Bab 17. Dilabrak

1099 Kata
Aroma sayur yang ditumis di atas penggorengan memenuhi dapur yang tak terlalu besar itu. Bianca menaburkan sejumput garam dan bumbu penyedap lainnya, lalu diaduk dengan gerakan searah jarum jam dan perlahan. Sembari menunggu tumis kangkung yang dimasak jadi, Bianca beralih membuka kulkas kecil dan mengambil beberapa es batu untuk membuat kopi. Namun, belum sempat dia mengambil es batu—suara ketukan pintu yang begitu keras mengganggu pergerakan Bianca. Kening wanita itu berkerut, suara ketukan pintu itu semakin keras membuat Bianca langsung menutup pintu kulkas dan mematikan kompor. "Siapa sih pagi-pagi? Kayak nagih hutang aja!" kesal wanita itu. Bianca meraih lap yang telah usang, lalu membersihkan tangannya dengan terburu-buru. Wanita itu melangkah cepat menuju pintu, dia takut tetangganya terganggu hanya karena orang yang tak tahu sopan santun seperti ini. Saat dia membuka pintu, hal pertama yang Bianca lihat adalah seorang gadis dengan pakaian modis. Alis Bianca menyatu, memandang heran gadis di hadapannya. Matanya menilai gadis itu dari atas sampai bawah, merasa tak asing dengan wajah itu. "Gue kayak pernah lihat, tapi di mana?" gumam Bianca dengan suara yang teramat kecil. "Dasar p***k! Murahan!" Teriakan itu menyadarkan Bianca, dia mendongak dengan wajah terkejut. Wanita itu memandang aneh sosok cantik dengan wajah datar di hadapannya. "Maaf, Dek. Adek salah alamat?" tanya Bianca baik-baik. Dia terkekeh sinis. "Lu murahan juga, ya? Deketin bos lu sendiri, lu goda dia, lu rampas waktu dia buat gue. Lu sebutuh itu sama duit?" cerca Aurel dengan wajah sinis. Alis Bianca terangkat tinggi, dia menutup mulut saat mengingat siapa gadis di hadapannya. Bianca mundur beberapa langkah, wanita itu kembali memandang Aurel dari atas sampai bawah. "Dia pacar itu aki-aki? Sekarang lagi labrak gue? Ah, sialan!" batin Bianca. Bianca berdeham, dia dengan cepat merubah ekspresi wajah menjadi datar. Bianca memandang Aurel dengan angkuh, dia pterkekeh pelan. Bianca berdeham, dia lantas tertawa meledek membuat Aurel geram di tempatnya. "Tuh aki-aki aja yang mata keranjang, nggak bisa liat cewek bening sama seksi dikit. Terus sekarang lu nyalahin gue, lu waras?!" sentak Bianca seraya memberengut kesal. Aurel menghentakkan kaki kesal, gadis itu maju mendekati Bianca. Dia menatap tajam Bianca yang justru tetap tenang dengan wajah meledek yang membuat Aurel kian meradang. "Lu cuman p***k, jangan sombong!" bisik Aurel, lalu mendorong d**a Bianca dengan keras. Bianca terhuyung ke belakang. Wanita itu menyapu kasar bekas tangan Aurel di dadanya. Tanpa aba-aba, Bianca langsung menjambak rambut Aurel sampai kepala gadis itu mendongak ke atas. Bianca menatap tajam sosok asing yang bahkan sampai sekarang tak dia kenali namanya. Dia mengabaikan ringisan dan teriakan Aurel yang memintanya melepas jambakan itu. "Kalau nggak tau apa-apa, jangan ngoceh! Tong kosong nyaring bunyinya tau nggak, sih?" cibir Bianca. Bianca melepas kasar jambakannya pada rambut panjang Aurel. Dia melihat Aurel yang meringis kesakitan seraya memegang rambutnya, sedangkan Bianca menatap tangannya yang penuh dengan rambut Aurel, lalu membuangnya dengan acuh tak acuh. "Lu!" Aurel menunjuk Bianca dengan geram, sedangkan Bianca mengedikkan bahu tak peduli. Amarah Aurel kian meradang, dia menghentakkan tangannya sembari mendengus kasar. Gadis itu menatap sinis wajah menyebalkan Bianca, tatapan Aurel semakin dingin. Tangan gadis itu terkepal di kedua sisi tubuhnya. "Jangan merasa hebat, lu akan tau akibatnya karena udah nyakitin gue!" Aurel memutar tubuh, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Bianca mendengus, dia menatap malas kepergian gadis itu. "Untung gue udah matiin kompor." *** "BI berhenti! Bianca!" Teriakan Bima diabaikan. Bianca tetap melangkah dengan terburu-buru menuju ruangan Bastian, wanita itu ingin mengajukan protes atas apa yang telah dia terima tadi pagi. Tangan wanita itu terkepal, tatapannya begitu tajam dengan wajah memerah dan sedikit mengeras. "Bi—" "Pak Bima bisa diem nggak?! Berisik tau nggak?! Kayak nih kantor mau saya bakar aja." Bianca menyentak Bima saat dia berbalik dan menunjuk wajah pria itu. Bima terdiam, dia bahkan reflek mundur beberapa langkah. Matanya menatap wajah penuh amarah Bianca yang tengah mendengus. Bibirnya dia lipat ke dalam saat tatapan Bianca kian menajam. Bima tak lagi menahan Bianca yang terus melangkah ke ruangan direktur. Bianca terkekeh sinis. Wanita itu menendang pintu ruang direktur, hal itu berhasil memancing amarah Bastian. Namun, belum sempat Bastian berbicara—Bianca telah lebih dulu muncul. "Kamu bisa 'kan masuk baik-baik?" tanya Bastian tertahan, sedangkan Bianca memilih diam seraya terus melangkah mendekat. Tanpa aba-aba dan perintah, Bianca duduk di depan Bastian yang berdiri. Kaki wanita itu naik ke atas meja, dia menatap santai Bastian yang meradang di tempatnya. Saat Bastian ingin meminta Bianca menjaga sikap, Bianca telah lebih dulu bicara. "Entah kesialan jenis apa yang saya dapat, tapi kedatangan seseorang ke rumah saya dan ngatain saya p***k itu keterlaluan. Padahal di sini, Bapak yang selalu maksa saya. Kenapa jadi saya yang dikatain murahan?" ucap Bianca. Bastian memandang heran wanita yang beberapa kali menemani dirinya di ranjang. "Maksud kamu?" Bianca menurunkan kakinya. Wanita itu melipat tangan di depan d**a, dia terkekeh sinis. "Kalau bapak udah ada cewek, mending jadiin cewek Bapak pemuas nafsu Bapak juga," katanya. "Saya nggak punya cew—" "Ajarin cewek Bapak sopan santun, karena saya bukan wanita yang bisa ditindas," potong Bianca lantas pergi begitu saja, meninggalkan Bastian yang kebingungan. *** Aurel menundukkan kepalanya. Kedua tangan gadis itu ada di depan tubuhnya. Sementara itu, di hadapan Aurel—seseorang dengan tubuh jangkung berdiri dengan amarah yang meradang. Aurel tak berani berkutik atau sekadar berbicara, sikap angkuh dan semena-mena gadis itu hilang begitu saja saat dihadapkan dengan amarah sayang ayah. Bastian menatap dingin sang putri. Kedua tangan pria itu terlipat di depan d**a, sedangkan sedikit pantatnya bertumpu pada meja belajar sang anak. "Maksud kamu ngelabrak karyawan Papa apa, Aurel?" Suara dingin Bastian seakan membuat kamar Aurel kian dingin. Gadis itu mendongakkan kepala, dia menggeleng kaku. "Ak—aku nggak ada labrak karyawan Papa," jawab gadis itu sedikit gagap. "Terus ini?" Bastian menunjukkan rekaman CCTV sekitar rumah Bianca, gayanya tetap tenang. Namun, ada ketegasan di sana. Aurel melipat bibirnya ke dalam, tak menyangka Bastian akan dengan mudah mengetahui tindakannya. "Pa—" "Aurel, Papa terlalu manjain kamu selama ini. Kamu jadi seenaknya bahkan nggak bisa ngerhargain orang. Kamu nggak tau apa pun, Aurel!" potong Bastian dengan suara tinggi. Aurel mendongak, mata gadis itu berkaca-kaca. "Papa belain p***k itu?" tanyanya dengan nada kecewa. Suara tamparan menggema di kamar yang cukup luas itu. Aurel memegangi pipinya yang terasa panas, air mata gadis itu jatuh dari pelupuk mata. Sementara itu, Bastian tengah mengatur napas—dadanya naik turun dengan wajah mengeras dan kaku. "Pa?" panggil Aurel dengan suara serak. "Kamu salah, Aurel! Selama ini Papa yang maksa dia, Papa yang nyentuh dia, Papa yang kecanduan sama dia, Aurel!" Teriakan dan bentakan itu membuat Aurel terdiam. Tatapan kecewa Bastian mengalahkan tatapan kecewanya, Aurel diam—menatap Bastian yang mengusap wajah frustrasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN