Ada yang tertusuk dengan kalimat yang Rinjani lontarkan barusan. Hal itu membuat Wira terdiam dan hanya menunduk lesu. Yang penting setia? Ahhh, andai Rinjani tahu, justru Wira jarang menghubungi dirinya itu karena ia punya wanita lain di sisinya. Maka jangan sampai Rinjani tahu, jika itu terjadi Wira pasti akan kehilangan gadis yang dicintainya itu untuk selamanya.
"Emmm, aku gak nyangka kakak bakal telepon aku hari ini!" ucap Rinjani membuat Wira langsung mengangkat kembali kepalanya, menatap ke layar handphone-nya yang ada gambar buah di belakangnya. Baru ada seminggu, laki-laki itu mengganti handphone-nya dengan yang baru.
Sedangkan wajah Rinjani berbinar cerah, senyum lebar mengembang di bibirnya yang kemerahan. Wira mengerutkan alisnya sesaat.
"Sudah sangat lama kita gak begini, Kak." ujar Rinjani lagi tanpa memudarkan senyum manisnya.
Lagi dan lagi hal itu membuat Wira terdiam lesu, ia baru menyadari memang semenjak menikah, baru kali ini ia menelepon Rinjani lagi. Jahat sekali kan, dirinya?
"Dan aku kangen banget sama kakak. Berharap bisa bertemu kakak secepatnya."
"Maaf, Rinjani." Hanya itu yang bisa Wira ucapkan.
Rinjani kembali mengulas senyumnya, kali ini hanya sekilas dan tipis. Maaf yang dimaksud Wira adalah, maaf karena ia tidak bisa menemui Rinjani dalam waktu dekat. Ia belum menemukan waktu yang tepat untuk bisa menghindar dalam waktu lama dari Sera. Mereka masih pengantin baru, Wira tidak mungkin pulang kampung dan meninggalkan istrinya. Entah kapan ia bisa menemui Rinjani.
Sedangkan bagi Rinjani sendiri, ia mengira maaf yang dimaksud Wira adalah karena ia tidak bisa pulang cepat lantaran kesibukannya dalam bekerja. Yang Rinjani tahu, Wira sibuk bekerja dan bekerja. Padahal sebenarnya bukan sibuk bekerja, tapi Wira sibuk dengan wanita baru dalam hidupnya.
"Gak apa-apa, aku kan udah bilang, aku mengerti kesibukan kakak. Kakak lanjutkan perjuangan kakak di sana, ya?" ucapnya riang.
'Dan aku juga akan melanjutkan perjuanganku di sini, untuk menemui kakak sebentar lagi. Hanya tinggal sebentar lagi kita bisa bertemu.' lanjutnya dalam hati.
Rinjani tidak pernah tahu, apa yang akan ia dapati nanti jika perjuangannya sudah sampai pada titiknya.
***
Rinjani membawa berkas yang telah dipersiapkan matang-matang dengan cara dipeluk. Gadis itu berboncengan dengan Hani yang kini sedang mengendarai motornya.
"Jadi di sana ada dua shift. Shift satu dimulai dari jam enam pagi sampai jam dua siang, dan shift dua dari jam dua siang sampai jam sepuluh malam. Dan hari ini aku masuk di shift dua, Rinjani." terang Hani dalam fokusnya mengendarai motor, Rinjani hanya manggut-manggut sebagai jawabannya, meski Hani sebenarnya tidak bisa melihat reaksinya itu.
"Setiap satu shift ada enam orang yang berjaga, kita libur seminggu satu kali di hari-hari tertentu. Dijadwalkan."
Kembali Rinjani manggut-manggut atas penjelasan temannya itu.
"Nah sekarang kita sudah sampai, ingat Rinjani apapun yang terjadi kamu harus tenang. Oke?"
"Siap ...."
Motor diparkir di depan minimarket dengan warna oren biru, ada plang besar dengan tulisan FioMart. Halaman parkir cukup luas untuk dimasuki oleh beberapa mobil dan juga motor. Di depan minimarket ada dua pasang meja bundar yang masing-masing di kelilingi oleh beberapa kursi, sengaja diperuntukkan untuk mereka yang ingin beristirahat di sana, apalagi untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
"Minimarket ini usaha mandiri, Rinjani. Bukan waralaba yang sering kita temui di pinggir-pinggir jalan itu. Pak Fio pun memakai brand dengan namanya sendiri, FioMart. Sekarang pegawainya ada lebih dari 10 orang."
"Usaha yang sukses." timpal Rinjani sambil memandang bangunan dua lantai tersebut yang terlihat cukup luas. Dibandingkan dengan minimarket lainnya yang tadi ia lewati di jalan, sepertinya ini lebih luas dan elegan.
"Sstttt jangan bilang siapa-siapa ya, sebenarnya Pak Fio itu ternyata pewaris utama perusahaan tekstil yang sudah besar banget di negara kita ini, lho! Dia ceo-nya." Setengah berbisik Hani mengucapkan kalimat itu. Rinjani terlihat terkejut, alisnya berkerut-kerut.
"Tapi Hani, kalau orangnya sekaya itu, kenapa harus membuka usaha ini? Pasti kalau dibandingkan dengan perusahaannya yang besar itu, usaha ini gak ada apa-apanya."
"Nah, makanya itu yang masih misteri. Pasti ada cerita di balik FioMart ini."
"Sebaiknya kita gak perlu tahu."
"Setuju."
Keduanya melangkahkan kaki dan masuk ke dalamnya, ada beberapa pelanggan yang sedang belanja. Rinjani melihat ke sekitar, terlihat cukup luas dengan produk-produk yang sangat lengkap. Di setiap sudut ada pot tanaman besar yang terlihat cantik dipandang, lalu ada tempat duduk di dalamnya. Berbeda dengan minimarket yang pernah ia singgahi, minimarket ini memiliki keunikan tersendiri dan suasananya terasa menyenangkan.
Detik berikutnya ia menjadi canggung, saat beberapa orang dengan seragam oren dan biru itu menatapnya tanpa kedip.
"Gaes, ini orang yang aku bawa untuk interview. Namanya Rinjani." ucap Hani memperkenalkan. Rinjani menyunggingkan senyumnya, lalu menganggukkan kepala.
"Salam kenal." ucapnya terdengar begitu lembut di telinga mereka. Beberapa orang menghampiri, dengan wajah sumringah.
"Ya Allah ada bidadari turun ke bumi!"
"Ini manusia? Astaga cantik banget!"
"Bening banget ya Allah mukanya. Teteh dari planet mana?"
Begitulah kira-kira tanggapan mereka dalam menyambut Rinjani. Rinjani hanya tersenyum, baginya rasanya itu terlalu berlebihan jika mendeskripsikan paras Rinjani seperti itu.
"Emmm aku ... cuma dari desa."
"Ya ampun pasti kamu kembang desa, iya kan? Iya kan?" tanya salah satu laki-laki dari mereka.
"Husss, Rinjani ini udah 21 kali dilamar pria di desanya, loh!" Hani yang menyahut.
"Haaaaaaaahhhhhh?" Mereka melotot semuanya seakan tak percaya. Rinjani menyenggol lengan Hani dengan tatapan seakan menyiratkan kalimat 'ngapain diceritain, sih?'. Hani jadi mesem-mesem tak enak hati.
"Udah Gaes, yuk Rinjani kita ke ruangan Pak Fio." ajaknya yang langsung diikuti oleh gadis dengan rambut panjang itu. Mereka menaiki tangga, suara detak sepatu dari keduanya terdengar teratur.
Detik kemudian, Hani mengetuk pintu dengan sopan. Ada debaran di d**a Rinjani menghadapi situasi ini. Ini adalah pengalaman pertama baginya, ia pun tidak tahu akan mendapat pertanyaan seperti apa nantinya.
"Pak, ini Hani. Saya sudah membawa orang untuk bapak interview."
"Masuk!"
Terdengar suara baritone yang membuat jantung Rinjani semakin berdetak tak karuan. Hani mengangguk sambil berbisik "semangat, kamu harus lolos."
Lalu handle pintu itu diputar, Rinjani masuk ke dalamnya, wangi maskulin terasa memenuhi ruangan menusuk indra penciumannya. Sesaat, gadis itu menarik nafas.
"Permisi, Pak." ucapnya berusaha setenang mungkin.
Rinjani mendekat pada seseorang di balik kursi putar berwarna hitam yang sedang menghadap ke tembok belakang. Fio sendiri sedang mengecek beberapa laporan keuangan dari perusahaan ayahnya, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya itu. Laki-laki itu benar-benar sibuk, sampai membawa pekerjaannya yang di perusahaan ke minimarket miliknya itu. Rinjani menaruh berkasnya di atas meja.
"Nama!" pemilik suara baritone itu berucap. Rinjani terdiam sesaat, apa itu adalah sebuah pertanyaan? Tapi kenapa seperti tidak sedang bertanya?
"Oh a-anu,"
"Iya nama kamu!"
Kembali terdengar suara Fio, kali ini terkesan lebih dingin dari yang tadi. Rasanya Rinjani semakin takut, debar di dadanya lebih cepat.
"Sa-saya Rin-"
Ucapannya terputus saat pemilik suara baritone itu memutar kursinya. Menampilkan seorang laki-laki dengan paras tampan dengan tatapan mata yang begitu tajam dan rahang yang begitu tegas.
Untuk sesaat pandangan mereka bertemu, kedua pasang mata itu saling bersitatap hingga terlihat bagaimana mata berwarna coklat muda itu memandangnya dengan tajam. Seakan tatapan itu menyiratkan kekesalan pada diri Rinjani karena bersikap seperti orang bodoh barusan.
Sampai di detik kemudian mata bening dengan bulu mata lentik itu buru-buru menundukkan pandangannya dengan gugup. Sedangkan jemarinya saling meremas satu sama lain. Benar apa kata Hani, dari pandangan mata laki-laki di hadapannya saja sudah menyeramkan, apalagi kalau sampai dibentak-bentak dengan suara baritone yang dingin itu? Ohh ohh, Rinjani tidak yakin apa air matanya tidak akan menetes jika hal itu terjadi? Sungguh, sebenarnya dia sangat takut dan gugup saat ini.
Berbeda dengan apa yang Rinjani pikirkan, justru Fio nampak termangu melihat paras gadis di hadapannya itu. Rambutnya yang panjang digerai bebas, hidungnya yang mancung dengan alis berbulu hitam dan rapi, belum lagi kulitnya yang seputih s**u. Dia ... cantik!
"Sa-saya Rinjani. Rinjani Ayu."
Lalu bibir yang merah dan mungil itu bergerak-gerak menyebutkan nama. Ada t**i lalat di dekat sudut bibirnya, yang membuat kecantikannya seperti berbeda dengan kecantikan gadis-gadis lain. Tapi apa yang dikatakan gadis itu barusan? Fio tidak begitu mendengarkan dengan baik, siapa tadi namanya?
Ranjang?
Yani?
Ninja?
Atau Senjani?
Atau malah Bayu?
Aghhh, siapa yang benar?
Mengapa otaknya terasa beku hingga keadaan ini tidak bisa dicerna?
Kini gadis itu nampak menyipitkan mata, sedangkan tangannya melambai ke kanan dan kiri.
"Pak? Pak? Maaf?"
Detik itulah Fio tersentak. Ia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah lantas mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Apa yang terjadi barusan? Kenapa waktu seakan berhenti?
Laki-laki itu kini dibuat bingung dengan keanehan yang baru kali ini terjadi pada dirinya itu.
***