Part 8

1687 Kata
"Maafin Diana Pa Ma ini hanyalah kecelakaan" Setelah keluarganya Riko meninggalkan rumah Diana ayah nya memandangnya dengan sorot mata yang tajam. Seperti singa yang hendak menyantap mangsa. Tentu saja Diana takut melihat wajahnya. "Katakan pada Papa kalau kamu tidak hamil" "I.... Iya Pa, aku nggak hamil kok" "Lalu kenapa temen sekolah mu itu memintamu untuk jadi istrinya? Memangnya kamu pikir ini sebuah permainan?" "Tentu saja bukan Pa, Diana nggak ada maksud untuk mempermainkan Papa. Papa sendiri udah dengar kan kalau mereka mau lamar aku dengan cara baik-baik, bukan semata-mata karena hamil" "Lalu kalau kalian menikah muda dimana Papa taruh muka Papa ini? Kamu masih 19 tahun Diana, mana mungkin kamu menikah secepat itu, bagaimana kalau suatu hari kamu gagal lalu kamu pasti akan menyesali keputusan mu hari ini. Papa yakin" "Maafin Diana Pa" "Kenapa minta maaf?" Diana tidak menyahut, dia hanya bisa merundukkan kepala sambil menahan air mata. "Jawab Papa!" Diana masih terdiam. "Diana" Kali ini Bapak Lukas benar-benar hampir tak sanggup menahan amarah. "Karna Diana sudah membuat Papa kecewa" "Kalau begitu cobalah untuk tidak membuat Papa kecewa, kamu tidak boleh menikah" "Tapi Pa" "Tidak ada tapi-tapian. Kamu pikir pernikahan itu mainan apa? Pokoknya kamu harus fokus kuliah dulu. Baru setelah kamu selesai kuliah terserah kamu kalau kamu mau nikah silahkan. Tetapi tidak dalam waktu dekat" Diana tak kuasa menahan air mata bagaimana mungkin ia melawan ayahnya. Sebab dia tau persis bahwa ayahnya adalah sosok ayah yang sangat tegas, dan tidak mungkin pula kalau dia harus menceritakan kondisinya saat ini pada ayahnya. Bisa-bisa dia akan di usir dari rumah. Alhasil Diana berlari ke kamar dengan air mata yang siap untuk jatuh sederas-derasnya. Rasanya sangat pedih dan sakit luar biasa. Diana menangis di atas kasur sambil menutupi wajah dengan bantal sambil berteriak. "AAAAAAArrrrrrrgggghhhhh...... AAAAAhhhhhhhhh" Ia duduk sambil memukul-mukul bantal, lalu dia pun menarik rambutnya sendiri. Sambil menarik rambut ia berteriak penuh amarah. "AHHH.. Kenapa? Kenapa harus aku?? Kenapa harus aku?? Kenapa?" Bukan hanya sampai di situ dia pun mulai memukul-mukuli badannya sendiri mulai dari paha, kaki lengan bahkan kepala. Rambutnya yang acak-acakan menjadi saksi bisu betapa hari ini ia sangat kecewa. Teriakan Diana terdengar oleh Sela adiknya yang kebetulan sedang berjalan di depan kamar nya. Mendengar suara teriakan yang di iringi isak tangis membuat Sela khawatir dengan kakaknya. Sela pun berlari menuju kamar dan ia mendapati kakaknya sedang memukuli diri sendiri. "Kak.. kakak kenapa kak..? stop kak.. Ya Tuhan ada apa ini? Kak Diana udah kak, berhenti kak" Diana tidak menghiraukan adiknya ia masih saja memukuli diri sambil berteriak. "Aahhh" Suaranya semakin keras dan d**a nya terasa sesak sekali. Diana benar-benar kesal pada dirinya sendiri kenapa semuanya harus terjadi padanya, apa salahnya? "Kak udah kak hentikan, ayolah kakak kenapa sih?" Sela berusaha menenangkan kakaknya meski dengan susah payah. Ia pun memeluk Diana dan membiarkan kakak nya menangis di dalam dekapannya. Diana pun tak kuasa menahan tangis yang pada akhirnya seluruh emosi nya pecah di dalam pelukan adiknya. Seketika ia mendapatkan kehangatan dan kekuatan di balik rasa kecewa yang teramat dalam. Hingga beberapa menit kemudian dia pun bisa menyudahi kesedihan nya. Ketika Diana telah tenang Sela pun mencoba bertanya pada kakak nya apa sebenarnya yang terjadi. "Kak" Sela memanggil sedang Diana hanya menatap Sela dengan tatapan kosong lalu sebulir air mata kembali menetes. Sela segera mengusap air mata itu. Kemudian ia pun kembali menarik kakaknya ke dalam dekapannya. Diana kembali menangis terisak-isak. Selang 5 menit kemudian Diana berusaha untuk menghentikan tangisannya. Kemudian dia melepaskan. pelukan adiknya lalu menghapus air matanya yang masih menempel di pipi nya. Setelah melihat kakaknya sudah mendingan Sela pun memberanikan diri untuk bertanya apa yang terjadi pada kakaknya. "Kak.. kakak kenapa?" tanya nya penuh perhatian. "Aku nggak tau gimana caranya jelasin semua ini ke kamu, aku belum siap Sela" "Ok.. tapi kakak janji kalau kakak udah siap buat cerita kakak cerita ya sama Sela" "Ok..." hening sejenak lalu.. "Terus kenapa kakak mukul-mukul badan? Kakak nggak senang ya karna papa nggak merestui lamaran nya bang Riko? Lagi pula aku nggak pernah tau kalau kakak sama bang Riko pacaran, kok bisa kalian langsung pengen nikah. Bukannya waktu sekolah dulu kakak sukanya sama bang Lendro ya... tu foto bg Lendro masih kakak pajang" Sela menunjukkan sebuah foto yang terpajang di atas meja belajar milik Diana. Ia pun melirik sekilas, ia bahkan tidak pernah sadar bahwa foto itu masih terpajang manis di atas meja. Bagaiman bisa foto itu masih terpajang manis di sana. Tiba-tiba Diana beranjak dari kasur kemudian dia meraih foto tersebut lalu melemparnya ke lantai. Begitu pula dengan seluruh benda yang ada di atas sana. Dia marah sambil mengurak arik meja dan juga menarik rambutnya. Sela benar-benar terkejut, ini kali pertama Sela melihat Diana seperti ini. Ia bahkan tidak pernah melihat kakaknya menangis sebelumnya. "Kak... udah kak... udah... jangan di pukul terus badannya... kakak kenapa sih.. kak... Ma... Mama.. Mama" Sela memanggil Mamanya karena ia tidak bisa menenangkan Diana. "Kenapa Sel.. Ya ampunn.. Kenapa kamar Kakak mu berantakan? Apa yang terjadi? Kakak kamu kenapa Sela? Diana... sayang kamu kenapa?" "Ahh... arrrrrrggggg... AHHHH..." "Diana cukup udah... cukup Diana hentikan. Lihat Mama sayang.. lihat..." Diana pun menoleh ke arah Ibunya dan ia langsung jatuh ke dalam pelukan Ibunya dan menangis sejadi jadinya. Sebagai seorang Ibu, Ibu Luna kini paham mengapa anaknya tiba-tiba di lamar. Tanpa sadar air matanya pun menetes secara perlahan. Ia dan juga Sela memeluk Diana dan turut menangis sendu. Bagaimana mungkin nasib sial ini menimpa seorang gadis polos dan lugu seperti Diana. Rasanya ini semua seperti mimpi buruk. Mereka berpelukan hampir setengah jam setelah itu Ibu Luna melepas pelukannya di susul oleh Sela, Diana pun menyudahi tangisannya. Lalu Ibunya membimbingnya untuk duduk di kasur. "Nak... Apapun yang terjadi padamu hari ini, itu nggak pernah ngubah kepercayaan Mama. Mama yakin kamu adalah putri terbaik dan kakak terbaik. Mama selalu berdoa agar Tuhan Yesus selalu menuntun kamu, memberkati setiap jalan yang kamu ambil. Mama yakin kamu anak yang baik" Sambil mengelus rambut halus dan lurus Diana, Ibu Luna memberkati anaknya. Hal itu membuat Diana senantiasa terharu, Ia pun memeluk Ibunya dan kembali menangis. "Makasih Ma.. makasih banyak... maafin Diana karena Diana nggak bisa jadi anak yang sebaik Mama kira" "Kamu baik, kamu sangat baik sayang" "Makasih Ma..." Mereka kembali berpelukan, kemudian Sela turut serta dalam pelukan hangat yang mengiringi matahari pulang undur diri menyinari bumi. Senja itu di penuhi air mata yang teramat pilu. **** Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 wib. Setelah semua anak-anak memasuki kamar masing-masing Ibu Luna mengajak suaminya ke kamar untuk berdiskusi. "Ada apa sih Ma? Kamu nggak lihat kalau aku sedang nonton bola" "Ini soal Diana. Ini sangat penting bahkan lebih penting dari bola" "Ada apa lagi sih? Diana kan nggak hamil, ya udah ngapain di paksain buat nikah? Kita masih bisa menyekolahkan dia dan juga memberikan yang terbaik untuk masa depan nya" "Aku tahu aku paham memang terlalu muda bagi Diana menikah. Tapi kita tidak tau segala perkara yang mungkin saja terjadi Pa. Siapa yang tau nasib buruk apa yang menimpa anak kita" "Maksud Mama apa! Papa nggak ngerti? Jadi maksudnya Diana hamil?" Ibu Luna hanya diam, bagaimana mungkin dia berkata 'iya', bahkan dia sendiri masih menduga duga. "Jawab Ma... Diana hamil? Diana hamil? Ma Diana hami?" Bapak Lukas berteriak, dia sangat marah. Setetes air mata menetes di pipi, Ibu Luna hanya bisa merunduk. "Tuhan Yesus perkara apa lagi yang Engkau berikan kepada kami?" Bapak Lukas benar-benar mendapatkan guncangan yang sangat hebat. Ia seperti di timpa batu karang tepat di atas kepalanya. Rasanya kepala nya mau pecah. "Katakan kalau itu tidak benar, bagaimana mungkin Diana bisa hamil. Kita bahkan tidak pernah mendengar kalau Diana punya pacar atau pun menghabiskan waktu di luar bersama pacarnya. Jadi itu mustahil" "Aku juga tidak yakin apakah Diana hamil atau tidak. Tapi tadi sore aku melihat Diana hampir frustasi. Sebagai seorang Ibu aku bisa merasakan kegagalan yang Diana rasakan. Firasatku selalu benar, aku yakin ada hal yang tidak bisa Diana sampaikan pada kita. Mungkin dia takut atau juga mungkin dia tidak bisa menjelaskannya pada kita. Ini hanya firasat Mama Pa". "Ya Tuhan..." "Mama rasa ada baiknya kalau kita menerima lamaran mereka" "Tapi kenapa mereka tidak berterus terang pada kita?" "Mungkin karena mereka tidak ingin aib ini tersebar ke luar. Karena kalau tidak nama baik Diana akan hancur" "Aku tidak percaya ini. Sungguh seperti mimpi buruk. Bagaimana mungkin anak ku yang polos dan lugu mendapatkan nasib seperti ini, ini mustahil" "Apapun saja terjadi Pa..." "Jadi maksud Mama, Diana diam-diam melakukan hubungan yang seharusnya belum bisa dia lakukan. Begitu?" "Bukan itu maksud Mama Pa. Papa juga harus ngerti kalau Diana itu sudah beranjak dewasa, segala hal mungkin saja terjadi padanya walaupun dia tidak sengaja merusak masa depannya. Diana mungkin saja hamil, tapi bukan berarti Diana menghancurkan martabatnya sebagai wanita terhormat" "Terhormat apa nya? Dia bahkan hamil di usia 19 dan di luar nikah? Apa nya yang terhormat?" "Kehormatan tidak dilihat di usia berapa dia menikah dan apakah dia menikah dengan cara yang baik ataupun karena keadaan terpaksa. Tapi kehormatan di lihat dari attitude dia menampilkan dirinya di depan orang lain" "Great attitude macam apa yang dimiliki anak yang menikah di usia 19 dan hamil di luar nikah. Great attitude macam apa?" "Setidaknya dia tidak melakukan bersama beberapa pria sebelum akhirnya dia mendapatkan seorang suami. Apa kau masih perjaka ketika menikah denganku? Apa aku masih perawan ketika menikah dengan ku? Apa aku hamil? Tidak. Jawabannya tidak. Aku tidak hamil ketika menikah dengan mu tapi bukan berarti kita tidak bercinta sebelum akhirnya kita memutuskan untuk menikah. Apakah hanya karena kita menikah di usia 25 tahun lalu kita bisa si anggap suci? Hah? Apakah hanya karena aku tidak hamil ketika menikah denganmu maka pernikahan ini Kudus? Apakah kita berhasil mewujudkan impian kita? Apa kau berhasil mengejar impian mu? Ku rasa tidak, bahkan hingga detik ini kita tidak bisa menjadi orang tua yang dewasa. Tidak sama sekali. Persoalan nya bukan soal umur, bukan soal pendidikan atau pun soal cita-cita, tapi pernikahan itu tentang komitmen dan keyakinan yang besar untuk mencapai kejayaan bersama. Apa kau tau itu?" "Hah...!" Bapak Lukas terdiam ia pun duduk di atas dipan sambil mengusap wajahnya kemudian melipat kedua tangan sambil membungkukkan punggung nya ke bawah. Semua terasa seperti mimpi buruk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN