"Mungkin ini adalah hal rumit yang menimpa kita berdua. Tapi aku yakin bersamamu aku bisa melalui segalanya"
Diana terlihat melamun sambil memainkan pena di tangan. Ia melirik handphone berharap Riko menelpon untuk memberikan kabar baik. Kabar baik?? Di saat seperti ini kabar bahwa orang tua Riko memberikan restu merupakan kabar baik, ya setidaknya Diana masih bisa di lamar dengan cara baik-baik. Diana belum makan dari pagi hingga malam selarut ini. Dia benar-benar tidak memiliki selera untuk makan. Bagaimana mungkin dia bisa terlihat baik-baik saja dengan kondisi seperti ini. Sementara ada bayangan hitam yang membuat masa depannya menjadi gelap. Diana menatap langit malam di balik jendela dari tempat meja belajar Dimana ia sedang duduk, dengan tatapan kosong. Rasanya hampa sirna semua harapan. Mana mungkin dia bisa melanjutkan kuliah kedokteran. Sia-sia semua yang ia lakukan untuk menggapai impian. Semuanya hancur karena satu benih. Bahkan benih itu hadir tanpa cinta. Hayalan nya tertuju pada suatu tempat Dimana nanti dia dan Riko tinggal di dalam satu rumah tanpa cinta. Bagaimana mungkin?? Pastilah menyakitkan bagi keduanya. Dan dia benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.
****
Suasana tegang di kediaman Bapak Petrus sudah membaik. Ketiga orang itu mengusap sisa sisa bulir air mata di pipi lalu menarik nafas dalam-dalam. Hening sejenak hingga akhirnya Papa Riko memulai pembicaraan.
"Berapa bulan?"
"Paling masih seminggu Pa"
"Sudah berapa lama kalian pacaran?"
"Kami nggak pacaran"
"Nggak pacaran tapi kamu hamili dia?"
Sorot mata Ibu Lia membuat Riko bergidik ngeri.
"Iya Ma"
"Astaga"
"Apa yang sebenarnya terjadi Riko?"
"Waktu itu kita lagi reuni Pa, terus Riko ajak Diana ke klub kami mabuk, dan tanpa sengaja kami melakukan hal yang nggak seharusnya kami lakukan"
"Apakah orang tuanya sudah tau?"
"Nggak Pa. Aku larang dia cerita karena aku nggak mau namanya rusak. Itu sebabnya Riko berbohong di awal. Biar kami bisa punya alasan bahwasannya kami nikah karena saling mencintai bukan karena hamil"
"Tapi kamu bilang kalau kalian tidak pacaran?"
"Kami memang nggak pacaran Pa. Tapi aku mau bertanggung jawab atas kesalahan yang aku lakukan pada Diana"
"Tapi pernikahan bukan lah sebuah permainan. Logika saja orang yang saling mencintai masih bisa bercerai apa lagi kalian yang tidak punya landasan cinta"
"Aku kenal Diana dengan baik. Aku tau Diana bukan wanita sembarangan dan lagi pula aku hanya perlu belajar untuk mencintai nya selama kami menikah nanti"
"Kalau memang itu yang kamu mau Papa akan merestui hubungan kalian. Tapi paling Papa sama Mama bisa datang melamar dalam waktu 2 atau 3 hari lagi. Karena Papa harus buat surat izin dulu di kantor"
"Baik Pa"
******
Pagi yang cerah namun tak secerah hati Diana. Hari ini dia masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Dia masih menunggu kabar dari Riko, ia pun enggan beranjak dari tempat tidur. Padahal hari ini Diana ada jam kuliah di kampus. Telpon berdering ketika Diana hendak memejamkan mata.
"Hallo Ko"
"Hai Din, gimana kabar kamu?"
"Baik, kamu gimana?"
"Yah.. lumayan. Oh ya aku udah berhasil meyakinkan Papa sama Mama buat nikahin kita. Jadi kamu tunggu aja di sana sekitar seminggu lagi, kami bakalan ke rumah. Ingat jangan kasih tau siapapun persoalan ini, dan juga kamu harus ekstra hati-hati kalau mual. Ok"
"Hmm.. emang orang tua kamu nggak marah? mereka nggak curiga ya?"
"Udah nggak usah di bahas. Intinya rencana kita berhasil. Sekarang giliran keluarga kamu. Pokoknya tenang aja aku akan datang melamar seolah kamu nggak lagi hamil"
"Ya deh"
"Kamu nggak kuliah?"
"Lagi mager"
"Oh jangan keseringan mager nya. Sesekali kamu juga harus semangat lagi ya"
"Iya iya, terus kamu kapan balik?"
"Rencana nya sih sore ini"
"Ok, hati-hati di jalan"
"Ya. Kamu juga jaga diri baik-baik"
"Hmm"
"Bye Din"
"Bye"
'yakin nggak sih kalau Lo bakalan jadi istri gue?' Riko membatin dalam hati saat ia hendak mematikan telepon.
Diana bangkit dari tempat tidur lalu beranjak menuju kamar mandi. Dia mandi sebentar lalu memilih pakaian yang hendak ia kenakan. Setelah 15 menit berias di depan cermin, Diana memasang sepatu kets lalu berangkat ke luar menuju jalan raya untuk mencari angkot. Tentu saja Diana hendak keluar, tapi bukan untuk kuliah, melainkan mencari tempat yang damai bagi dia menenangkan diri. Diana menaiki angkot tujuan Pasar Raya. Tapi dia berhenti di pantai Purus atau sering di kenal Taplau. Diana berjalan menyusuri batu-batu abrasi yang di susun untuk menahan ombak agar tidak menghantam jalanan.
Dia termenung sendirian memandang lurus ke arah laut. Desiran ombak yang menyapu pantai terdengar gaduh dan suara kendaraan hilir mudik tak dapat memecahkan lamunannya. Entah berapa lama lagi ia harus berdiam diri dan menjaga rahasia ini sendirian. Di tengah kesunyian hp Diana kembali berdering. Tertera notifikasi WA masuk dari Cristove.
Cristove : Hei Din lagi dimana? Aku barusan ke rumah tapi kamu nggak ada. Kata mama kamu, kamu lagi keluar.
Lalu Diana membalas : aku lagi di Taplau Tove. Kenapa?
Cristove : Ok, aku ke sana sekarang.
Selang beberapa menit kemudian Cristove sudah sampai dengan motor Satria kesayangan nya.
"Hei, kok bumil melamun sendirian sih?"
"Apaan sih. Biasa aja lagi, aku emang lagi pengen termenung aja di sini. Kamu ngapain ke sini?"
"Emang nggak boleh ya aku ke sini?"
"Boleh"
"Lah terus?? Lagian aku kepikiran kamu terus Diana. Udah beberapa hari ini aku nggak bisa tidur dengan nyenyak"
"Kenapa?"
"Yaa.. aku cemas, aku khawatir kalau nanti kamu nggak bisa nikah baik-baik dengan Riko. Belum lagi memikirkan apa kamu masih bisa lanjut kuliah apa nggak"
"Yeee.. segitunya perhatian sama sahabat sendiri"
"Aku serius"
"Iya aku ngerti, by the way makasih ya"
Refleks Diana meletakkan kepalanya di d**a Cristove seperti biasanya yang selalu ia lakukan saat sedang bersama Cristove. Tentu saja tidak ada yang baper di antara mereka, walau pun sekilas kalau di lihat-lihat kedekatan antara Cristove dan Diana melebihi sahabat namun keduanya tidak pernah terjebak di dalam zona nyaman yang di sebut cinta. Keduanya murni saling bersahabat.
"Gimana kabar dari Riko?"
"Katanya dia udah berhasil bujuk orang tuanya buat nikahin kami"
"Terus kapan mereka melamar?"
"Mungkin dalam waktu satu Minggu lagi"
"Oh, coba aja kalau waktu itu aku nggak ke kos nya. Mungkin dia nggak bakalan mau bertanggung jawab"
"Emang kamu ngapain ke kos nya?"
"Ninju dia"
"Apa? Kamu tinju Riko?"
"Iya lah, orang kayak itu emang harus di kasih pelajaran"
"Tapi kan nggak harus anarkis Tove"
"Itu biasa mah kalau cowok. Emang udah sepantas nya Riko dapat pukulan seperti itu"
"Tapi lain kali jangan ya, kalau Riko ntar kenapa-napa gimana?"
"Harusnya kamu mengkhawatirkan dirimu bukan orang lain. Riko itu cowok Din, udah biasa berkelahi. Bukan cowok namanya kalau nggak pernah kelahi sama orang lain"
"Terserah lah, aku nggak ngerti. Setau ku nggak ada pengaruh nya kalau pun kamu tinju dia, keadaan nggak juga berubah"
"Emang nggak berubah, tapi akhirnya dia mau bertanggung jawab"
"Iya iya"
"Kamu udah mulai mual nggak?"
"Belum sih, cuman aku kayak mudah capek aja"
"Itu karena kamu lagi banyak pikiran"
"Bisa jadi"
Keduanya bertukar pikiran hingga mereka di sadarkan pada pesona alam yang tak pernah bosan di saksikan ribuan mata yang memandang, Sunset. Ya.. keduanya pamit pulang setelah puas menyaksikan matahari pamit undur diri. Cristove mengantar Diana pulang ke rumah. Lalu ia pun pamit pulang ke rumah nya.