40. Kebahagiaan Ayana

1523 Kata
Ayana kembali sendiri di kamarnya. Merenungi atas segala kisah hidup yang menyapanya. Tak hanya sekedar menyapa, ada beberapa pula yang menegur dan memberikan banyak pengajaran untuknya. Layar komputer jinjing Ayana masih menyala. Menampilkan lembar kerja Microsoft Publisher. Beberapa hari mendaki dan bertemu orang baru, membuat banyak perubahan pada produk skripsinya itu. Ditambah dengan Bu Wanti yang begitu baiknya kepadanya. Kebahagiaan itu membuatnya selalu menyunggingkan senyum haru. Dibalik sikap tegas seseorang, pasti ada rasa baik yang tertutupi. Dan kebahagiaan akan bantuan Bu Wanti yang selalu mendukungnya dalam pengerjaan LKPD membuatnya lupa pada handphone. Ia hanya membuka handphone saat akan membuat janji temu bimbingan. Selebihnya ia tak peduli. Tidak ingin tahu dengan berbagai kisah yang dipost oleh teman-temannya di aplikasi perpesanan. Dan ia juga tidak ingin semangat berkobarnya itu terganggu dengan chat dari teman-temannya. Egois. Ia menyadari itu. Namun ia tidak peduli. Ia egois untuk masa depannya. Dan ia begitu bersyukur karena Bu Wanti dan Pak Jo bersedia membubuhkan tanda tangan mereka di lembar pengesahan proposal skripsi yang telah direvisi Selasa lalu. Rasanya lega luar biasa. Fokus Ayana saat ini adalah mengembangkan LKPD-nya agar menjadi lebih baik dan menarik. *** Selasa pagi Ayana ke kampus bersama Nufi untuk bertemu Bu Wanti. Kamis di mana Ayana berangkat mendaki, telah bertemu untuk Bu Wanti. Mereka membuat janji temu untuk konsultasi mengenai proposal yang telah direvisi hari ini. Ayana duduk di samping Nufi. Kursi tunggu terbuat dari besi yang seharusnya diisi untuk empat orang, saat ini mampu menampung lima badan mahasiswa yang sama-sama menunggu Bu Wanti. Sudah hal wajar jika mahasiswa harus sabar nunggu Sang Dosen. Jika ada mahasiswa yang membuat dosen menunggu, maka amarah dosen tak akan terelakkan. Lagi pula itu tak pantas. Norma kesopanan mengajarkan agar yang muda menunggu yang lebih tua. Apalagi yang ditunggu adalah dosen, guru bagi mahasiswa yang telah menyampaikan banyak ilmu, ilmu pengetahuan dan ilmu kehidupan. “Kamu sudah konsultasi produk, Jul?” tanya Nufi pada Yulina—rekan sekelas Ayana juga Nufi yang lebih sering dipanggil dengan Jul. Ada lima mahasiswa yang sedang setia menunggu Bu Wanti. Ayana, Nufi, Yulina, Inass, dan Velan. Lima mahasiswa itu adalah rekan satu kelas, mulai dari semester dua hingga saat ini. Perlu diketahui bahwa jumlah laki-laki yang mengambil program studi di Fakultas MIPA dapat dihitung jari. Jika boleh dibandingkan, perbandingannya adalah satu dibanding 10. Tak ayal jika Bu Wanti hanya mendapatkan mahasiswa bimbingan, juga mahasiswa yang diuji berjenis kelamin perempuan. “Belum, Nuf. Masih revisi proposal,” jawab Yulina sendu. Bu Wanti selalu sempurna. Tidak pernah setengah-setengah dalam merevisi. Membuat para mahasiswa harus memiliki banyak stok semangat dan kesabaran. Toh hal itu juga demi kebaikan mereka. “Sama kalau gitu. Aku juga masih harus revisi. Ayana pun begitu,” sahut Nufi dengan wajah yang ia usahakan tetap dalam keadaan baik-baik saja. “Inass ini sudah konsultasi produknya, Nuf. Mungkin sebentar lagi akan ambil data,” ujar Yulina seraya menyenggol lengan Inass yang tampak sibuk dengan handphone-nya. Inass memandang Yulina penuh tanya. Namun Yulina tak berminat untuk menjelaskan. Hal itu membuat Inass kembali berkutat dengan handphone. 15 menit mereka menunggu, tepat pukul 09.15, Bu Wanti melangkah dari koridor penghubung gedung menuju ke ruangannya. Ayana dan mahasiswa lain yang menunggu pun mengembuskan napas lega. Jurusan Biologi terletak di lantai dua. Sedang lantai satu adalah lantai dari Jurusan Fisika, dan lantai tiga Jurusan Kimia. Sebenarnya tidak hanya satu gedung saja. Matematika dan IPA memiliki gedung sendiri. Biologi, Fisika, dan Kimia pun juga memiliki gedung tambahan sendiri. Untuk gedung yang saat ini Ayana sedang menunggu adalah dua gedung yang dihubungkan menjadi satu. Di gedung sebelah utara adalah gedung khusus untuk ruang TU, ruang dosen, Ruang Ketua Jurusan, Ruang Sekretaris Jurusan, Ruang Makan, Perpustakaan Jurusan, Mushola Jurusan, dan tiga kelas pembelajaran. Sedang di gedung sayap selatan adalah gedung untuk Ruang Kepala Laboratorium, Ruang Peminjaman dan Pendataan Kebutuhan Laboratorium, Laboratorium Ekologi dengan ruang dosen, dan Laboratorium Taksonomi disertai ruang dosennya. “Saya masuk ruangan dulu, ya. 15 menit dari sekarang nanti Ayana yang masuk dulu,” ucap Bu Wanti. “Nggih, Bu,” jawab lima mahasiswa itu serempak. Bu Wanti melangkah masuk menuju ruangannya yang terletak di dalam Laboratorium Taksonomi. Membuat Ayana gegas memandang ke arah Velan. “Lan.. aku minta maaf,” ujar Ayana tak enak hati. Velan yang datang lebih awal, tetapi namanya yang diminta oleh Bu Wanti untuk masuk lebih dulu ke ruangannya. Velan adalah mahasiswa bimbingan Bu Wanti, sedang ia, Nufi, Yulina, dan Inass adalah mahasiswa yang diuji oleh Bu Wanti. “Gak apa, Ay. Aku nggak mungkin mengatakan pada Bu Wanti kalau aku yang datang awal kam?” tanya Valen. Wajah perempuan dengan rambut hitam yang tergerai lurus dan tampak berkilau itu mencoba baik-baik saja. Ia sudah duduk di bangku paling ujung yang dekat dengan pintu ruang dosen taksonomi. Sayangnya Bu Wanti sedang tidak berpatokan pada siapa yang datang lebih awal. “Lan.. Aku benar-benar minta maaf.” Ayana tak ingin pertemanan yang selama ini terjalin menjadi rusak atau sedikit tergores karena masalah ini. “Semoga aku baik-baik saja, Ay. Pasti ada sesuatu hal yang membuat Bu Wanti meminta kamu masuk dulu.” Senyum Velan kini terlihat lebih lebar. Tidak tampak terpaksa seperti sebelumnya. Perubahan kecil itu berhasil membuat Ayana lega. Setidaknya kini ia menjadi lebih tenang. “Ay, sudah jam setengah 10,” tegur Yulina. Ayana menekan tombol daya di samping handphone-nya. Benar saja, pewaktu menunjukkan pulul 09.30. “Aku masuk dulu ya,” pamit Ayana. Perempuan itu lalu mengangkat tubuhnya dari kursi besi yang telah ia duduki selama 45 menit itu. Tiba di depan pintu ruang dosen, Ayana mengetuknya pelan. Lalu mulai membuka pintu itu perlahan. Masuk ke ruang dosen berukuran dua meter kali enam meter yang terdiri dari enam meja. Bu Wanti duduk di meja paling ujung. Ayana mengayunkan kakinya pelan sembari membungkukkan badan kala melintasi depan meja dosen taksonomi yang lain. “Bimbingan, Ay?” tanya salah satu dosen taksonomi hewan. Ayana menghentikan langkahnya. Lalu mencium punggung dosen tersebut. “Inggih, Bu,” jawab Ayana seraya menyunggingkan senyum lebar. “Semoga lancar.” “Aamiin. Terima kasih, Bu.” Dosen tersebut mengangguk. Membuat Ayana kembali melanjutkan langkahnya. Di depan meja Bu Wanti, Ayana gegas mencium punggung tangan dosen pengujinya juga dosen pembimbing akademiknya. “Bagaimana kabarnya, Bu?” tanya Ayana lembut. Bu Wanti menyunggingkan senyum lembut. Terlihat di netranya rasa haru yang menyelimuti. “Kita bicara di ruang sebelah saja, ya,” ajak Bu Wanti. “Nggih, Bu,” jawab Ayana seraya membalikkan badannya dan mulai melangkah menuju ruang kelas. “Bagaimana, Ay?” “Sudah saya revisi seperti yang Ibu sarankan. Silakan dicek, Bu,” jawab Ayana sopan. Bu Wanti mengecek beberapa hal yang telah ia beri tanda. Dan ia mengangguk puas karena semuanya telah sesuai dengan yang disampaikan. “Saya tanda tangan, ya?” “Nggih, Bu,” jawab Ayana dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Bahagia sekali perempuan itu ketika mendengar kata tanda tangan. Hatinya seakan terasa dipenuhi dengan kembang api yang meletup-letup. Begitu bahagia. Bunga-bunga juga berterbangan beriringan dengan letupan kembang api yang menyorakkan kebahagiaan. “Ay.. Saya ingin minta tolong,” ujar Bu Wanti dengan nada tegas. Ayana menanti dengan wajah tegang. Baru saja ia merasa bahagia. Baru saja senyumnya lebar mengembang, nyatanya harus kembali tertekuk dalam. “Ini tidak berkaitan dengan skripsi kamu, Nak,” kata Bu Wanti ketika melihat wajah tegang mahasiswanya. “Ini berkaitan dengan thesis saya,” imbuhnya. Ayana mengembuskan napas lega. “Saya harus bantu apa, Bu?” tanyanya dengan sangat antusias. Bu Wanti kembali menyunggingkan senyum lebarnya. Ini yang disukainya dengan Ayana. Perempuan itu akan dengan antusias membantunya, Ayana mau belajar cepat dari kesalahan. “Tolong ketikkan hasil disertasi saya ini, ya. Untuk gambarnya tidak perlu, hanya semua tulisan hasil ini saja.” Ayana mengangguk paham kala Bu Wanti menunjukkan bagian mana saya yang harus diketiknya. “Thesis saya nanti juga kurang lebih sama dengan ini. Hanya saja objeknya berbeda. Objek yang saya angkat tentang semanggi,” jelas Bu Wanti. Ayana mengangguk paham. “Akan saya selesaikan secepatnya, Bu.” “Terima kasih, Ayana. Hari Jum’at besok ke kampus, ya. Saya bimbing untuk membuat LKPD-nya.” Senyum Ayana seketika terlengkung lebar. Rasanya ia begitu bahagia. “Baik, Bu. Terima kasih, Bu Wanti.” “Sama-sama. Saya akan mengawal kamu agar LKPD kamu bisa cantik.” “Sekali lagi terima kasih, Bu.” Ayana dan Bu Wanti berbincang sejenak. Lalu setelahnya Ayana pamit undur diri. Tak lupa diciumnya dengan khidmat punggung tangan Bu Wanti. Sebelum Ayana melangkah meninggalkan ruangan, Bu Wanti berpesan padanya untuk memanggil mahasiswa yang datang lebih awal. Ayana melangkah keluar dengan senyum lebar. Lalu meminta Velan untuk masuk menemui Bu Wanti. “Sudah ditanda tangani, Nuf,” seru Ayana dengan senang tapi tetap bernada pelan. Nufi ikut bahagia. Disusul dengan harapan supaya proposalnya juga lekas mendapat tanda tangan. Begitu pula dengan Yulina. Ayana setia menunggu giliran Nufi dipanggil Bu Wanti. Dan proses menunggunya tak sia-sia. Proposal milik Nufi juga berhasil mendapat tanda tangan Bu Wanti. Menciptakan senyum lebar di wajah dua mahasiswa itu. Mereka lalu berjalan beriringan untuk menemui dosen penguji dua. Dan mereka sangat bersyukur karena jalan mereka dipermudah. Dosen penguji dua tidak membuang banyak waktu. Tanda tangan dengan cepat telah melengkapi lembar pengesahan proposal skripsi itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN