Pernikahan Wira dan Sera digelar dengan begitu mewah layaknya artis. Tamu undangan memenuhi ballroom ternama hampir padat merayap. Dari mulai teman relasi Pak Handoko, teman-teman sosialita Sera sampai para karyawan yang bekerja di instansi yang Pak Handoko pimpin. Itu pun dibuat beberapa sesi secara bergantian dengan diatur di jam-jam tertentu, karena jumlah para karyawan sampai ribuan. Tidak mungkin langsung meledak dalam satu waktu.
Air mata haru membasahi pipi ibunya Wira. Wanita kampung itu tidak menyangka, anaknya bisa menikah dengan resepsi begini mewahnya. Bahkan dengan seorang gadis anak atasannya sendiri, dari keluarga kaya raya. Wira yang hanya pemuda kampung, akhirnya bisa menjadi hebat seperti sekarang ini adalah kebanggaan terbesar wanita paruh baya tersebut.
Lalu saat tiba waktunya sungkem, Sera lebih banyak menghabiskan simpuhnya kepada ayahnya tersebut, saat dirinya simpuh kepada ayah dan ibunya Wira gadis itu nampak ragu dengan memasang wajah yang tak bisa dijelaskan. Meskipun keluarganya Wira memakai pakaian bagus yang telah ia siapkan agar mereka tidak terlihat kampungan, tetap saja Sera memiliki rasa lain di hatinya.
"Kemarilah, Nak. Menantuku ...." Ibunya Wira ingin memeluk menantunya itu, tapi ekspresi terkejut terlihat di wajah Sera. Dari wajahnya seakan-akan wanita tersebut sedang mengucapkan kalimat "beraninya memerintahku ....".
Melihat hal itu, ibunya Wira mulai merasakan perasaan yang tak enak. Sedangkan Sera sendiri sebenarnya tak ingin bersimpuh di kaki wanita tua itu. Wanita tua dari kampung, entah kemana saja kakinya itu melangkah. Apakah dia memakai sandal atau tidak, karena menurutnya wanita kampung sering sekali tanpa alas kaki jika kemana-mana. Lalu kukunya, pasti bau kukunya itu.
Mengingat hal yang terlintas dalam pikirannya itu, Sera bergidik sendiri, ia juga merasa mual. Nampak sekali bahwa Sera jijik pada mereka. Dan ibunya Wira menyadari hal itu, sampai mata tuanya itu berkaca-kaca. Andaikan tidak ada banyak tamu undangan, pasti air matanya sudah menetes. Maka sebisa mungkin ia tahan tangisnya itu.
"Sera, Nak ...." Pak Handoko memanggil anaknya, matanya tajam menatap Sera. Dengan menggerakkan dagunya ia memberi isyarat untuk Sera agar segera bersimpuh. Sebab ada banyak tamu undangan, mereka kini jadi pusat perhatian nomor satu di saat seperti ini. Melihat Sera diam saja, akan menjadi rumor yang tidak enak nantinya.
Akhirnya wanita itu pun bersimpuh, dengan sangat terpaksa. Sebelum melakukan hal tersebut, Sera nampak meraup oksigen banyak-banyak. Ia akan menahan nafasnya saat bersimpuh di kaki ibu dan ayahnya Wira ini.
'Mas, aku memang mencintai kamu! Tapi ibu dan ayah kamu ini ... mereka menjijikkan!' ucap Sera dalam hati.
Lalu saat sesi sungkem selesai, nafas Sera sampai tersengal. Empat menit menahan nafasnya, membuat gadis itu kesulitan luar biasa. Saat melihat Sera yang tak biasa, Wira langsung melihat kepada kedua orangtuanya. Wajah-wajah mereka nampak sendu, ia tahu ... hati mereka sedang terluka kini.
Pak Handoko sedikit memberi sambutan. Laki-laki itu mengatakan kebanggaannya kepada Wira. Ia banyak memuji pemuda tersebut yang membuat orangtuanya Wira menangis mendengarnya, bagi Pak Handoko sendiri Wira adalah karyawannya yang terbaik. Ia juga mengungkapkan bahwa ia tidak memandang status sosial menantunya itu, karena baginya sikap dan kepribadian Wiralah yang menjadi pondasi utama ia dalam memilih laki-laki itu sebagai menantunya.
Apalagi Sera sendiri, sudah sangat dekat dengan laki-laki itu satu tahun belakangan. Yang terpenting adalah Sera mencintai Wira dan mau menerima pemuda tersebut sebagai suaminya. Sungguh sangat bijak setiap kata yang terlontar dari mulut laki-laki paruh baya itu, hingga sorak dan tepuk tangan terdengar membahana di ruangan besar dan luas tersebut.
Pak Handoko tersenyum, berhasil mendapatkan simpati dari para tamu undangan. Apa yang dikatakannya itu memang tidak salah mengenai Wira, Wira memang sebagus itu di matanya. Karena laki-laki itu adalah yang paling bisa diandalkan. Namun andaikan semua orang tahu ... motif terbesarnya dalam memilih Wira adalah karena laki-laki itu ingin pensiun, tapi tak ingin melepaskan kekuasaannya di sana. Dan Wira adalah boneka yang paling menuruti kata-kata dan titahnya itu.
***
Seharian Rinjani mengurung diri di kamar, meratapi foto yang kini sudah blur dilalap air. Wajahnya murung dengan pikiran menerawang kemana-mana. Rasa khawatirnya pada Wira masih menghantui. Kalau ia lihat di film-film yang ditontonnya, pigura jatuh sampai pecah itu berarti seseorang yang berada di pigura tersebut mengalami hal yang buruk. Entah kecelakaan, entah bencana, entah ....
Ahhh! Rinjani tidak bisa menahannya lagi. Mulutnya dibekap dengan tangan dengan sesekali kepala yang menggeleng karena memikirkan kemungkinan yang terburuk.
[Kak, kabari aku please ... aku khawatir banget sama kakak. Pigura yang kakak pajang sebelum berangkat ke Jakarta tiba-tiba jatuh dan pecah. Apa kakak baik-baik aja?] Ia mengetik pesan kepada Wira. Masa bodoh dengan titah yang Wira ucapkan dua hari lalu itu. Rasa khawatirnya lebih besar ketimbang rasa inginnya untuk menuruti kata-kata kekasihnya.
Satu tetes air matanya jatuh, seharian ini ia merasa hatinya tidak enak. Terpikirkan terus tentang Wira. Ia merasa hampa, ia merasa sendiri, seperti ada sesuatu yang akan pergi dari hati yang ia jaga selama ini. Dan yang ia khawatirkan kini adalah keselamatan Wira. Ia takut firasatnya ini adalah karena sesuatu hal yang buruk sedang terjadi pada Wira, dan kemungkinan terburuknya adalah ... Wira yang meninggalkan dunia. Seperti film-film yang ditontonnya itu.
"Firasat apa ini? Kenapa aku gak bisa tenang?" gumamnya sambil menggigit kuku ibu jarinya.
Hanya Allah yang tahu, bukan Wira yang pergi dari dunia ini, tapi kesetiaan laki-laki itu yang telah pergi dan tak digenggamnya lagi.
"Ya Allah, lindungi Kak Wira. Jagalah ia dari segala marabahaya, sehatkan selalu dan panjangkan umurnya, agar kami bisa menikah." ucapnya merapal doa.
Doa tinggal doa, harapan tinggal harapan, rencana tinggal rencana. Rinjani tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi di depan matanya nanti. Jika ia tahu hal yang sesungguhnya, masih bisakah ia mengucapkan kalimat 'agar kami bisa menikah' itu?
Menjelang ashar ibunya mengetuk pintu kamarnya sambil berucap, "Neng, salat dulu, rapi-rapi ya hari ini mau ada yang datang!". Rinjani memejamkan matanya saat mendengar titah sang ibu, ia sudah sangat hafal jika kalimat tersebut diucapkan oleh ibunya, pasti mau ada yang datang melamar.
Lagi dan lagi, lamaran terus datang silih berganti. Ia tidak mungkin menerima, tapi tak enak untuk terus menolak. Terlebih lagi, tetangganya selalu membicarakan dirinya yang berpuluh kali menolak pinangan orang. Setiap kali mencuci baju di sungai, pasti ada saja yang membahas tentang penolakannya itu.
"Rinjani, kamu teh nolak lamaran terus. Lama-lama kamu jadi perawan tua, mau?"
"Rinjani, si Risma anaknya Teh Sani udah 28 tahun belum ada juga yang datang melamar. Setiap hari kerjaannya nangis terus karena malu udah tua belum nikah-nikah. Kamu teh malah sebaliknya, yang lamar udah puluhan tapi ditolak terus? Kamu teh mau nyari yang kayak apa? Anak presiden gitu?"
"Rinjani, kamu teh oneng apa o'on? Si Haris yang rumahnya di desa sebelah itu kan tanahnya dimana-mana, warisannya banyak, mukanya ganteng lagi, kamu masih nolak juga? Kalau jadi kamu aku mah bakal nyesel tujuh turunan. Inget ya, TU-JUH TU-RU-NAN!!!"
"Rinjani masih setia sama si Wira anaknya Pok Siti. Pacaran dari SMP sampai sekarang masih setia! Rinjani dengerin, ya! Siapa yang tahu kelakuannya si Wira di ibukota? Kalau ternyata dia kepincut gadis-gadis kota gimana? Kamu teh udah tolak puluhan laki-laki, eh taunya pas pulang-pulang si Wira bawa istri, gimana nasib kamu coba itu? Pikirin yang bener!!!"
Dan masih banyak cap cap cuap lainnya yang membicarakan kebodohan Rinjani dalam menolak setiap lamaran yang datang. Menurut mereka Rinjani bodoh, tapi bagi Rinjani itulah kesetiaan yang sesungguhnya.
"Duhh, siap-siap deh besok pagi nyuci pasti diceramahi orang-orang lagi. Kalau begitu aku akan datang siang aja, biar kupingku gak panas!" ucapnya sambil bangkit dari kasurnya.
***