61. Terima Kasih, Abang

1547 Kata
Ayana masih menangis. Ia sudah mampu lebih tenang. Namun penyesalan masih terus menghantuinya. Asti melepaskan pelukannya. Lalu menepuk pundak Ayana lembut. Setelahnya ia usap pundak Ayana untuk menenangkan sahabatnya yang sedang terguncang itu. Tidak ada yang ingin mengalami musibah tentu saja. Apalagi musibah tidak terduga seperti ini. Benar-benar di luar dugaan dan ekspektasi. “As.. boleh pinjam handphone-nya?” tanya Ayana dengan suara serak. Asti mengangguk. Gegas ia turun kembali ke kamarnya untuk mengambil handphone-nya. “Aku mau chat Nufi, ya? Sekalian mau telpon Abang. Boleh?” Suara Ayana bahkan masih naik turun. Kerapuhan jelas masih melekat pada gadis itu. “Tentu saja, Ay. Tenang saja.” Ayana mengucap terima kasih. Lalu mulai sibuk di aplikasi perpesanan berwarna hijau itu. “Kamu mau bimbingan, Ay?” “Iya, As. Aku sudah mengerjakan revisian itu sebelum pulang. Jadi semuanya aman-aman saja.” Asti mengangguk. Ia memilih diam sembari mengamati Ayana yang tampak kacau. “Bang..” Air mata Ayana kembali luruh. Hatinya kembali terkoyak habis. “Ayana ditipu orang. Ayana yang bodoh. Semua barang Ayana dibawa sama orang itu. Ayana jalan ke kos,” jelas Ayana naik turun. Napasnya tersengal karena berbicara dengan tangis sedu yang menyertai. “Ayana nggak berani lapor polisi. Nanti ditanyai banyak hal,” jawab Ayana dengan gelengan yang kuat. *** “Ayana! Dicari abangnya,” panggil menantu ibu pemilik kos. “Nggih, Mbak,” jawab Ayana dengan suara yang tak kalah keras dari Si Pemanggil. Namun tetap saja, nada Ayana lebih lembut. Berbeda dengan Si Pemanggil yang cukup tegas dan disegani itu. Gegas Ayana mengenakan kerudung instan miliknya. Ia juga mengecek penampilannya. Ia berharap wajahnya tampak baik-baik saja di hadapan Abang. Perempuan itu tak ingin membuat Abang terlalu mengkhawatirkannya. “Kita ke kantor polisi sekarang, Dek. Bawa fotokopi KTP sama kartu-kartu lain yang ada di dompetmu,” tegas Abang saat Ayana baru saja selesai mengecup punggung tangannya. “Tapi, Bang..” Abang menggeleng tegas. “Cepat! Jangan ada penolakan.” Dengan langkah berat, Ayana melangkah masuk kembali ke kos. Mencari berkas-berkas yang diminta Abang pada satu map khusus untuk berkas-berkas pribadinya itu. Hal itu menguntungkannya dalam mencari bila sedang berada pada saat terburu-buru seperti ini. “Kita ke kantor polisi. Tadi Abang sudah tanya kantor polisi mana yang menangani tempat kejadian kamu kehilangan barang-barang,” tegas Abang. “Nggak hilang, Bang. Tapi memang dibawa sama itu orang,” jawab Ayana lirih. “Sama saja, Dek. Lain kali hati-hati! Jangan percaya sama orang. Kalau order ojek online juga harus lebih hati-hati. Jangan gegabah kayak hari ini!” peringat Abang. Ayana mengangguk pasrah seraya memilih memandang ke kiri. Hatinya masih rapuh. Dan tidak ingin semakin rapuh dengan ditambah ceramah dari Abang. Memang ini kesalahannya. Namun siapa yang tahu jika berakibat fatal seperti ini? Ayana pun tentu tidak akan mau bila ia mengalami hal seperti ini. “Surabaya kejam pada beberapa hal, Dek. Ya contohnya seperti ini.” “Nggak hanya Surabaya, Bang. Semua tempat itu pasti memiliki kekejamannya masing-masing. Bergantung pada orang-orangnya saja. Dan kebetulan Ayana bertemu dengan orang tidak bertanggung jawab. Dengan seorang pria yang bisa saja ia adalah seorang ayah, yang kesusahan mencari uang lalu melakukan hal merugikan seperti yang menimpa Ayana,” timpal Ayana seraya memutar sedikit tubuhnya menghadap Abang. Abang melirik sekilas adiknya. Ayana semakin dewasa. Ia pun mengusap kepala Ayana lembut. “Namun hal itu tidak mungkin kita biarkan saja, Dek. Kita perlu melapor. Entah nanti bisa diproses atau tidak, yang terpenting kartu-kartu kamu bisa diurus dan kembali,” ucapnya. Ayana kembali mengangguk. Rasa haru menyelimutinya. Ia tahu ia salah. Ia juga telah membuat Abang rela jauh-jauh dari Jombang untuk melindungi dan menemaninya. “Ibu tahu, Bang?” tanya Ayana. Ia tak ingin Ibu mengkhawatirkannya. Ditambah dengan Bapak yang mungkin akan semakin menekannya. “Abang hanya telpon ke mbakmu. Entah Mbak cerita atau tidak, Abang nggak tahu.” Ayana menghela napas pasrah. Semoga saja apa yang ia takutkan tidak terjadi. Ia takut bila semakin dihakimi Bapak. “Terima kasih, Bang,” ujar Ayana tulus. “Akan Abang lakukan apa pun yang bisa Abang lakukan buat kamu, Dek. Kamu tanggung jawabnya Abang,” tegasnya. Setibanya di Kantor Polsek Gayungan, Abang segera menuntun Ayana masuk ke gedung kantor polisi itu. Abang pun menjelaskan duduk permasalahannya. Lalu kini duduklah Ayana di depan seorang polisi yang umurnya masih termasuk kategori muda itu. "Untuk mengejar atau menyelidiki Si Pengemudi, mohon maaf kami tidak bisa menyelidikinya karena Mbak tidak menghafal nomor kepolisian motor tersebut. Sehingga kami hanya bisa membantu memproseskan surat kehilangan atas beberapa kartu di dompet Mbak yang hilang," jelas polisi tersebut. "Memangnya tidak ada CCTV yang terpasang, ya, Pak?" tanya Ayana dengan suara serak. Setiap menceritakan kembali hal naas yang menimpanya, air matanya akan otomatis berderai. "Itu masalahnya, Mbak. CCTV di jalan tersebut baru saja rusak tadi malam. Dan siang ini baru sedang proses pembetulan." Ayana mengembuskan napas kecewa. Namun ia pun harus rela dan ikhlas melepaskan barang-barangnya diambil Si Pengemudi itu. "Kalau begitu kami permisi, Pak. Terima kasih telah membantu," ucap Abang saat Ayana memanggilnya. "Sama-sama, Pak. Terima kasih juga karena telah melaporkan hal tersebut pada kami. Hal itu akan kami gunakan untuk terus memperketat penjagaan. Apalagi tadi Mbak ini juga sudah menjelaskan ciri-ciri Si Pengemudi itu. Akan memudahkan kami untuk melacak orang tersebut." Setelah itu, Abang kembali menuntun Ayana keluar kantor polisi. Adiknya itu tampak teguncang dan pucat. Membuatnya mendekap tubuh Sang Adik. "Kita makan, ya? Kamu pingin apa, Dek?" tanya Abang saat mobilnya mulai menjauhi kawasan jalanan kantor polisi itu berada. "Ehm.. beli bakso saja, Bang. Beli di dekat kos." Abang mengangguk. Ia mulai melajukan mobilnya di jalanan arah ke kos Ayana. "Kamu tadi jadi bimbingan?" "Jadi." Abang memandang Ayana tak percaya. Bagaimana bisa adiknya itu tetap tegar dan merasa bahwa sedang tidak ada masalah berat? Ayana pun menjelaskan kondisinya. Meskipun dengan wajah sembab dan mengenaskan, Ayana berhasil bimbingan dengan baik. Bu Puspa pun menjanjikan padanya dan Nufi bahwa mereka hanya perlu sekali lagi revisi lalu dapat mengajukan diri untuk mendaftar sidang skripsi. "Wah... alhamdulillah, Dek. Allah baik sekali. Di balik hal yang tidak menyenangkan tadi pagi, Dia memberikan hadiah indah yang kamu impikan." Ayana mengangguk. Ia membenarkan perkataan Abang. "Seandainya hal naas tadi nggak menimpa Ayana, mungkin Ayana akan merasa lebih bahagia, Bang," lontar Ayana dengan netra yang fokus pada mangkok baksonya. "Huss.. nggak boleh ngomong gitu, Dek! Berandai-andai sama saja dengan kamu membuka celah bagi setan untuk membuat kamu tidak merasa bersyukur!" peringat Abang tegas. Tubuh Ayana tiba-tiba duduk tegak. Apa yang Abang sampaikan 100 persen benar. Harusnya ia tak boleh menyalahkan takdir. Lagipula jika dipikir-pikir, kebahagiaan tak mungkin selalu mendampingi hidup seseorang. Ada masanya kesedihan juga akan datang menyapa untuk menguji keimanan seorang hamba. “Habiskan segera baksomu! Kita ke Marina Plaza,” titah Abang. “Ngapain?” tanya Ayana heran. “Main snorkeling.” “Abang ada-ada saja.” “Ya beli handphone tho, Sayang,” ucap Abang gemas. “Sekalian ngurus nomor handphone kamu.” “Kayaknya nomorku hangus deh, Bang. Soalnya dulu daftar nomor itu pake kartu pelajar,” jawab Ayana. Abang menghela napas. “Ya sudah beli kartu baru,” ucap Abang akhirnya. Ayana hanya mengangguk. Namun tiba-tiba wajahnya mendung. Ia teringat akan seseorang yang belum lama ini menjadi penjaga hatinya. “Kenapa mukamu mendung? Ingat Tama?” Tebakan Abang sangat benar. 100 untuk Abang. “Ya tinggal chat saja pake nomor baru,” ucap Abang enteng. “Ya mana hafal, Bang. Nomornya Abang saja tadi lihat dicatatan nomor telepon,” katanya. “Ya lewat sosial medinya dong, Dek,” kata Abang seraya menggeleng tak habis pikir dengan adiknya itu. “Oh iya ya. Nanti Ayana coba deh.” *** Saat ini, Abang dan Ayana sudah tiba di Marina Plaza. Sebelum menuju outlet penjual aneka merk handphone, Abang mengajak handphone ke konter salah satu provider. Abang meminta Ayana untuk mencoba mengurus kartu providernya. Sayangnya benar apa yang dikatakan Ayana saat di kedai bakso, identitas yang digunakan Ayana tidak valid dan gadis itu lupa meletakkan di mana kartu pelajar jaman SMP-nya itu. Iya, nomor itu adalah nomor yang pertama ia miliki, ketika handphone-nya masih berupa handphone jadul, bukan handphone canggih atau smartphone seperti yang sedang marak saat ini. “Sekalian beli nomor handphone baru, nggak?” tawar Abang. “Boleh deh, Bang.” Ayana kemudian memilih salah satu nomor. Bukan nomor cantik, ia bukan penggila nomor kartu provider cantik yang harganya bisa dua kali lipat dari nomor biasa. Baginya nomor cantik atau tidak, sama saja. Kini Abang dan Ayana sedang mengitari lantai tiga Marina Plaza. Lalu Abang melangkah menuju outlet handphone yang paling ramai dan besar. “Kamu mau handphone yang gimana? Yang kayak kemarin atau beda merk?” “Lihat spesifikasinya deh, Bang. Kayaknya aku juga mau beli android saja. Iphone terlalu mahal kalau beli yang baru,” jawab Ayana tanpa minat. Mengingat handphone-nya tiba-tiba membuat sendu yang semula telah hilang kini kembali menyapa lagi. Menciptakan mendung di wajahnya. “Nggak masalah kali, Dek. In shaa Allah uangnya cukup.” Ayana menggeleng tegas. “Bukan masalah uangnya, Bang. Ya meskipun itu juga salah satu faktornya. Tapi Ayana hanya merasa ingin berpindah ke android agar Ayana lupa akan kebodohan yang Ayana lakukan hari ini.” Abang mengalah. Ia pun bertanya pada pramuniaga untuk menjelaskan setiap merk handphone dan spesifikasinya. Dan akhirnya Ayana memilih salah satu handphone dengan harga yang cukup terjangkau dengan spesifikasi yang bagus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN