Sebulan berlalu, akhirnya waktu yang dinantikan pun hampir tiba. Sebulan ini, Wira begitu bekerja keras untuk mempersiapkan pernikahannya dengan menuruti segala keinginan Sera yang terbilang sangat muluk-muluk. Memang ia tidak mengeluarkan biaya sedikit pun, karena semua biaya ditanggung Pak Handoko. Tapi keinginan Sera yang ingin begini dan begitu membuat laki-laki itu kerepotan. Bahkan untuk fitting baju saja entah berapa kali ia harus bulak-balik, karena Sera yang selalu saja ribet mempermasalahkan sesuatu yang terbilang sepele, belum lagi keinginannya yang suka berubah-ubah. Semuanya harus sempurna baginya, tidak boleh ada cacat sedikit pun dan semuanya harus sesuai keinginannya.
Wira menghembuskan nafas kasar, ia merebahkan diri di kamar mess yang disediakan oleh instansi tempatnya bekerja, yang sudah lima tahun ini menjadi tempatnya bernaung. Memejamkan mata sesaat, ia merasa teramat lelah setelah seharian menuruti keinginan Sera. Pikirannya menerka-nerka, baru segini saja sudah terlihat watak Sera. Dia wanita yang rumit.
"Allah, semoga aku tidak menyesal dengan keputusan ini." gumamnya sudah ketakutan duluan.
Meraih handphone, ada suatu hal yang harus ia urus. Menekan tombol icon kamera pada kontak bernama 'Gadisku', ia melakukan panggilan video pada Rinjani melalui aplikasi chat berwarna hijau. Tidak butuh waktu lama sampai panggilan itu tersambung, menampilkan seraut wajah cantik dengan bibir kemerahan yang segera menguraikan senyum tipis yang begitu memikat.
Keduanya yang terpisah jarak itu terlibat obrolan sebagaimana biasanya. Mendengarkan ocehan gadis cantik bernama Rinjani sambil sesekali tertawa sudah menjadi rutinan Wira jika baru saja melakukan panggilan. Barulah lima belas menit kemudian, laki-laki itu bersuara.
"Rinjani ...."
"Iyaa?"
"Mulai besok, kita gak bisa terlalu sering bertukar kabar seperti biasa." ujarnya dengan wajah muram.
Rinjani menautkan kedua alisnya, heran. "Kenapa, Kak?"
"Emmm itu, entahlah. Ada peraturan baru di tempat kerja."
"Peraturan apa?"
"Emmm, untuk ... untuk tidak memainkan ponsel sedikit pun selama bekerja. Sekalipun itu sedang istirahat atau sedang tidak ada kesibukan." Wira memejamkan mata, inilah kebohongan pertama yang ia lakukan kepada Rinjani.
"Hahh kok bisa?" Selama ini, sekalipun sedang bekerja, tapi Wira selalu ada waktu untuk membalas semua chat Rinjani walau sekadarnya, tentu saja itu dilakukan saat kesibukannya sudah berkurang.
"Dan juga ... hari libur kakak sekarang berubah. Bukan Sabtu-Minggu lagi, tapi ... di hari lain." Matanya memandang ke arah samping, inilah kebohongan keduanya. Di hari Sabtu-Minggu itu ia libur dan menghabiskan waktu di rumah nantinya. Tidak mungkin ia bisa menghubungi Rinjani di saat waktu-waktu bersama Sera.
"Yahh, kenapa jadi begitu?" Air wajah gadis cantik itu nampak keruh. LDR-an saja sudah cukup membuat ia tersiksa lima tahun ini, sekarang ditambah dengan sulitnya mereka untuk berkomunikasi.
"Ja-jadi ... selama kakak belum menghubungi kamu, sebaiknya kamu jangan menghubungi kakak ya, Sayang?"
"Terus kakak bisa menghubungi akunya kapan?"
"Di saat kakak libur,"
"Tapi liburnya hari apa?"
"Belum pasti. Itu belum pasti."
Hening sesaat. Rinjani masih belum mengerti.
"Pokoknya saat kakak libur, kakak pasti hubungi kamu. Yang terpenting jangan hubungi kakak kalau kakak belum menghubungi kamu. Mengerti?"
Rinjani menganggukkan kepala. Wajahnya nampak kecewa, bukan kepada Wira. Melainkan pada instansi tempat Wira bekerja yang baginya telah melanggar kebebasan para pegawainya. Apa salahnya bermain ponsel yang terpenting tidak mengganggu kinerja pegawai itu sendiri? Kenapa harus dilarang sampai ke waktu istirahat sekali pun? Dan lagi, kenapa peraturan baru itu harus menggeser jatah libur Wira ke hari lain yang bahkan belum diketahui 'kapan' pastinya?
Melihat ekspresi sendu di wajah Rinjani, Wira buru-buru mengalihkan pandangan. Tidak tega melihatnya. Rinjani gadis yang polos, bahkan begitu mudahnya membohongi gadis itu dengan alasan yang tidak masuk akal. Dan dengan begitu mudahnya juga ia percaya.
'Maafin Kakak, Rinjani. Maaf.' Batinnya berteriak.
"Aku gapapa, Kak. Aku bisa menahan rindu ini. Tapi yang aku khawatirkan itu kakak, pasti kakak merasa tersiksa 'kan dengan peraturan itu? Kakak harus semangat, ya?" ujarnya mengulas senyum tipis.
Wira terpana sesaat. Tak disangka respon gadis itu justru malah sebaliknya. Menundukkan pandangan, matanya seakan memanas. Respon Rinjani barusan sukses membuat dirinya semakin merasa bersalah, sungguh laki-laki itu merasa telah menjadi laki-laki b******k yang telah begitu kejamnya mengkhianati gadis sebaik Rinjani. Andaikan Rinjani tau yang sebenarnya, mungkinkah ia akan kecewa dan meninggalkan Wira? Tertegun sesaat, laki-laki itu menggelengkan kepala. Rasa takut memenuhi rongga d**a. Tidak boleh! Rinjani tidak boleh pergi dari sisinya!
"Rinjani, kakak sayang banget sama kamu. Demi Tuhan, kakak amat sangat sangat mencintai kamu!" ungkapnya hampir meledak meluapkan semua emosi cintanya. Andaikan gadis itu ada di hadapannya, pasti sudah ia peluk erat-erat. Sedangkan ekspresi wajah laki-laki itu nampak kacau.
"Aku juga sayang sama kakak." Rinjani mengulas senyum tipis, pancaran matanya begitu menyiratkan ketulusan.
"Apapun yang terjadi, berjanjilah kamu nggak akan meninggalkan kakak, ya? Berjanjilah sama kakak, kamu nggak akan menjauh dari kakak, Sayang?"
"Kak, aku masih di sini. Masih setia sama kakak. Dan akan tetap menyayangi dan mencintai kakak. Kakak juga jangan tinggalin aku."
Laki-laki itu mengangguk berkali-kali. Baginya, pernikahannya yang akan dilaksanakan lusa itu bukan untuk meninggalkan Rinjani, tapi selangkah lebih dekat untuk menggapai cita-citanya bersama Rinjani.
Sebelum panggilan itu diputus sekalipun, Wira masih terus meminta pada Rinjani untuk tetap setia padanya, apapun yang terjadi, apapun yang terjadi. Sedangkan Rinjani yang tidak tahu apa-apa, begitu tulusnya memberikan janjinya pada laki-laki itu.
Malam itu setelah satu jam lamanya mereka saling menghubungi via telepon, untuk pertama kalinya kontak Rinjani yang disimpan dengan nama 'Gadisku', Wira ubah dengan nama lain.
'Sepupu Jauh'
***
Dua hari kemudian,
Kalimat sakral pengikat dua insan menjadi halal itu diucapkan Wira dengan satu tarikan napas. Kata sah dari para saksi menjadi tanda bahwa statusnya telah berubah menjadi seorang suami dengan tanggung jawab Sera di pundaknya.
Di saat yang bersamaan, di sudut kamar yang sempit, seekor cicak merayap cepat ke belakang pigura yang terpajang di dinding hingga bergoyang karena pergerakannya.
Praannggg!
Rinjani tersentak, sambil membawa secangkir teh hangat ia berlari menuju kamar. Ekspresinya terkejut saat melihat pigura dengan foto ia bersama dengan Wira jatuh begitu saja hingga kacanya hancur berantakan.
"Ahh kenapa tiba-tiba jatuh?" Ia meringis, menyayangkan itu adalah pigura yang diberikan Wira sebelum keberangkatannya pertama kali ke Jakarta dulu.
"Di pajang di kamar, ya? Supaya bisa liatin kakak terus dan gak lupa kalau kamu itu pacar kakak. Jadi jangan coba-coba nakal apalagi selingkuh." ucap Wira kala itu sambil mencubit hidungnya yang mancung.
Rinjani bergerak cepat untuk memungut foto yang jatuh tersebut. Ia menaruh tehnya asal. Belum sempat mengenai lantai, gelasnya sudah jatuh duluan. Tehnya tumpah dalam sekejap hingga membasahi lantai semen di bawahnya, termasuk foto Rinjani dan Wira yang sedang bersama.
"Allahu ... sudah jatuh tertimpa tangga pula." Ia bergumam dengan raut sedih.
Sudah piguranya jatuh dan hancur, kini fotonya turut serta basah dan luntur warnanya.
"Kenapa jadi begini, sih?" gumamnya sendirian.
Memegangi d**a, entah kenapa hati dan perasaannya tidak enak. Teringat Wira yang entah sedang apa. Rasa khawatir membuncah, apa Wira baik-baik saja? Apa laki-laki yang amat dicintainya itu dalam keadaan sehat? Meraih handphone ia ingin sekali menghubungi Wira dan mendengar suaranya. Ingin memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Hampir saja menekan ikon telepon di kontak dengan nama 'My Future', detik kemudian terdiam sesaat saat mengingat pesan Wira yang begitu diwanti-wanti,
"Jangan menghubungi kakak, kalau kakak belum menghubungi kamu." Demikian kalimat Wira tersebut begitu terngiang-ngiang di kepala. Hingga niatannya tersebut urung ia lakukan.
"Kakak maaf, aku gak bisa jaga pemberian kakak dengan baik. Maaf Kak, maaf." gumamnya berkali-kali.
***