Bab 16. Keputusan Bianca

1069 Kata
Hampir setengah jam Bianca berguling ke sana ke mari di atas ranjangnya yang tak terlalu besar. Pikiran wanita itu begitu penuh selepas pulang dari rumah Alin. Dia berhenti bergerak, wanitai itu menatap langit-langit kamar. Helaan napas Bianca terdengar jelas di kamar yang hanya dihuni dirinya itu. Bianca mengambil bantal yang dibungkus sarung berwarna abu-abu, bibirnya mengerucut. Mengubah posisi menjadi duduk, Bianca memangku dagunya. Ucapan Alin tadi berhasil menampar dirinya. Mengembuskan napas kasar, Bianca kembali merebahkan tubuh perlahan. Wanita itu memandang kosong langit-langit kamar, dia mendengus sebal. "Tuh aki-aki beneran kayak setan! Mau enaknya aja, giliran ditanya kepastian malah nggak bisa jawab," oceh Bianca Bianca terdiam sejenak, dia mengingat percakapannya dengan Bastian setelah hubungan intim mereka. Menghela napas panjang, Bianca memeluk erat bantal dengan sarung lusuh miliknya. Napas keduanya memburu, berat dan begitu panas. Bianca memeluk Bastian erat, tangannya bergerak nakal di d**a Bastian—mengelus dan terkadang menyeretnya turun dengan gerakan pelan. d**a Bastian naik turun, Bianca seakan sengaja memancing dirinya untuk kembali melanjutkan pertempuran. Namun, melihat Bianca yang kelelahan setelah dua jam permainan mereka tentu membuat Bastian tidak tega. Bastian menunduk, bibir pria itu menipis membentuk senyuman tipis. Matanya menatap Bianca yang tampak kelelahan dengan tubuh penuh peluh dan bercak merah. Dia mengusap leher Bianca—lebih tepatnya mengusap bercak merah di leher wanita itu, lalu mengecup kening Bianca cukup lama. "Terima kasih dan maaf buat kamu lelah," bisik Bastian, suaranya serak—seakan suara pria itu habis untuk mendesahkan nama Bianca berulang kali. Bianca mendongak, matanya mengerjap pelan saat melihat keringat Bastian di kening pria itu. Tatapan Bianca lantas turun ke bibir tebal berwarna hitam karena rokok itu, air liurnya ditelan kasar. Bianca segera mengenyahkan pikirannya yang semakin liar. "Pak, boleh saya tanya sesuatu?" Bianca melenguh pelan saat tangan kekar penuh urat Bastian mengusap pangkal pahanya. "Heem?" deham Bastian dengan mata tertutup. "Sebenarnya kita apa?" tanya Bianca dengan nada pelan, sedikit gugup sekaligus takut. Bastian membuka mata, dia menatap lekat netra Bianca yang tengah menanti jawaban. Tangan pria itu berhenti mengusap pangkal paha Bianca, dia terdiam beberapa saat dengan tatapan bingung. Lalu, netra Bastian kembali menatap mata lelah Bianca, dia mengembuskan napas panjang—menyiratkan kebingungan yang begitu besar. "Maaf, Bi. Saya belum bisa kasih kamu jawaban pasti," jawab Bastian pada akhirnya, berhasil mengecewakan Bianca yang menanti penuh harap. Bianca langsung mengubah posisi menjadi duduk. Dia terbatuk pelan, matanya memburam—buliran bening mengenang di pelupuk matanya. Berkedip cepat, Bianca dengan cepat memungut pakaiannya di lantai. Rasa kecewa wanita itu tak bisa dia sembunyikan. Dadanya seperti dihantam batu besar, rasanya sesak dan menyakitkan. Bianca merasa bersalah pada dirinya sendiri, terlalu rendah dan terlalu mudah menyerahkan dirinya. "Pak, saya harus kembali bekerja," ucap Bianca dengan suara serak. Suara detak jarum jam memenuhi kamar itu. Bianca tersenyum masam kala ingatan siang tadi berputar di kepalanya. Dia mengubah posisi menjadi duduk dengan cepat, tangannya mengepal di udara—wajah wanita itu begitu serius dan penuh tekad. Dia menahan napas beberapa saat, lalu mengembuskan dengan keras. "Gue harus jauhin pak Bastian, harus! Gue nggak boleh terus-terusan jadi temen ranjangnya. Selingkuhan aja dapet status masa gue nggak?!" ucapnya dengan mantap, seraya menganggukkan kepala tegas. *** Aurel menatap datar laptop miliknya yang tergeletak di atas meja belajar. Kamar dengan ukuran 8×8 dengan warna dusty mouve dan abu-abu stone tampak sunyi, angin malam menyergap masuk melalui jendela balkon yang terbuka. Lampu kuning temaram di dekat lemari sepatu menyala—memberikan kesan hangat yang mendominasi sekitar. Aurel berdecak pelan, dia memukul meja belajarnya. Layar laptop gadis itu menampilkan data mengenai Bianca yang tidak detail. Dia sengaja menyuruh orang kepercayaannya untuk mencari tahu mengenai Bianca, tetapi yang Aurel dapatkan justru bukanlah informasi penting. "Papa pasti sembunyiin data wanita sialan itu!" gumam Aurel dengan penuh amarah dan dendam yang dia simpan. Tangan gadis itu kian kuat terkepal, kuku-kukunya menancap di atas jari-jarinya. Aurel menutup kasar laptopnya, dia memejamkan mata—mencoba mengendalikan amarahnya yang nyaris meledak detik itu juga. Wajah cantik Aurel bahkan sudah memerah, bukan karena malu, melainkan karena amarah yang coba dia tahan. Suara ketukan pintu dari luar membuat Aurel membuka mata, dia menoleh—menatap dingin pintu berwarna dusty mouve itu. Mengatur napas, Aurel mendorong laptopnya sedikit jauh dari tubuhnya. Dia berusaha menormalkan mimik wajahnya. "Cantik, Papa boleh masuk? Papa mau ngomongin sesuatu sama kamu," teriak Bastian dari luar. "Masuk aja, Pa!" Pintu terbuka memperlihatkan Bastian yang masih dengan setelan kantor, tetapi dengan dasi yang sudah melonggar. Pria itu berjalan masuk dengan maskulin, lalu duduk di tepi ranjang sang putri. Sementara itu, Aurel memutar tubuh agar dapat melihat sang ayah. "Kamu lagi sibuk?" tanya Bastian yang dibalas gelengan. "Kenapa? Apa yang mau Papa bicarain?" Sikap sang anak membuat Bastian terkekeh pelan beberapa saat, sebelum wajahnya kembali datar. "Papa makin tua dan Papa butuh pedamping untuk nemenin Papa di hari tua Papa, kamu makin besar dan dewasa. Kelak kamu akan menikah, Sayang. Lalu Papa dengan siapa? Siapa yang akan merawat Papa?" Bastian mengucapnya perlahan, ekspresinya tenang. Namun, tatapan mata pria itu meminta Aurel untuk mengerti. Aurel diam. Tidak mengeluarkan reaksi apa pun, wajahnya masih datar dengan tatapan tajam. Tatapan memelas sang ayah nyatanya tak mampu mengetuk pintu hatinya. Aurel hanya diam, membiarkan suara burung nuri yang melintas menjawab setiap pertanyaan Bastian. *** Angin malam menusuk kulit, tetapi orang-orang yang tengah memadu kasih masih enggan untuk beranjak dari tempatnya. Pasar malam tampak ramai seperti biasa, anak-anak yang bermain dan berlarian ke sana ke mari—lalu orang dewasa yang berjalan sambil sesekali menikmati setiap wahana. Aroma jagung bakar bersatu dengan aroma sate bakar yang di jual beberapa stand makanan. Suara-suara teriakan yang mempromosikan diskon makanan terdengar bersahutan dengan teriakan yang asalnya dari bianglala. Malam ini, langit cerah dengan ribuan bintang yang bersembunyi di balik awan—dan malam ini ada banyak tawa dan kebahagiaan yang berasal dari mereka. Alin duduk di salah satu bangku. Dia menggigit kecil jagung bakar dengan rasa pedas manis itu, walau lebih dominan pedas. Tubuhnya berputar, menatap sang kekasih—Kavindra Putra, mahasiswa jurusan hukum yang kini berusia 24 tahun. "Sayang, boleh aku minta sesuatu?" tanya Alin setelah semua jagungnya tertelan. Kavin mengangguk, dia menatap hangat sang kekasih—tangan pria itu terulur mengusap sudut bibir Alin yang sedikit belepotan. "Mau ngomong apa, Sayang?" Pertanyaan bernada hangat dan lembut ditambah senyuman manis berhasil membuat perasaan Alin kian menghangat. "Jangan pernah tinggalin aku apa pun yang terjadi, ya? Terus berjuang bareng aku sampai kita ada di satu atap yang sama. Boleh?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN