Bab 15. Peredam Amarah

1055 Kata
Bastian menatap tumpukan berkas itu dengan wajah serius, dia membaca setiap berkas dengan teliti. Sesekali pria itu akan menghela napas ataupun memukul meja saat mendapati sesuatu yang tidak beres. Bastian menjauhkan tubuhnya dari meja, dia bersandar pada kursi kebanggaannya. Tangan Bastian bertaut di atas perut. Pria itu tahu betul ada yang salah dengan laporan yang baru saja dia terima mengenai salah satu proyek E-wallet expansion. Napas Bastian berat, tangannya terkepal memperlihat otot-ototnya. Dia lantas memukul meja cukup kuat, suaranya menggema di ruangan yang cukup keras dan kedap suara. Bastian segera menghubungi sang sekretaris melalui telepon kabel yang ada di ruangannya. Wajah keras dan tatapan tajam pria itu menyiratkan kemarahan yang cukup besar, tangki emosi Bastian seakan meluap dan meledak tanpa aba-aba. "Ke ruangan, sekarang!" Perintah itu begitu dingin dan tegas. Di ruangan khusus Sekretaris, Bima menghela napas panjang seakan tahu alasan Bastian memanggil dirinya pasti karena sebuah masalah. Bima mendorong kursi yang dia duduki, lantas berdiri dengan wajah malas yang segera dia netralkan saat sudah berada di depan ruang direktur. "Hah! Masalah apa kali ini?" gumam pria itu. Bima mengetuk pintu sebanyak tiga kali, setelah mendapat instruksi—pria itu langsung masuk ke dalam ruangan Bastian. Langkahnya sedikit tergesa dan lebar, setibanya di depan Bastian—kedua tangan Bima berada di belakang punggungnya. Dia menatap Bastian dengan santai, tetapi masih tersirat kehormatan di sana. "Ada apa, Pak?" tanya Bima. Bastian mendorong berkas di mejanya, dia memberikan isyarat pada Bima untuk melihat berkas itu. "Baca!" titahnya tegas. Tanpa membuang waktu, Bima langsung mengambil berkas itu. Dia membacanya dengan teliti, mata Bima melotot—dia menurunkan berkas itu dan menatap Bastian dengan tatapan terkejut. "Ini ... satu trilliun?" ujarnya sedikit lambat dengan mata membulat dan bibir sedikit terbuka. Bastian mengangguk. "Segera selidiki! Saya mau masalah ini selesai kurang dari sebulan!" Bima yang mendengar itu semakin tersentak. Dia lantas mengangguk cepat. "Baik, Pak." Bastian menghela napas. Dia mengibaskan tangan hendak mengusir Bima, tetapi gerakan tangannya terhenti di udara membuat Bima memandangnya heran. Satu orang terlintas di benak pria itu, dia langsung menatap Bima. "Panggil Bianca ke sini!" titah Bastian yang diangguki Bima. Bianca meredam desahannya. Tangan kekar Bastian semakin turun ke bawah, membelai titik sensitifnya. Sedangkan, dirinya duduk pasrah di atas meja kerja Bastian dengan bulir keringat yang menetes dari dahi. Mata Bianca terpejam, wanita itu mencengkram kuat sisi meja saat jari besar Bastian menerobos masuk ke dalam titik sensitifnya. Bastian tak mengalihkan pandangan dari Bianca, tatapan pria itu terkunci—memperhatikan ekspresi Bianca yang tengah b*******h. Dia tersenyum miring, wanita yang tadinya menolak, kini berhasil dia taklukkan. Bastian yakin hasrat Bianca tak lagi tertahan. "Eungh ... Pak!" desah Bianca lirih. Bastian menaikkan satu alisnya, dia mengecup singkat bibir bengkak Bianca. "Saya butuh kamu untuk meredam emosi saya, Bi," bisik Bastian tepat di depan wajah Bianca. *** Kamar dengan warna biru muda itu tampak hening. Seorang perempuan berdiri seraya berkacak pinggang. Tatapannya tajam, wajahnya memerah menahan amarah. Dia menggeram tertahan, lantas berdecak dan menghentakkan tangan dari pinggang dengan satu gerakan kasar. Dia mengatur napas, berusaha mengendalikan dirinya sendiri dari amarah yang membakar dirinya. Sementara itu, seorang wanita menunduk dengan wajah takut. Tangannya saling meremas, seolah menyalurkan ketakutan yang tak bisa lagi dia sampaikan pada siapa pun. Giginya menggigit bibir bawah saat kembali mendengar helaan napas yang jauh lebih kasar. Dia ingin mendongak, tetapi rasa takutnya jauh lebih besar. Perempuan itu mendengus saat melihat wanita yang duduk di ranjang miliknya tak berkutik. Dia kembali berkacak pinggang, tatapannya menyiratkan amarah dan kekesalan. Membasahi bibir, lalu menggigit tipis bibir bawahnya. "Liat gue, Bianca!" tegas Alin. Bianca, wanita itu mendongak takut-takut. Dia lantas menyengir sebelum Alin kembali menyemprot dirinya dengan kata-kata mutiara. "Beneran khilaf, Lin. Kali ini beneran khilaf!" Bianca mengangkat dua jari dengan wajah memelas, berharap belas kasihan Alin. "Khilaf?" ulang Alin, lalu menunjuk banyaknya bercak merah di leher Bianca. "Khilaf lu keseringan, ya, b******k! Lu bahkan udah berkali-kali having s*x sama itu orang, Bi! Lu anggap diri lu apa, sih?!" sentak Alin dengan napas memburu. Bianca menahan napas sejenak. Dia lantas meringis, lalu menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. Bianca tak punya nyali untuk melawan karena ini murni kesalahannya lagi, untuk kesekian kalinya. "Saat lu nanya hubungan lu sama dia, dia bahkan nggak bisa kasih jawaban! Lu sadar lu cuman boneka nafsu dia?" Suara Alin kembali terdengar, kali ini lebih pelan. Akan tetapi, tetap tajam. Bianca terdiam, ucapan Alin mengingatkan dirinya akan pertanyaan yang dia ajukan setelah berhubungan dengan Bastian. Bianca kembali menunduk, dia meremas kuat jari-jari tangannya—melampiaskan rasa bersalah yang menyergap dadanya secara mendadak. "Lin ...," panggil Bianca dengan suara lirih. Alin menjatuhkan diri di atas ranjang, dia duduk di sebelah Bianca. Perempuan itu memegang bahu Bianca, memutar tubuh Bianca agar menghadap dirinya. Alin menatap lekat mata berkaca-kaca, dia menghapus air mata Bianca—kepala Alin menggeleng lemah. Tatapan perempuan itu sedikit menghangat. "Gue cuman jaga lu, Bi. Jangan sampe lu nanti nyesel," ucap Alin dengan lembut. "Maafin gue," cicit Bianca dengan suara serak. Alin langsung memeluk sang sahabat, dia mengusap bahu Bianca guna menenangkan sahabatnya itu. Dia menghela napas, amarahnya belum mereda. Namun, Alin harus menahannya sampai sahabatnya itu tenang. *** Suasana di ruangan itu begitu hening. Makanan di atas meja mulai dingin, es batu di gelas mulai mencair. Namun, tak ada satu pun yang mengangkat suara sejak 15 menit lalu. Suasana restoran yang sepi seolah menjadi pendukung suasana yang cukup kosong dan dingin itu. Helaan napas terdengar dari seorang gadis tanktop dan celana jeans yang dipadukan dengan sneakers. Sling bag milik gadis itu tergeletak di kursi sebelahnya, sedangkan seorang wanita di hadapan gadis itu tak berani berkutik—selain menanti gadis itu untuk berbicara. "Ada yang mau saya tanyakan." Suara dingin dan rendah gadis itu berhasil memecah kesunyian di antara mereka, meskipun terkesan berjarak. Namun, itu berhasil menghidupkan sedikit suasana. Seorang wanita dengan pakaian kantor itu mengangguk pelan. "Silakan, Nona Aurel. Nona mau bertanya mengenai apa? Akan saya jawab semampu saya," jawabnya penuh keseganan. Aurel tersenyum sinis, dia menyandarkan punggungnya pada kursi. Kedua tangan gadis itu saling bertaut di depan perut tanpa menempel. Gaya Aurel begitu tenang dan anggun, seakan dia memang dididik untuk menjadi putri terkaya. "Ada yang namanya Bianca di perusahaan?" Pertanyaan itu meluncur dengan nada tenang, tak ada nada penasaran apalagi sinis. Gestur Aurel sulit terbaca membuat lawan bicaranya kesulitan memahami maksud Aurel bertanya mengenai anak magang dari divisi keuangan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN