Sampai di rumahnya, wajah Sera masih saja tertekuk kesal. Wanita itu melangkahkan kakinya dengan dihentak-hentak keras. Bukan saja bertemu dengan perempuan kampung yang membuat harinya menjengkelkan, ocehan orang-orang setelah kejadian itu pun terdengar di telinganya, bagaimana tadi mereka menilai Sera yang nampak emosional terhadap gadis yang hampir saja ditabraknya itu.
"Gara-gara cewek kampung itu namaku jadi tercoreng, huhh!"
Di saat yang bersamaan, Wira sampai di rumah. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam bergaris dengan dasi berwarna merah, terlihat tampan dan gagah. Wajahnya cukup berwibawa, selain berprestasi wajahnya mendukung sehingga ia dengan mudah mendapat kehormatan tersendiri dari para bawahannya sebagai direktur kini.
"Mas?" Sera menghambur ke pelukan suaminya saat menyadari Wira sudah pulang. Jam menunjukkan pukul empat sore.
"Mas tumben kamu pulang cepat? Biasanya magrib terus. Huhu ...."
"Tadi mas abis meeting, sebenarnya mau balik lagi ke kantor, tapi ngedenger kamu hampir nabrak seseorang tadi mas putuskan untuk balik ke rumah aja." terang Wira sambil menatap istrinya yang sedang menekuk wajahnya.
"Iya mas aku kesal banget. Masa tiba-tiba ada cewek kampung nyebrang sembarangan, sedikit lagi aja ketabrak, untung aku bisa ngerem! Aku kesal banget sama tuh cewek mas, pasti dia sengaja deh menabrakkan dirinya supaya aku ganti rugi dan dia dapat uang. Terus dia memeras aku, deh!" ucap Sera dengan penuh emosi.
"Sssttt gak boleh gitu ngomongnya. Jangan berburuk sangka begitu, nggak baik." Wira menempelkan telunjuknya di bibir istrinya, ia menasehati Sera dengan lembut. Inilah yang Wira tak suka dari Sera. Istrinya itu mudah marah dan gampang berburuk sangka.
"Terus yang bikin aku makin emosi apa coba, Mas? Orang-orang di sekitar yang melihat kejadiannya masa pada ngomongin aku. Mereka bilang 'itu Sera yang model busana itu, kan? Ya ampun aslinya temperamen banget! Mengerikan!'. Mereka semua bilang aku emosional. Namaku jadi jelek gara-gara perempuan kampung itu, Mas. Huhu ...."
Sera terisak, ia menumpahkan air matanya di d**a bidang suaminya itu. Tapi Wira hanya bisa menggelengkan kepala, mendengar cerita dari istrinya saja ia sudah bisa menilai, siapa yang salah sebenarnya.
"Sayang ... orang-orang gak mungkin bilang kamu temperamental andai kamunya gak marah-marah di sana. Sekarang jujur sama Mas, pasti pas kejadian kamu marahin perempuan itu, kan?"
"Iyalah Mas, perempuan itu emang harus dimarahin. Sengaja menyebrang supaya kutabrak, lalu aku ganti rugi dan memberi dia uang. Ngadepin cewek kaya gitu masa aku harus diam aja?"
"Tapi mungkin aja perempuan itu emang gak sengaja, Sera. Harusnya kamu memaafkan dia, toh dia gak terluka, kamu juga berhasil menghindar dengan selamat. Ingat kamu itu publik figur, saat kamu keluar orang-orang menilai kamu, kepribadian kamu, sikap kamu. Kamu harus menjaga itu."
"Kok mas malah jadi belain dia, sih?"
"Mas bukan belain sayang, mas hanya menyampaikan pendapat dan pandangan mas aja. Jangan salah paham."
"Gak tau, ah! Mas juga nyebelin. Semua ini gara-gara cewek kampung itu. Dasar kampungan!"
Wira terdiam menatap istrinya dengan kecewa. Sera benar-benar wanita temperamental. Jauh sekali dengan Rinjani yang lembut dan penurut. Dua wanita ini, sikap mereka bagaikan langit dan bumi. Ahhh Rinjani ... rasanya Wira jadi sangat merindukan Rinjani di saat seperti ini.
"Kamu selalu membicarakan dia wanita kampungan. Seakan memandang rendah mereka yang dari kampung. Jangan lupa, Mas juga cuma laki-laki kampung, loh!" ucap Wira dengan senyum miris. Ia meninggalkan Sera yang kini termangu,
"Mas maaf, bukan begitu, Mas. Kamu berbeda sama orang-orang kampung lainnya. Jangan merasa begitu Mas, maaf."
Wira tidak mempedulikan ucapan Sera, laki-laki itu terus melanjutkan langkahnya yang entah akan kemana.
***
"Rinjani, kamu makin cantik aja? Aku sampe pangling."
Hani menatap gadis yang baru tiba dari kampung itu dengan takjub, ia tahu dari mereka sekelas di SMP dulu, Rinjani memang sudah cantik dan populer. Tapi melihat gadis itu lagi setelah berpisah bertahun-tahun lamanya, rasanya Rinjani semakin cantik saja bagi Hani.
"Kayaknya dari dulu aku begini-gini aja, Hani. Kamu yang cantik mah."
"Ahh enggak. Kulitku jadi hitam nih, udah kelamaan panas-panasan." keluh gadis itu.
Mereka sudah sampai di kamar kost Hani yang yang tidak luas, tapi juga tidak sempit.
"Emmm maaf keadaan kamarku cuma begini aja. Apa adanya, hehe ...."
"Justru aku gak enak, tempatmu jadi sempit karena harus berbagi sama aku. Ahh nanti, kalau benar aku diterima kerja aku akan tinggal di kamar lainnya aja yang kosong, supaya kamu nyaman."
"Ish ngomong apa sih kamu, justru aku jadi enak karena punya teman dan gak kesepian lagi."
"Ohh iya, kamu siap kan untuk interview besok?" tanya Hani kemudian.
Rinjani mengangguk.
"Tapi, aku belum pernah punya pengalaman interview. Aku harus jawab apa, ya!"
"Yang penting kamu harus percaya diri, kalau Pak Fio bentak-bentak kamu, kamu harus tenang dan jangan menangis. Ingat, jangan menangis. Kalau ngomong, dia suka kejam. Tapi aslinya dia baik banget."
"Tunggu ... tunggu .... Jadi interview itu emang harus dibentak-bentak, ya?"
"Enggak sih, bukan gitu. Cuma Pak Fio ini orangnya emang berbeda. Kalau ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, pasti dia menyampaikan itu dengan cara ngebentak-bentak."
"Haaahh? Seriusss???"
"Terus mata Pak Fio itu tajam banget. Setiap kali ditatap sama dia, aku serasa ditusuk bambu."
"Hani, jangan nakutin aku!"
"Tampilan luar boleh seseram itu, tapi dalamnya Rinjani ... ya ampun klepek-klepek aku!!! Pokoknya kamu jangan takut aja, pengalaman waktu aku interview juga sampe nangis. Meskipun galak, tapi kalau kita bisa memberikan jawaban yang memuaskan baginya, kita pasti diterima Rinjani. Satu yang pasti, yang penting itu adalah kita harus jujur dan disiplin."
Mendengar Hani yang sampai menangis, Rinjani jadi bergidik sendiri. Membayangkan hari esok apa dia masih bisa berdiri tegak jika berhadapan dengan laki-laki bernama Fio itu?
Tak lama kemudian, teleponnya berdering. Matanya membulat saat melihat di layar handphone, ternyata Wira.
"Kak Wira!" pekiknya senang.
Dengan cepat Rinjani menerima panggilan video darinya, dalam sekejap terlihat wajah Wira di layar handphone dengan wajah sendu.
"Kak?"
'Rinjani ....'
"Emmmm kakak apa kabar?"
Sudah sangat lama mereka tidak melakukan panggilan video, terakhir sebelum Wira menikah. Rasanya entah kenapa jadi canggung kali ini.
'Baik. Kamu sehat?'
Rinjani mengangguk dengan senyum mengembang. Melihatnya, hati Wira langsung menghangat. Sejenak ia lupa pada masalahnya dengan Sera.
'Kakak kangen banget sama kamu, Sayang.'
"A-aku juga."
Di sudut hatinya Rinjani merasa lega, hanya tinggal sebentar lagi rasa rindu itu akan terlepas.
'Sabar, Kak. Sekarang aku udah di Jakarta, aku dekat sama kakak, aku pasti akan menemui kakak. Kejutan ....' batinnya.
Rasanya ia tidak sabar menunggu sampai hari itu tiba.
'Tapi ngomong-ngomong kamu dimana? Suasananya kaya berbeda?'
"Emmm, i-ini lagi main di rumah teman."
Terlihat Wira mengangguk.
"Maaf, kakak jarang hubungi kamu." ucapnya dengan rasa bersalah.
Sudah jarang menghubungi, sekalinya mengubungi pun karena sedang ada masalah dengan Sera dan butuh hiburan. Rinjani tidak tahu, kekasih hatinya sudah seberubah itu. Di saat sedang bersenang-senang saja di kamarnya, bahkan ia sampai lupa pada Rinjani sampai berhari-hari lamanya.
"Aku mengerti kakak sibuk, yang terpenting di sana kakak sehat dan juga ... setia!" ucap Rinjani yang seketika membuat laki-laki itu tertohok.
***