang kini terlihat penuh kelegaan. Berbeda sekali dengan hati gue yang sepertinya bertambah beban. "Kamu ke mana aja?" tanya gue dengan sedikit ketus. Changmin tidak membiarkan gue terlalu lama lepas dari dekapannya, ia kembali membawa gue ke dalam pelukannya. "Aku disuruh Mama pergi ke villa keluargaku, kata Mama cuma sebentar. Terus aku nemu surat dari Mama kalau surat cutiku udah diurus seminggu ini. Semua ponsel yang aku tinggal di mobil beserta mobilnya dibawa entah ke mana sama orang suruhan Mama, aku nggak bisa ngehubungin kamu sama sekali selama di villa. Aku seneng banget bisa ketemu kamu sekarang!" Nada suara Changmin terdengar ceria. Changmin tidak pernah berbohong pada gue, sekali pun. Mengetahui bagaimana watak Ibunya Changmin, semua yang dikatakan Changmin kemungkinan besar benar. "Terus perempuan tadi siapa?" Pertanyaan gue sukses membuat tubuh Changmin mengkaku. Tanpa penjelasan lebih jauh, gue sudah dapat menyimpulkan semuanya. "Perempuan itu yang dijodohin sama kamu kan?" Changmin melepaskan pelukannya dan kini tangannya beralih untuk menangkup kedua pipi gue. Wajah Changmin menyiratkan rasa bersalah yang begitu besar saat ini. "Git, aku bisa jelasin." "Aku harus kerja sekarang," ucap gue seraya melepaskan kedua Changmin yang menangkup wajah. Sebisa mungkin gue menyunggingkan sebuah senyuman meski gue yakin pada akhirnya senyuman itu nggak akan bisa menutupi serpihan kekecewaan. Gue baru saja ingin beranjak, tapi Changmin menahan langkah gue untuk menjauh dengan cara menahan kedua bahu gue. "Git, perempuan itu memang perempuan yang Mama maksud. Tapi kami sama sekali nggak berinteraksi apa pun. Aku hanya keluar dari kamar untuk makan dan mengabaikan semua panggilan Mama dan perempuan itu." "Siapa nama perempuan itu?" Changmin membatu. Bibirnya terkatup dengan begitu rapat, sementara matanya menatap gue seolah tidak ingin memperpanjang percakapan ini. "Siapa namanya?" ulang gue. "Riana," jawab Changmin pelan. "Riana kenapa? dia sakit apa?"  Changmin melihat gue dengan pandangan penuh tanya, seakan begitu heran dengan pertanyaan yang gue ajukan. "Untuk ap─" "Jawab Changmin!" sela gue dengan nada cukup tinggi. Entah mengapa emosi gue meluap saat ini dan tidak terbendung, padahal gue sudah mencoba menekannya. "Tumor... Riana punya tumor otak," jawab Changmin lirih. Gue tersenyum miris. Bahkan Ibu Changmin lebih merelakan anaknya dengan sesorang yang memiliki penyakit yang cukup parah dibandingkan dengan gue, hanya karena sebuah status sosial? "Git, you know you're the one who have all of my heart, right? Mobilku baru dikirim ke villa tadi pagi, dan Riana minta untuk pulang bareng aku. Aku nggak punya pilihan lain karena Mama udah mengatur semuanya. Tadi tiba-tiba dia mimisan dan pingsan di mobil jadi aku bawa dia ke sini." Mata gue mulai terasa panas dan kini mulai digenangi air. Changmin yang melihat itu langsung membawa gue ke pelukannya yang gue balas tak kalah erat setelah sebelumnya gue sama sekali tidak merespon pelukannya. Changmin adalah sandaran gue selain Jeno, karena dia juga gue bisa bertahan sampai sejauh ini. "Satu-satunya wanita di dunia ini yang aku cintai ya cuma kamu, dan aku harap kamu bisa bertahan sampai aku bisa meyakinkan Mama." "Lalu Riana?" "Riana nggak punya kesempatan hidup yang lama, Git. Mama tau pasti akan hal itu jadi dia nyuruh aku untuk cepat-cepat menikahinya, supaya saham milik Riana di perusahaan keluarganya akan digantikan oleh nama aku." Cengkraman gue pada kemeja Changmin menguat, Ibu Changmin selalu saja memperalat anaknya, bahkan Changmin tidak bisa menentukan kebahagiaannya sendiri. Sungguh keterlaluan. "Aku minta sama kamu untuk bertahan sampai saat itu, Riana nggak akan bertahan lama. Dia juga bilang nggak mau merusak kebahagiaan aku maupun kamu." "Kita nggak bisa memprediksi ajal Changmin," ucap gue lirih. "Aku akan mengulur waktu selama mungkin hingga hal itu nggak akan terjadi, Git. Tolong percaya sama aku," pinta Changmin memohon. "Excuse me?"  Suara teguran itu membuat gue reflek melepaskan pelukan Changmin dan mengusap air mata gue yang hampir tumpah. Saat gue membalikkan tubuh ke arah suara itu, gue benar-benar menyesal telah mengenal orang ini di hidup gue. "Lay? lo kerja di sini?" tanya Changmin dengan terkejut. "Gue kira di keluarga lo nggak ada yang punya background kesehatan selain bokap lo, ternyata lo juga?" "Gue sempet kuliah kedokteran sabelum fokus di dunia modeling."  Gue mendekatkan tubuh ke arah Changmin yang langsung disambut oleh Changmin dengan sebuah rangkulan. Pandangan Lay mengarah ke arah tangan Changmin yang bertengger manis di bahu gue sebelum menyunggingkan sebuah senyum separuhnya ke arah gue. Senyumnya seperti mengisyaratkan sebuah ancaman. "Ah, i see, seneng ngeliat lo di sini. Gue jadi bisa nitip untuk ngawasin cewek gue selama dia kerja," guyon Changmin dengan tawa.  Lay tersenyum dan menganggukkan kepalanya sekali. "Tenang, gue akan selalu mengawasi cewek lo," timpal Lay dengan penekanan pada beberapa kata. Saat ini Changmin seperti mengumpankan gue ke dalam kandang seekor Singa. "Haha... thanks Lay. Gue tau banyak dokter ganteng di sini jadi cewek gue ini perlu sedikit diawasi," ucap Changmin sambil mengeratkan rangkulannya dan mengelus pipi gue dengan lembut. Changmin sama sekali tidak menyadari tatapan Lay berubah begitu ia tidak melihat ke arahnya, kepalan tangannya menguat dan melihat ke arah gue dengan pandangan yang cukup menusuk. Lay dan Lay... rasanya muak bila mengingat nama itu begitu dielu-elukan oleh semua orang. Kenapa dia begitu mudahnya untuk dicintai? Bahkan bagi gue yang sudah mendeklarasikan diri sebagai pembencinya. "Kamu kok diem aja? Makanannya nggak enak?" tegur Changmin yang membuat gue terhenyak dan kembali meraih kesadaran. "Ah, enggak kok, enak," jawab gue sambil menggulung Fettucini dan menyuapkannya. Makanan kesukaan gue ini seakan tidak memiliki cita rasa, untuk menelannya pun kini terasa sulit. "Ngomong-ngomong kalian nggak apa istirahat lebih lama?" tanya Changmin ke arah Lay yang tengah duduk di depan gue saat ini. "Nggak masalah," jawab Lay tenang. Setelah pertemuan singkat tadi, Changmin mengajak gue dan Lay untuk makan siang bersama sebagai ucapan terima kasihnya kepada Lay yang sudah mau 'mengawasi' gue selama di rumah sakit. Ya, rasanya seperti sebuah neraka kecil. Mereka berdua terlarut dalam percakapan antar laki-laki sementara gue memilih untuk tidak acuh. "Ah, iya, kenapa Sugi nggak ngambil dunia medis kayak lo Lay?" "Passion dia di bisnis." "Kalau lo dari awal memang tertarik sama dunia medis?" "Ya, mungkin." Changmin tertawa dengan renyah begitu mendengar jawaban Lay. Sedangkan gue merasa begitu kesal. Mungkin? Setelah merebut impian gue dia menjawabnya dengan sesantai itu? Rasanya gue ingin menampar wajah tampannya saat ini juga. "Terus adik lo yang paling kecil?" "Sandra masuk kedokteran tahun ini." "Ah, i see. Jadi kalian berdua yang melanjutkan bisnis rumah sakit?" "Bisa dibilang," timpal Lay singkat. Gue tidak bisa menelan makanan dengan mudah karena tatapan Lay yang begitu intens terhadap gue sejak awal kami mendudukkan diri di restoran ini. Ia bahkan tidak menutupi itu semua dari Changmin. "Sejak kapan kalian berhubungan?" tanya Lay yang membuat alis gue menyerit. "Sejak—" "Itu semua bukan urusan Anda," potong gue dingin. Changmin terlihat terkejut sebelum kembali mengeluarkan senyuman ramahnya. Ia merangkul bahu gue dan merengkuhnya dengan sebelah tangan. "Dia emang kurang welcome sama orang baru karena kejadian di masa lalu, gue pun butuh waktu cukup lama untuk bisa masuk ke hatinya," jelasnya. Lay menyunggingkan sebuah senyuman meremehkan yang membuat emosi gue meluap. "Oh ya? Masa lalu seperti apa yang membuatnya sampai menutup diri dengan orang baru?" Lay bertanya tanpa dosa, sementara dia tau dengan pasti apa jawabannya. "Masa lalu ya masa lalu, di dalam hubungan kami itu nggak perlu diungkit atau dikorek kembali, karena yang ada hanya saat ini dan masa depan," jawab Changmin dengan bijak. Ya, sebelumnya gue sudah membicarakan hal ini dengan Changmin untuk tidak mengorek sedikitpun tentang masa lalu gue yang menyakitkan agar gue bisa lebih mudah melupakan Lay. Tapi kini sang pemegang kunci kotak pandora yang berisikan semua kenangan getir itu telah kembali, membuka semua memori dari hati yang tersakiti. Suara ponsel Changmin membuat kami menoleh, begitu melihat layar ponselnya, wajahnya terlihat gusar. Setelah melihat nama 'Mama' tertera di sana, gue mengerti kenapa Changmin berekspresi seperti itu. "Aku angkat dulu teleponnya ya? Kamu bisa ngobrol sama Lay biar nggak canggung, karena kita juga akan jadi keluarga nantinya." Changmin lalu beranjak keluar dari restoran dan berdiri di pelataran. Meninggalkan gue dan Lay yang kini berhadapan dengan lecutan emosi yang tidak terkendali. Di luar dugan, Lay tidak mengeluarkan sepatah kata pun hingga Changmin kembali ke sisi gue dengan wajah yang tertekuk. "Kenapa?" tanya gue yang menyadari perubahan raut di wajah Changmin. Sesuatu pasti telah terjadi. "Nanti malem aku jemput kamu di rumah, sekarang aku harus pergi," jelas Changmin. Gue menganggukkan kepala dan menyunggingkan sebuah senyum. Changmin tidak perlu melihat wajah sendu gue yang hanya akan menambah bebannya. "Lay? Gue titip Inggitsya ya, kalian balik lagi ke rumah sakit kan?" Lay mengangguk sementara gue terbelalak. "Tapi Changmin—" Sebuah kecupan singkat di bibir membuat gue bungkam. Gue bingung harus bereaksi seperti apa saat ini. "See you tonight, i love you."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN