BAB 11

1632 Kata
Setelah pertimbangan yang cukup panjang, akhirnya gue memutuskan untuk menggunakan uang tabungan yang Changmin berikan untuk memasukan Jeno ke Universitas kedokteran di Kota Makassar. Gue harus mengasingkan Jeno secepat mungkin agar ia tidak mengetahui mengenai kehamilan gue. "Kalau ada apa-apa jangan lupa bilang ya?" nasihat Jeno saat gue mengantarnya ke Bandara bersama Changmin. Gue sudah mencoba untuk menahan air mata gue untuk tidak keluar, tapi entah bagaimana caranya mereka bisa lolos begitu saja. Jeno melangkah mendekat dan memeluk gue. "Kita masih bisa komunikasi kan Mbak? Jangan nangis, Jeno akan berat untuk pergi kalau Mbak nangis gini." Gue melepas pelukan Jeno dan menghapus air mata gue dengan kasar. "Belajar yang bener ya?" "Tentu, Mbak, pasti." "Mbak minta nomor kakak tingkatmu, si Tanjung Tanjung itu, jangan lupa kabarin Mbak setiap hari ya?" Jeno mengangguk dengan mantap. "Jeno akan usahakan untuk terus menghubungi Mbak, jaga diri di sini ya Mbak," ucap Jeno dengan senyuman. Jeno lalu beralih ke Changmin, ia memeluknya singkat. "Tolong jaga kakakku ya Mas, cuma Mas yang kupercaya untuk jaga Mbak." "Pasti, kamu fokus kuliah aja, Mas akan jagain Mbakmu," ucap Changmin seraya merangkul gue untuk mendekat ke arahnya. "Makasih banyak ya, Mas." Jeno menghadap ke arah gue dan menghapus air mata gue yang tidak bisa berhenti mengalir. "Jeno berangkat ya Mbak, kalau ada apa-apa jangan lupa kabari, Jeno akan langsung pulang." "Ongkos mahal, kalau nggak perlu-perlu banget, nggak usah pulang."   "Kalau Mbak nyuruh Jeno pulang, Jeno akan pulang." Jeno mengenakan topi dan menarik kopernya dengan tangan kiri, tangan kanannya melambai untuk mengucapkan salam perpisahan.  Kami sudah pernah berpisah saat gue menjalani studi dulu karena gue tinggal di asrama, namun kini gue merasa lebih berat untuk melepasnya pergi, karena gue yakin badai besar akan datang ke dalam kehidupan gue dan gue tidak bisa meminta seorang pun untuk membantu dan menolong. "Kita pulang yuk?" ajak Changmin.  Gue mengangguk singkat dan mengiyakan. Selama perjalanan pulang gue hanya terdiam, merenungkan akan bagaimana nasib gue ke depannya. Changmin hanya terdiam karena sepertinya ia mengerti bahwa gue tengah bersedih karena harus berpisah dengan Jeno. "Git?" tepukan Changmin pada bahu menyadarkan gue dari lamunan. "Kenapa Mas?" tanya gue bingung. "Kita udah sampai," jawab Changmin. Gue melihat sekeliling dan baru menyadari jika kini sudah sampai di depan rumah kontrakan yang gue tempati. "Ah, iya," timpal gue pelan. Changmin membantu gue melepaskan sabuk pengaman dan menggenggam tangan gue. "Aku tau kamu berat melepas Jeno pergi, tapi dia ke sana untuk belajar. Jangan terlalu sedih, oke?" Gue mengulum senyum singkat dan mengangguk. "Aku tau." "Jangan lupa makan teratur dan istirahat ya, Sayang. Kamu pucat terus akhir-akhir ini." Changmin menasihati. "Good night, aku duluan ya, hati-hati nyetirnya," pamit gue. Gue memilih untuk tidak terlibat percakapan lebih jauh bersama Changmin, dan masuk ke dalam rumah untuk menenangkan diri. Setelah membersihkan diri, gue memutuskan untuk terlelap.                                                       *** Suara notifikasi beruntun di ponsel membuat gue terbangun. Gue melihat banyak panggilan masuk dari Changmin dan para sahabat gue, begitu pun dengan rekan kerja di rumah sakit. Gue mengerutkan alis, tidak biasanya notifikasi gue ada sebanyak ini. Panggilan dari Iim membuat gue segera mengangkatnya tanpa mengecek notifikasi lainnya.  "Halo?" "Lo udah lihat beritanya?" cerocos Iim yang membuat alis gue menyerit. "Berita? Berita apa? Gue aja baru bangun." "Ada foto lo sama Lay di klinik beredar luas! Sampe masuk lambe-lambean!" Seketika kepala gue menjadi pening. "Apa gosipnya?" "Belum ada, tapi mereka mulai bertanya-tanya tentang siapa cewek yang ada di klinik bareng seorang Laynard Abraham." "..." "Git, lo masih berhubungan sama Lay setelah malam itu? Ada yang nggak lo ceritain ke kita?" "Sorry, gue butuh waktu untuk menjelaskan semuanya." Gue memilih untuk memutus panggilan tersebut dan mengecek notifikasi lainnya. Beberapa orang bahkan sudah menandai gue di beberapa post di foto-foto yang beredar luas di i********:, yang membuat semuanya runyam adalah Lay terlihat jelas sedang memegang amplop hasil laboratorium sedang berjalan sambil menarik tangan gue.  Bagaimana gue menjelaskan ini semua ke Changmin?! Kepala gue terasa sangat sakit, dan morning sickness memperparah keadaan. Sepertinya melewatkan makan malam kemarin merupakan pilihan yang tidak tepat, tubuh gue seperti tidak berdaya saat ini. Untungnya hari ini gue tidak bekerja, jadi gue memiliki waktu istirahat lebih, lagipula gue tidak siap menjawab pertanyaan yang rekan-rekan gue lontarkan nantinya. Gue mencoba untuk menghubung Changmin untuk menjelaskan semuanya, namun nihil, Changmin tidak bisa dihubungi, gue malah mendapat panggilan dari Jeno. "Mbak?" sapa Jeno di seberang telepon. "Iya Jen?" "Udah lihat i********:? Ada foto Mbak sama Bang Lay. Sejak kapan Mbak ketemu lagi sama Bang Lay?" "Belum lama." "Mbak sakit ya? Kok fotonya ada di klinik? Suara Mbak juga lemes, jangan nutupin apa pun dari Jeno Mbak." "Mbak nggak sakit, Mbak cuma nemenin Lay. Ini Mbak baru bangun." "Syukurlah, Jeno lega dengernya. Mas Changmin gimana?" "Masmu belum bisa Mbak hubungi." "Jelasin aja Mbak, Mas Changmin pasti ngerti." Mungkin Changmin akan mengerti, tapi tidak dengan keluarganya... "Nggak usah mikirin Mbak, kamu sendiri di sana gimana?" "Di sini enak, Kak Tanjung ngebantu Jeno banget." "Salam buat Tanjung, nanti kalau Mbak kirim kiriman untuk kamu, akan Mbak kirim untuk dia juga." "Iya Mbak, jaga kesehatan ya," "Iya, kamu juga." Gue memutuskan sambungan telepon. Suara pintu yang diketuk membuat gue melangkah keluar kamar dengan langkah gontai.  Sosok Lay yang memakai masker kini berdiri di depan pintu, membuat gue reflek menutupnya kembali, namun ternyata Lay bergerak lebih cepat dan dengan sigap menahan pintu menggunakan kakinya. "Kita harus ngomong." "Ngomong aja, gue nggak mau ngeliat muka lo!" "Dan lo mau foto kita kesebar lagi di akun gosip yang lagi memburu identitas lo sekarang?" Perkataannya membuat gue mengalah dan membukakan pintu. Lay kemudian masuk dan duduk tanpa gue persilakan terlebih dahulu. "Mau lo apa sekarang?" tanya gue tanpa basa-basi. "Mau lo apa sekarang?" tanyanya balik yang membuat gue mendelik. "Jangan membalikkan pertanyaan gue!" Lay terdiam dan menolehkan kepalanya ke sana ke mari, mengobrsevasi keadaan rumah, mengabaikan perkataan gue yang membuat emosi bertambah. "Gue laper, ayo sarapan!" "Kenapa lo nyari sarapan di sini di saat ratusan tempat makan lo lewatin sebelum sampai ke sini?!" tanya gue tidak habis pikir. "Gue hanya ingin memastikan lo baik-baik aja, setelah adik lo pergi nggak akan ada yang ngingetin lo untuk menjaga kesehatan," jawab Lay yang sukses membuat gue bungkam. Perhatian ini, perhatian yang dulu selalu ia curahkan hingga gue bertekuk lutut dan dengan mudahnya menyerahkan segalanya. Ya, segalanya. "Kenapa lo seperti ini di saat lo bahkan belum mengetahui Ayah biologis bayi ini, Lay?" ucap gue dengan getir. Lay terdiam, sama sekali tidak merespon ucapan gue. Perhatian yang ditunjukkannya saat ini membuat batin gue bertanya-tanya, mungkinkah perasaan yang selama ini gue klaim sebagai perasaan sepihak kini terbalaskan? Jika ya, kenapa harus sekarang? Di saat gue sudah memiliki Changmin. Suara ketukan pintu membuat gue beranjak. Seorang pengemudi ojek online kini berdiri dengan dua kantong plastik di tangannya. "Pesenannya Mbak," ucap bapak itu. Gue menoleh ke arah Lay yang hanya memperhatikan kami dari tempatnya, sepertinya semua makanan ini dipesan olehnya.  Gue mengambil kedua kantong plastik itu dan masuk ke dalam rumah dan menaruhnya di hadapan Lay. "Ini apa?" "Udah gue bilang kan, gue laper, itu sarapannya," jawabnya tenang.  "Silakan bawa pulang makanan ini, dan pergi dari rumah gue!" Sebuah sentakan kasar membuat gue oleng. Lay mendudukkan gue di kursi dengan gerakan begitu cepat hingga kepala gue terasa pusing dan pandangan gue memburam. Ia kini mendudukkan diri di depan dan memeriksa nadi gue. "Kapan terakhir makan?" tanyanya sambil mengunci pandangan gue. Gue memilih untuk menoleh ke arah lain. "Bukan urusan lo," timpal gue ketus. Lay menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya untuk memegang dagu gue dan membuat gue kembali menghadapnya untuk menatapnya. "Jawab," balasnya dengan nada tegas, penuh penekanan. "Kemarin siang, sebelum Jeno berangkat," jawab gue pada akhirnya. Lay lalu mengecek konjungtiva dan melepaskan jarinya dari dagu gue. "Gue nggak akan pulang sebelum lo makan," ucapnya final. Kini ia membaringkan diri di kursi tanpa menggubris decakkan kesal yang gue lontarkan. "Konjungtiva anemis, denyut nadi lemah, pandangan nggak fokus. Kondisi lo nggak bisa dibilang baik." Gue berdecih. "Terima kasih kepada orang yang sudah meningkatkan kadar stress gue akhir-akhir ini, Tuan Laynard Abraham." "Lo yang membuat diri lo terjatuh ke lembah penuh ke stressan itu," ucap Lay dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Terima kasih untuk melimpahkan segala kesalahan ke gue, tanpa memberi solusi, Lay," balas gue dengan kesal "Gue punya solusi," ucap Lay yang membuat gue reflek menoleh ke arahnya dan bertanya apa. "Gue mengirim video itu ke Changmin, dan semuanya selesai." "b******k!" umpat gue begitu lancar. Kehadiran Lay benar-benar membuat kepala gue berdenyut nyeri. Gue memilih untuk pergi ke dapur untuk memasak air hangat untuk menyeduh s**u ibu hamil yang selama ini gue sembunyikan di dalam tas untuk menutupinya dari Jeno. Sepertinya minuman hangat akan membuat gue menjadi lebih baik. Lay ikut menghampiri gue ke dapur dan mengambil alih air panas yang akan gue tuang lalu menuangkannya ke dalam gelas. Selama Lay membuatkan s**u, gue memilih untuk kembali ke depan dan duduk di kursi dan menemukan dua buah jenis obat yang gue hafal sebagai tablet penambah darah, juga asam folat, zat yang sangat diperlukan ibu hamil di awal kehamilannya. Mungkin Lay yang menaruhnya karena gue tidak pernah membeli obat iu. Lay datang dan menaruh segelas s**u yang dibuatnya di hadapan gue. "Gue rasa gue nggak perlu jelasin dosis yang harus lo minum bukan?" ucapnya sambil mengambil masker dan topinya yang sempat ia buka tadi. "Karena sepertinya lo nggak mau sarapan sama gue, gue akan pergi. Tapi tolong makan." Gue masih bergeming, begitu bertanya-tanya akan sikapnya yang suka berubah-ubah dalam waktu singkat. "Kalau lo kesusahan untuk menjelaskan ke Changmin, gue akan bantu menjelaskan." Lay kemudian keluar dari rumah, meninggalkan gue yang merasa sangat kosong. Gue benar-benar tidak bisa mendeskripsikan apa yang gue rasakan saat ini. Gue membuka kantong plastik yang Lay pesan dan menemukan beberapa kue dan makanan kesukaan yang kami sering makan dulu. Dalam tangis, gue memakannya dengan perlahan. Rasa sakit ini, terlalu menyiksa...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN