Perjalanan Dimulai!

1064 Kata
Fio berdehem sesaat sambil membuang nafasnya kasar. Sedangkan Rinjani masih menundukkan pandangannya. Mendadak ia gusar, apa yang ia lakukan barusan itu ... bukankah sedikit kurang ajar? Melihat laki-laki di hadapannya yang malah melamun, ia malah melambaikan tangannya ke kanan dan kiri hingga laki-laki itu tersentak. Sepertinya, interview ini entah akan berjalan dengan baik atau tidak. Dari awal saja, ia sudah memberikan kesan yang tak enak. Sedangkan Fio masih berpikir keras, siapa tadi nama gadis ini? Ia tidak bisa mengingatnya dengan baik. Lalu dengan segera ia menyambar berkas yang Rinjani letakkan di atas meja. Membuka isinya lalu mengamati semuanya satu persatu. "Rinjani Ayu?" gumamnya sambil mengamati kartu tanda penduduk milik gadis di hadapannya itu. Nama yang indah, seperti wajahnya. Sepertinya begitulah yang Fio pikirkan sekarang ini. Tapi ekspresinya tidak banyak berubah, di mata Rinjani laki-laki itu masih saja terlihat dingin dan menyeramkan. "Kenapa orangtuamu memberimu nama Rinjani?" tanyanya mirip seperti sebuah gumaman. Ia menyukai nama itu, mengingatkannya pada keindahan alam membentang si Gunung Rinjani. Rinjani terlihat tenang, dengan santainya ia menjawab, "kata ibu, itu perpaduan nama ibu dan bapak. Rima dan Suja, menikah. Jadi Rinjani." "Rima dan Suja? Menikah? Jadi Rinjani?" Rinjani mengangguk. Detik kemudian Fio langsung tertawa renyah, menampilkan giginya yang putih dan rapi. Tangan kanannya mengepal lalu mengetuk-ngetuk keningnya. Humor apa yang barusan itu? Itu adalah sesuatu yang lucu baginya. Ia pikir, nama Rinjani itu memiliki makna yang dalam. Tapi ternyata hanya sebuah singkatan nama orangtuanya yang malah terkesan konyol. "Tapi, Pak. Itu versi ibu. Kalau versi dari bapak beda lagi." sanggah Rinjani saat melihat Fio yang tertawa sambil menggelengkan kepalanya sesekali. "Oh jadi ada versi dari ayahmu juga?" Dan Fio kini nampak tertarik dengan versi ayah yang Rinjani sebutkan. Apakah berupa kekonyolan juga? "Yang memberi nama itu sebenarnya bapak. Bapak suka sekali sama keindahan Gunung Rinjani, kata bapak, beliau pernah datang ke sana. Dan dia tidak bisa melupakan keindahannya. Jadi ... itulah mengapa saya diberi nama Rinjani. Sedangkan Ibu setuju karena prinsipnya sendiri, Rima dan Suja menikah." Kali ini Fio hanya tersenyum sambil mengangguk mengerti, tanpa disadari mengapa ia bisa menanyakan hal remeh seperti itu? Ini bukan gayanya. Dia bukan tipe orang yang suka berbasa-basi, biasanya semua yang ia lakukan langsung ke inti. Entahlah! Sambil menegakkan posisi duduknya, wajah yang sempat terlihat berseri beberapa saat itu kini terlihat serius dan dingin seperti tadi. "Rinjani Ayu, silakan perkenalkan diri kamu!" ucapnya sambil mulai membaca dengan fokus pada lembaran identitas yang Rinjani tulis dengan tangannya sendiri, lalu beralih pada daftar riwayat hidupnya. Rinjani terlihat tenang saat mengungkapkan tentang dirinya. "Apa kelebihan kamu? Dan apa kekurangan kamu?" tanyanya kemudian sambil menatap Rinjani lekat dengan tatapan tajamnya. Rinjani mulai merasakan panas dingin, andaikan wajah laki-laki di hadapannya itu bisa terlihat lebih ramah sedikit, mungkin Rinjani bisa lebih tenang. Tapi detik kemudian ia ingat pada pesan temannya, untuk tetap tenang dalam keadaan apapun. Menarik nafasnya sesaat, Rinjani berucap, "Kelebihan saya, saya loyalitas dan fokus saat melakukan apapun, saya bertanggung jawab dengan tugas yang saya emban. Saya tidak berani berbuat curang, saya takut sama Allah Pak, saya juga takut akan dosa. Bapak bisa mempercayakan tugas pada saya dan saya akan melakukannya dengan baik dan benar. Selain itu, saya juga cukup baik dalam menangkap perintah dan informasi." ucap Rinjani dengan kepala yang masih menunduk. Jawaban yang bagus bagi Fio, tapi terdengar lucu. Sudut bibirnya melebar, ia tersenyum samar. "Oke baik, lalu kekurangan kamu?" "Anu ... saya tidak terlalu menguasai ilmu komputer, tapi saya mengerti ilmu dasarnya. Seperti yang saya bilang, saya cukup baik dalam menangkap informasi. Jadi ... jika diajari, insyaAllah saya bisa belajar dengan cepat." Fiovi mengangguk, kali ini ia juga cukup puas dengan jawaban Rinjani. Mengungkapkan kelemahan yang langsung diikuti dengan solusinya adalah jawaban yang bagus untuk didengar. Keduanya hanyut dalam percakapan formal mereka, pertanyaan demi pertanyaan, detik demi detik. Satu hal yang Fiovi lihat dari Rinjani, gadis itu terlihat sopan dan bisa diandalkan, dia juga terlihat ... polos! Belum lagi penampilannya yang menarik, sangat cocok dengan posisi yang ia butuhkan saat ini. "Baik, silakan tanyakan jadwal kamu pada Jeje. Tulis data kamu dan tanda tangani juga kontrak kamu di sini." ujarnya sambil memberikan sebuah lembaran yang sudah dilengkapi dengan materai di atasnya. Dan kalimat itu, bagaikan sebuah angin semilir yang sangat menyejukkan bagi Rinjani, kedua matanya berkaca-kaca. Akhirnya ... harapan dan optimisme-nya menjadi kenyataan. Perjalanan hidupnya di Jakarta, akhirnya dimulai! *** Malam ini, Wira pulang cukup larut. Selain memang banyak pekerjaan, laki-laki itu menghindari istrinya juga. Wira masih kecewa dengan sikap Sera yang baru ia ketahui belakangan ini. Emosional dan temperamental, belum lagi sikapnya yang suka memandang rendah orang-orang kecil. "Mas pulangnya kok malam banget, sih?" sapa Sera sambil bergelayut manja. Ia menyandarkan kepalanya di bahu suaminya sambil berjalan menaiki tangga menuju ke lantai dua. "Banyak pekerjaan Sera," "Seenggaknya balas dong, pesan aku." "Mas gak cek hape dari sore." "Huh, mas nyebelin!" Laki-laki itu bergegas menuju kamar mandi mereka saat sudah sampai di kamar. Membersihkan badannya di bawah pancuran air hangat yang mengalir dari shower. Rasa lelah mendera, setelah ini ia ingin langsung tidur dan istirahat. Penyambutan dari istrinya barusan tidak cukup baik. Sudah lelah seharian bekerja, pulang-pulang istrinya itu malah merundung. Meski sebenarnya, di sudut hatinya ia juga merasa bersalah karena tidak memberi kabar. Jujur, sebenarnya Wira masih belum melupakan dengan u*****n Sera kemarin, dimana istrinya itu berkata, "dasar orang kampung!" Meski bukan tertuju pada dirinya, tapi Wira tetap tidak suka. Bagaimana pun, ia juga hanya orang kampung. Kedua orangtuanya, adik-adiknya, bahkan Rinjani. Mereka adalah orang kampung. Apakah orang kampung harus diperlakukan seperti itu? "Hah Rinjani ... kakak kangen banget sama kamu." Dalam keadaan lelah dan hati yang tak tenang seperti ini, yang teringat dalam benaknya adalah Rinjani. "Aku harus langsung istirahat setelah ini." ucapnya sambil menyudahi ritual mandinya. Laki-laki itu melilitkan handuk di pinggang, tetes-tetes air berjatuhan dari rambutnya yang basah. Saat membuka pintu dan beranjak keluar, langkahnya langsung terhenti. Ia meneguk ludahnya sendiri saat mendapati Sera muncul di depan daun pintu dengan pakaian yang tipis dan sangat minim, perempuan itu tersenyum menggoda lalu mengalungkan kedua tangannya di leher suaminya. "Sera, kamu ...." Hangat nafas Wira terasa di pipi Sera. "Aku kangen, Mas. Udah dua hari dianggurin, ihh!" ujarnya menggoda lalu menarik tangan Wira menuju ranjang mereka. Wira langsung tersenyum dengan pandangan matanya yang mulai berkabut. Entah kemana perginya rasa kecewa yang dari kemarin mendera hatinya itu! Semuanya langsung raib dengan perlakuan dan ajakan Sera yang sangat menggiurkan baginya. Yah, seperti itulah Wira! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN