"Semoga keputusan ini merupakan keputusan yang tepat dan menjadi langkah awal dari pendewasaan diri"
Pagi harinya Riko bangun. Masih dengan wajah yang penuh beban. Kemudian Riko meraih telpon genggam miliknya
yang tergeletak di atas meja. Dia menekan nomor Diana lalu memencet tombol panggilan. Kemudian panggilan itu terhubung, lalu Diana mengangkat telpon tersebut.
"Halo" sapa Diana dari seberang telepon.
"Hallo Din"
"Iya kenapa Ko?" suara Diana terdengar sangat parau. Mungkin ini di sebabkan karena dia menangis semalaman.
"Kamu lagi ngapain?"
"Aku lagi rebahan di kasur, kenapa?
"Kamu ada waktu nggak? Aku mau ngomong sebentar"
"Kamu mau ngomong apa?"
"Tentang kita dan juga bayi yang ada di dalam kandunganmu"
"Kamu mau aku gugurin anak ini?"
"Nggak Din, justru aku mau bertanggung jawab"
"Yakin?"
"Iya" Riko menarik nafas dengan berat.
"Kamu tau kan kalau nikah itu nggak gampang"
"Iya aku tau"
"Apa lagi kita nikah karena aku hamil, kamu tau kan kalau keluarga kamu bakalan marah"
"Itu yang mau aku diskusikan sama kamu. Aku nggak mau kamu cerita ke siapapun kalau kamu lagi hamil. Cukup kita bertiga aja yang tau aku kamu dan juga Cristove"
"Kenapa?"
"Pokoknya kamu dengerin arahan aku Ok"
"Ok"
"Sekarang kamu siap-siap aku tunggu kamu di Gor Samudera ya"
"Ok"
"See you"
Telepon pun qdi tutup, sesuai dengan arahan Riko maka Diana pun bersiap-siap berangkat ke Gor Samudera.
*******
Diana tiba lebih dulu dari Riko. Suasana terlihat sepi saat Diana memasuki gerbang Gor Samudera. Berbagai kenangan kembali terngiang di ingatannya. Sejenak dia mengingat sosok pria yang membuat nya bahagia semasa SMA namun pria itu juga yang membuatnya frustasi hingga dia kehilangan akal. Pasalnya dulu Diana jatuh cinta pada teman sekelasnya yang bernama Lendro. Mereka satu kelas dari kelas satu SMA hingga tamat sekolah. Dan Diana menyukai Lendro dari sejak MOS. Hubungan keduanya terjalin dengan baik, hanya saja Diana kebawa perasaan pada sikap baik Lendro. Satu sisi dia merasa bahwa Lendro juga menyukainya secara diam-diam sama seperti apa yang ia rasa.
Tetapi suatu hari Diana mendapati Lendro dan Maya berciuman. Hatinya sangat amat sakit. Maya adalah pacar Hendriko alias Riko. Di hari itulah mereka berdua sama-sama merasakan patah hati yang sangat dalam. Karena frustasi Riko mengajak Diana untuk party. Kemudian mereka mabuk saat pulang ke rumah. Riko tanpa sengaja membawa Diana ke kos karena sudah tidak tau arah yang disebabkan oleh efek mabuk. Dimalam itulah kecelakaan itu terjadi, tanpa cinta, tanpa sandiwara, hanya kesepakatan oleh mabuk semata.
Setetes bulir air mata jatuh di pipi Diana. Ia benar-benar menyesal. Dia bahkan tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi padanya. Diana tenggelam akan kenangan dan rasa penyesalan yang menyatu menjadi satu. Saat ia tengah asik menangis tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, sontak ia pun menoleh ke belakang. Refleks Diana meluapkan kesedihannya di dalam pelukan Riko.
"Maafin aku Din, aku nggak pernah berniat buat hancurin hidup kamu"
Riko memeluk Diana dengan erat. Sentuhan itu membuat nya tak dapat menahan diri. Dia pun menangis dengan kuat. Riko membiarkan Diana meluapkan kesedihannya. Bahkan ia pun ikut meneteskan air mata di pipi. Mereka menangis bersama. Bagaimana mungkin keduanya bisa mengambil tanggung jawab sebesar ini sedangkan mereka bukan sepasang kekasih. Keduanya saling mengenal karena satu kelas hingga tamat SMA. Keduanya sekolah di sebuah SMA swasta di kota Padang. Meski mereka berteman tetapi tidak pernah sedetik pun jatuh cinta. Bahkan dimalam mereka kehilangan arah pun mereka berdua sadar bahwa mereka melakukannya tanpa cinta.
Setelah cukup lama berpelukan Diana pun melepaskan pelukannya. Dia terlihat sedang berusaha menenangkan hati dan pikiran. Beberapa kali ia menarik nafas dengan berat. Lalu dia menyeka sisa bulir air mata di pipi.
"Kamu tau nggak semalaman gue nggak bisa berhenti menangis. Aku... aku.. nggak bisa ngebayangin gimana nasib aku nanti, takdir hidup aku, reaksi keluarga kalau mereka tau persoalan ini. Aku nggak siap Riko, belum lagi kuliah kum Nggak mungkin kan aku berhenti kuliah gitu aja"
"Aku tahu, aku juga ngerti perasaan kamu gimana sekarang. Tapi yang harus kita pikirkan sekarang ini adalah gimana caranya kita bertanggung jawab pada bayi ini. Udah nggak ada waktu Din, buat menyesali semua yang udah terjadi"
"Terus kita harus bagaimana sekarang?"
"Kita duduk dulu yuk, buat bahas semuanya biar kelar"
Riko dan Diana berjalan menuju podium. Podium yang terbuat dari batu yang usianya hampir puluhan tahun. Setelah keduanya menemukan tempat duduk yang nyaman, mereka duduk hampir secara bersamaan. Riko terlihat sangat gelisah, ia bahkan tidak yakin apakah dia bisa membahas ini bersama Diana, begitupun sebaliknya. Diana juga tampak gelisah, mana mungkin di usianya yang masih 19, dia harus membahas tentang pernikahan. Tentu saja dia belum siap.
"Well.." Riko menarik nafas dalam-dalam.
"Din, aku bakalan nikahin kamu, tapi kamu nggak boleh cerita ke siapapun kalau kamu lagi hamil. Kita harus buat skenario seolah kamu dan aku nikah karena kita memang pengen nikah, seolah kita saling cinta"
"Kamu nggak bercanda kan? Nggak mungkin Ko.. kamu tahu kan aku nggak pernah suka sama kamu, begitu juga sebaliknya"
"Aku tau ini terdengar gila dan nggak masuk akal. Tapi aku nggak mau nama kamu hancur Diana. Coba kamu bayangin gimana reaksi orang tua kamu kalau mereka tau kamu hamil. Pasti mereka mengira kalau kita sudah sering melakukan 'ini' Din. Mereka bakalan ngira kalau kita melakukannya berulang kali dan nama kamu bakalan cacat Diana. Udah nggak ada lagi harga diri kamu di hadapan masyarakat. Kamu mau di gunjingin hamil di luar nikah?"
Diana menarik nafas sekejap sembari menutup mata.
"Aku nggak yakin kalau kita bisa saling mencintai. Ini pernikahan Riko, komitmennya besar. Bukan hanya menjadikan kita Ibu dan Ayah. Tapi.. kita juga harus bisa mempertahankan pernikahan hingga tua. Kamu yakin bisa tua bersamaku tanpa cinta Ko? Yakin bisa?"
Riko mengalihkan wajahnya ke sisi lain ketika Diana menatapnya dengan pertanyaan yang sangat besar. Riko berpikir keras untuk menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Aku nggak yakin gue bisa jatuh cinta sama kamu. Tapi aku bakalan coba untuk mengambil tanggung jawab ini Diana. Kamu itu cewek baik baik, kamu nggak seharusnya dapat nasib yang seperti ini. Seandainya kita nggak ke bar waktu itu"
"Bukan. Seandainya kita berdua nggak ngeliat mereka berdua ciuman. Seandainya aku nggak baperan sama Lendro aku pasti nggak bakalan kek gini"
"aku juga nggak nyangka kalau Maya selingkuh dengan Lendro"
"Terus gimana sekarang? Kamu masih suka sama Maya?"
"Nggak lah. Aku.... mm.. Nggak ada yang aku sukai untuk saat ini. Tapi ada kamu yang harus aku selamatkan"
Jujur saja Diana tertegun mendengar kalimat yang baru saja Riko lontarkan. Tapi tetap saja dia tidak bisa jatuh cinta secepat kilat.
Akhirnya keduanya pun tenggelam dalam kesunyian masing-masing. Hingga mereka tak sadar bahwa senja kan tiba, menenggelamkan sang mentari, menutup harapan tanpa kepastian, menghentikan siang yang digantikan oleh gelapnya malam.
"Terus kapan kamu lamar aku?"
"Besok aku bakalan ke Pasaman buat bahas ini ke Ortu aku"
"Terus kalau nanti papa mama kamu nggak setuju gimana?"
"Aku bakalan berusaha buat bujuk mereka supaya mereka setuju dan mau ngasih restu untuk kita. Pokoknya kamu harus ingat jangan kasih tau ke siapapun kalau kamu lagi hamil. Pokoknya kamu harus bisa ber akting seolah kamu suka sama aku dan akting kamu harus kelihatan hidup biar mereka bisa yakin"
"Ok.. and one more thing!"
"What?"
"Will US fall in love?"
"It should be, I guess"
Hening. Entah apa lagi yang harus di katakan Diana. Seribu satu pertanyaan tengah berkecamuk dalam batinnya. Mana mungkin semua pertanyaan itu di tanyakan dalam waktu yang sama lalu di jawab dalam waktu yang sama pula. Diana hanya bisa pasrah dan menjalani semuanya dengan ikhlas. Diana hanya bisa berserah pada Tuhan. Biarlah Tuhan yang mengatur semuanya.